MARI kita membicarakan Aisyah ra. (radhiyallahu anha -semoga Allah meridhoinya). Jika diadakan jajak pendapat untuk mengetahui Umahatul Mukminin, atau istri-istri Rasulullah Muhammad saw. yang paling difavoritkan, barangkali Khadijah ra. akan berada di posisi teratas.  Beliau adalah segala kebaikan yang boleh ada pada diri seorang perempuan: kecantikan, kelemahlembutan, kemurahan hati, kesabaran, keanggunan, kesetiaan, dan segala keunggulan lain yang membuat suami Beliau sangat mencintainya sehingga lazim kita ketahui bahwa Rasulullah tak pernah membagi cinta itu selama menikah dengan Khadijah ra.

Tapi bagi saya pribadi, istri Rasulullah yang paling menginspirasi dan most favourable bukan Beliau, tanpa mengurangi kekaguman saya pada Khadijah ra., tapi mereka adalah Aisyah ra., Ummu Salamah ra., dan Zainab bintu Jahsy ra.

Ummu Salamah menginspirasi saya dari keteguhan dan sikap aristokratnya yang berwibawa. Ia adalah bangsawan perempuan Quraisy yang sebelumnya menjadi rekan berjuang suaminya, Abu Salamah ra. Mungkin pembaca ingat bagaimana kisah hijrahnya ke Madinah yang teramat berat itu. Berdua saja dengan anaknya setelah sebelumnya tidak diizinkan berhijrah bersama suaminya oleh orang-orang di kabilahnya. Setelah menikah dengan Rasulullah, ia termasuk istri Rasulullah yang paling berpengaruh (termasuk kejadian pasca perjanjian Hudaibiyah di mana sahabat mengabaikan seruan Rasulullah untuk mencukur rambut dan memotong hewan sembelihan sampai akhirnya Ummu Salamah ra. menyarankan Rasulullah mencukur rambut dan memotong hewan sembelihan Beliau terlebih dahulu sebagai contoh). Ummu Salamah ra. juga istri Rasulullah yang paling banyak meriwayatkan hadist dari Rasulullah setelah Aisyah ra., dan satu dari istri Nabi saw yang hapal Al Quran selain Aisyah ra., dan Hafsah ra.

Sementara itu, saya mengagumi Zainab bintu Jahsy ra. karena Beliau tipe perempuan yang tahu apa yang diinginkan dan tetap kukuh pada keinginan tersebut. Saya tak bermaksud menjelaskannya lebih jauh. Pembaca bisa membaca kisah kehidupan Beliau dari berbagai sumber bacaan.

Selanjutnya mari membicarakan Aisyah ra.

Pernikahan Rasulullah saw. dengan Aisyah ra. adalah satu bagian sirah yang dianggap paling kontroversial dan sering disoal para orientalis Barat. Aisyah ra. dianggap terlalu muda menikah. Saya pernah mendiskusikan soal ini dengan seorang kawan bertahun silam. Pembicaraan itu mengenai umur sebenarnya Aisyah jika membandingkannya dengan umur Zainab, saudaranya, dan perbandingan berbagai peristiwa yang menjadi acuan untuk mengetahui umur Beliau. Saya tidak akan masuk ke pembahasan itu dan berdebat atasnya, namun yang jelas simpulan diskusi itu adalah bahwa Aisyah ra. tidak sangat terlalu muda saat menikah dengan Rasulullah saw. Ad Dhahabi adalah salah satu rujukan atas ini, Beliau mengatakan paling tidak saat menikah dengan Rasulullah, umur Aisyah ra. sekitar tigabelas tahun. Tapi sekali lagi, saya tidak ingin berdebat atas hal ini.

Hal yang paling menonjol dari Aisyah ra. menurut saya bukan kecantikannya, meski tentu saja ia cantik. Tapi saya percaya Umahatul Mukminin yang lain juga cantik memesona: Khadijah ra., Hafsah ra., Juwairiyah ra., dan terutama Shafiyyah ra.

Aisyah ra. utamanya terkenal dengan kecerdasannya. Coba bayangkan wahai para istri, apakah kita bisa mengingat detil perkataan suami kita setiap harinya, apalagi jika perkataan itu berisi penjelasan yang kadang detil sekali? Kalau saya jelas tidak. Hehe. Tapi Beliau, Aisyah ra. mengingatnya, detil. Beliau diketahui meriwayatkan sekitar 2210 hadist dari Rasulullah. Kecerdasan Aisyah ra juga mencakup kepandaiannya membuat syair dan pengobatan.

Aisyah ra. juga hapal Al Quran, sesuatu yang tidak mengherankan karena Beliau hapal hadits. Beliau juga memiliki mushaf Quran sendiri seperti yang dimiliki Hafsah ra. Aisyah ra menjadi rujukan dalam perkara-perkara syari’ah oleh sahabat lainnya (terutama yang berhubungan dengan persoalan perempuan) karena Beliau memang mengetahui apa yang Rasulullah ketahui tentang hal tersebut. Para khalifah di masa Beliau hidup mengkonsultasikan berbagai perkara dengannya.

Hal lain yang membuat saya mengagumi Aisyah ra. adalah peran sentralnya di seputar Perang Jamal. Sebagian besar kaum muslimin, termasuk saya sebenarnya tidak menyetujui perselisihan antara Aisyah ra., Thalhah ra., dan Zubair ra. di satu sisi versus Ali ra., Ammar ibn Yasir ra., atau Ibnu Abbas ra di sisi lainnya. Kajian sejarah juga menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Aisyah ra. bukan sesuatu yang bisa dibenarkan. Namun kita bisa melihat bagaimana Beliau mampu menggerakkan orang-orang, termasuk para sahabat.

Dalam buku Ad Daulah Al-Umawiyah wa Ahdast Allati (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Dinasti Umayyah saja) karangan DR. Yusuf Al Isy’, salah satu buku yang menjelaskan peristiwa kritis sejarah Islam di masa Khalfah Utsman ra. dan Ali ra. dengan perspektif yang menurut saya lebih berimbang, disebutkan bahwa Aisyah ra.  bahkan berpidato di Mekah dalam rangka membela alm. Utsman ibn Affan ra. yang terbunuh. Beliau juga melakukan hal serupa di Bashrah. Sederhananya, Aisyah menjadi salah satu motor yang menggerakkan orang-orang untuk meminta keadilan atas terbunuhnya khalifah Utsman ra.

Meski kita menyadari, perang Jamal adalah kesia-siaan yang sebenarnya tidak terjadi jika tidak ada hasutan yang diembuskan pihak ketiga, kita tetap bisa mengambil pelajaran tentang bagaimana seorang perempuan bisa demikian kukuhnya menyuarakan apa yang dianggapnya benar dan secepatnya pula berhenti saat menyadari bahwa apa yang dilakukannya keliru. Aisyah ra. tahu ia begitu keliru saat ia dan pasukannya tiba di mata air Haw’ab, suatu tempat dalam perjalanan menuju Bashrah. Rasulullah pernah bersabda bahwa salah seorang dari istri-istrinya akan dilolong oleh anjing Haw’ab. Aisyah ra tahu itu dirinya, dan ia tahu betapa langkah yang diambilnya keliru bahkan sebelum ia sampai di Bashrah.

Aisyah ra. memiliki gambaran ideal tentang bagaimana kepemimpinan Islam dijalankan, suami Beliaulah idealitas itu, dan ayahnya, Abu Bakar ra. dan Umar ra. telah mengikuti teladan kepemimpinan itu dengan baik. Aisyah ra. tak memiliki masalah dengan kedua khalifah. Di masa Utsman, Aisyah ra. termasuk shahabiyah yang banyak mengkritik kinerja Utsman ra. di enam tahun terakhir kepemimpinannya. Ada banyak ketidaksesuaian dari cara Rasulullah dulu saat memimpin dengan apa yang dilakukan Utsman ra. Puncak ketidakidealan itu justru adalah pembunuhan Utsman ra dengan sewenang-wenang dan menurutnya, Ali ra. tak cukup berusaha menegakkan keadilan atas itu (sesuatu yang sebenarnya bisa dijelaskan ketika dilihat secara komprehensif). Hal itu yang kemudian membuatnya meninggalkan kediamannya lalu bergerak mengumpulkan orang-orang menuntut keadilan

Meski dalam peristiwa perang Jamal Aisyah ra. tampak begitu emosional, menurut saya ia justru seorang perempuan dengan kematangan emosional yang baik. Bayangkan saja bagaimana seorang perempuan bisa berkompromi dengan para istri dari lelaki yang paling dicintainya. Ada di sini pembaca ibu-ibu yang bisa demikian? Selalu ada letupan-letupan kecil kecemburuan di sana sini dalam kisah keluarga Nabi saw., tapi tak ada kontrol yang hilang. Untuk seorang gadis muda, Aisyah ra. dapat dengan baik mengatasi perasaan-perasaan yang tidak diperlukan dalam perannya sebagai istri seorang Nabi dengan intensitas perjuangan yang begitu besar.

Kecintaannya yang sangat besar pada suami tak membuatnya bersikap egois saat Umar ra. menjelang wafatnya meminta agar diizinkan dikuburkan di samping Rasulullah, sebuah tempat yang dimaksudkan Aisyah ra. untuk ditempatinya sendiri kelak jika ia meninggal. Tapi kecintaannya pada sosok Umar ra. sebagai khalifah yang adil mengalahkan keinginan itu.

Apa yang saya tulis di atas hanya beberapa aspek saja dari keutamaan Aisyah ra. Tidakkah kita bisa melihat dengan jelas betapa outstanding-nya Aisyah ra. tanpa harus membicarakan keindahan fisik Beliau atau hubungan mesra Beliau dengan Rasulullah saw. Aisyah ra. telah menutup pintu manusia dari pengetahuan atas fisiknya saat perintah hijab diturunkan. Tak seorang sahabat pun yang bisa melihat fisik Aisyah ra. tanpa hijab sejak itu. Lalu kenapa pula kita demikian kurang adabnya mengungkap-ungkapkan itu, secara komunal pula.

Wallahua’lam.@

Facebook Comments