MENYEBUT etnis Tionghoa, mungkin yang segera terbayang di benak banyak orang adalah pedagang, pedagang. Tidak terkecuali di tanah Banjar. Seolah mereka hanyalah kaum pencari cuan, sehingga kiprah mereka di bidang lainnya yang ternyata juga cukup besar menjadi terlupakan.

Salah satunya dalam pendirian Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Banjarmasin, yang menjadi perguruan tinggi pertama di Kalimantan Selatan.

Untuk mengetahui siapa saja tokoh Tionghoa yang ikut andil dalam pendirian ULM ini, Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin menggelar diskusi bertajuk “Menggali Sejarah Awal dan Peran Tokoh Tionghoa dalam Pembentukan ULM” di Rumah Alam, Sungai Andai, Banjarmasin, Kamis (10/3/2022).

Diskusi menampilkan pembicara sejarawan Prof Bambang Subiyakto dan Drs H.M Ary Achdyani dari Universita Lambung mangkurat ini dimoderatori Abdani Solihin (direktur LK3), dengan pemantik awal Noorhalis Majid penulis sejumlah buku peribahasa Banjar.

“Universitas Lambung Mangkurat adalah universitas perjuangan yang didirikan dengan semangat pembauran,” ucap Ary membuka pemaparannya di hadapan peserta yang sebagian besar para tokoh etnis Tionghoa Banjarmasin, seperti Tidarta Trikadibusana (Pak Bagong), Johnny Kim, Arifin Suritiono, Winardi Sethiono, Maria Roelie, Sugiharto Hendrata, Widarta Jong, dan Aan. Selain itu hadir pula antropolog Arif Rahman Hakim dan peserta lainnya.

Bermula dari dibentuknya Dewan Lambung Mangkurat yang dipelopori Letkol H. Hasan Basry pada sebuah acara reuni para pejuang pada 3-10 Maret 1957, tercetuslah rencana kerja yang dititik-beratkan kepada pembangunan daerah Kalimantan Selatan. Di antaranya mendirikan sebuah Perguruan Tinggi yang kemudian diberi nama Universitas Lambung Mangkurat (ULM).

Bila ditarik dalam sejarah yang lebih jauh ke belakang, pendirian ULM ini tidak terlepas dari sejarah perjuangan menegakkan kemerdekaan Indonesia. Kalimantan Selatan adalah salah satu daerah yang gigih mempertahankan kemerdekaan di tengah penolakan pengakuan Belanda sepanjang tahun 1945 hingga 1949 melalui upaya militer dan politik. Itu pula yang melatarbelakangi Hasan Basry memproklamasikan Pemerintahan Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan Selatan di Desa Niih Kandangan, pada 17 Mei 1949.

Dari terbentuknya Dewan Lambung Mangkurat, sekitar satu tahun kemudian, pada pertengahan tahun 1958, dibentuklah Panitia Persiapan Pembentukan Universitas Lambung Mangkurat dengan susunan panitia: Pelindung/Penasihat: K.H. Idham Chalid (Wakil Perdana Menteri RI), Ir. P., Muhammad Noor (Menteri Pekerjaan Umum & Tenaga), Kol. Kusno Utomo (Panglima Teritorial VI Tanjung Pura), Milono (Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Jawa Timur), Mr. Burhanuddin (Direktur Bank Indonesia), dan H.M. Hanafiah (mantan Menteri Agraria).

Seperti disebutkan di awal bahwa pendirian ULM ini berdasarkan semangat pembauran, sejumlah tokoh dari etnis lain ikut termasuk di dalamnya. Di antaranya Tjilik Riwut, Gubernur Kalimantan Tengah sebagai Ketua III, dan Kho Boen Tian sebagai Sekretaris Umum. Sedangkan di Pembantu Umum ada nam A. Sinaga, Drs. Tan Tjin Kie Mr. Soejono Hadidjoyo Mr. Ong Tjong Hauw, H. Abdurrachman Ismail, M.A, Agus Ibrahim, Abdurrivai, B.A. Sementara Ketua I dijabat oleh Sarkawi, Gubernur Kalimantan Selatan, dan Hasan Basry sendiri sebagai Ketua Umum.

“Dari susunan itu sangat terlihat jelas semangat pembauran. Selain tokoh-tokoh Banjar, ada nama Tjilik Riwut tokoh Dayak Kalimantan Tengah, Sinaga dari Sumatera, dan para tokoh tionghoa” jelas Ary.

Tak lama kemudian, tepatnya tanggal 21 September 1958, Panitia Persiapan meresmikan berdirinya Universitas Lambung Mangkurat. Letnan Kolonel Hasan Basry diangkat sebagai Presiden (d/h Rektor) yang pertama, Mayor Abdul Wahab Syahranie sebagai wakilnya dan Drs. Asful Anwar sebagai Sekretaris didukung oleh Dewan Kurator yang diketuai oleh Sarkawi (Gubernur Kalimantan Selatan), dan Sekretaris H. Abdurrachman Ismail, M.A.

Selanjutnya panitia persiapan melakukan serah terima tugas kepadaYayasan Perguruan Tinggi Lambung Mangkurat yang didirikan dengan Akte Notaris No. 57 tanggal 12 Februari 1959 diketuai oleh Hadji Maksid (Kepala Daswati I Kalimantan Selatan). Sampai akhirnya pada tanggal 1 November 1960 Universitas Lambung Mangkurat diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia menjadi Perguruan Tinggi Negeri berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1960.

Saat itu, ULM yang memiliki motto: “Waja Sampai Ka Puting” atau bermakna usaha sampai akhir (volharding) hanya terdiri atas 4 (empat) Fakultas, yaitu Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fakultas Sosial dan Politik, dan Fakultas Islamologi.

Peran tokoh Tionghoa terus berada pada posisi penting dalam program pendidikan yang diselenggarakan ULM di awal-awal. Pada Fakultas Hukum dengan Ketua Fakultas: Mr. Soejono Hadidjoyo, Sekretarisnya Mr. Ong Tjong Haw (A.M. Rahmanata,S.H). Fakultas Ekonomi yang menyelenggarakan pendidikan Jurusan Ekonomi Umum (Ekonomi Nasional), dan Jurusan Ekonomi Perusahaan. Dengan Ketua Fakultas: Prof. Soemadio, Sekretaris: Drs. Go Tjiaw Tiong (Drs. Bob Goenadhi), dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik yang menyelenggarakan pendidikan Jurusan Pemerintahan/ Tata Praja, dan Jurusan Publisistik dengan Ketua Fakultas: Drs. Asful Anwar, Sekretaris: Drs. Lie Han Po (Drs. Djohansyah Rusli).

“Meski demikian, sayangnya tidak ada catatan dan lacakan lebih jauh mengenai nama-nama tokoh Tionghoa yang ikut berperan dalam sejarah dan awal berdirinya ULM, seperti Khoe Boen Tian, Tan Tjin Kie, Ong Tjong Hauw, Kho Sek Beng, Go, Tjaw Tiong, Lie Han Po, dan lain-lain,” ujar Ary.

Yang menarik juga, sejak awal sebenarnya Universitas Lambung Mangkurat memakai akronim ULM, bukan Unlam yang popular kemudian— meski belakangan dikembalikan lagi menjadi ULM.

“Mengapa nama Unlam yang lebih popular, ini misteri,” sebut Ary tersenyum. “Tapi mungkin ada suatu masa di mana orang kemudian lebih mudah dan nyaman menyebut nama Unlam ketimbang ULM, sehingga kemudian nama Unlam-lah yang lebih dikenal,” katanya.

Sementara Bambang Subiyakto lebih banyak menampilkan gambar dokumentasi dan nama tokoh-tokoh Tionghoa Banjar. Tidak saja yang berada di Banjarmasin, tapi juga hingga ke daerah Hulu Sungai.

Beberapa nama yang tercatat; Thio Soen Yang seorang pebisnis dan kapiten pada tahun 1909, di tahun 1920 ada nama Thio Mo Tiang pemilik toko “Tjin”, Thioe Soen Bie seorang saudagar kayu tahun 1926, Tjoe Eng Hoey pemilik kapal uap “Baharakat” pada tahun 1932, Ong Keng Lie pemilik BIM (Borneo Industrie Maatschappij), pabrik es krim, galangan kapal, bengkel konstruksi dan beberapa bioskop tahun 1940, Lim Tjoe Keng saudagar kopra dan tengkawang pemilik pabrik dan toko tahun 1942, hingga Goey Keng Tiong (Kandangan), So Kay Gwan (Barabai), Ek Liong Hind an Hock Tong  pengusaha/eksportir karet tahun 1960.

“Para tokoh Tionghoa Banjar ini tentu turut memiliki peran dalam perkembangan banua Banjar, Kalsel, termasuk juga dalam bidang pendidikan,” ujarnya.

Selanjutnya diskusi berkembang terkait pembauran etnis Tionghoa dengan warga lokal Banjar. Secara umum, masyarakat Banjar dengan etnis Tionghoa sudah hidup membaur, berdampingan, dengan tingkat toleransi yang tinggi.

“Saya bahkan berteman dan sudah seperti saudara dengan Aan ini,” ujar Bambang sambil menoleh kepada Aan di sampingnya. Ia menceritakan, selama tinggal di Kampung Gedang, Banjarmasin, ia bertetangga dengan Aan dan sudah saling mengenal keluarga masing-masing. “Jadi, Aan ini sudah saudara saya,” tegasnya.

Pada saat diskusi itu juga tercetus gagasan untuk membicarakan lebih lanjut tentang pembauran etnis Tionghoa dengan Banjar. Selain juga upaya untuk menyelamatkan bangunan-bangunan tempo dulu, seperti rumah Banjar, yang kini kian hilang karena tak terawat atau berpindah tangan yang kemudian dibongkar dan didirikan bangunan baru.

“Nanti perlu juga kita bicarakan tentang pembauran etnis Tionghoa dengan Banjar. Termasuk juga penyelamatan bangunan rumah Banjar bahari,” ujar Winardi Sethiono, salah satu penggagas pembangunan Masjid Cheng Ho di Banjarmasin yang masih belum terealisasikan karena terkendala lahan.@