SAYA tanya Agus Makkie, bagaimana nasib perfilman kita di Tanah Banjar? Pertanyaan itu tidak langsung dijawab, kami asyik membicarakan hal asyik lainnya lebih dulu saat dalam mobil dari Bandara Syamsudin Noor menuju rumah makan khas Banjar. Bang Agus, begitu saya menyapa, bersama Bang Sandi Firly pimpinan asyikasyik.com santap siang menikmati kuliner khas Banjar di Banjarbaru.
Kami membicarakan banyak hal. Ngalur ngidul lah, tak hanya soal film, tetapi juga isu yang sedang ramai. Asian Games, Stuntman, budaya, dan “soal rasa”. Jika membicarakan soal “Banjar” dan orang-orang di dalamnya, tak bisa dilepaskan dari soal rasa. Rasa pada makanan, atau rasa “bakawanan”. Kebiasaan lingkungan kita di Tanah Banjar yang sudah menjadi budaya adalah, “Mawarung”. Dan kami mesti mendatangi beberapa tempat untuk sekadar ngopi. “Ngalih Mambuang Batu Di Palatar.”
Agus Makkie, kalau sedang berdiskusi, semangatnya berapi-api. Tegas, dan tangannya gak bisa diam. Sutradara film Wonderful Life ini bilang kepada saya, kedatangan seorang sutradara atau penulis ke suatu daerah bukan jalan-jalan semata, tapi ada hal yang mesti diobservasi dan eksplorasi. Apalagi kedatangannya ke Tanah Banjar bukan datang ke daerah orang, melainkan pulang kampung, seperti momentum Idul Adha kemarin.
Trailer Film Wonderful Life
Beberapa hari kehadirannya di Banua, ia sudah mengujungi beberapa tempat dari Kabupaten paling utara geografis Kalimantan Selatan, Hulu Sungai Utara sampai paling selatan, Kabupaten Tanah Laut, sebelum berangkat balik ke Jakarta.
Saya pertanyakan, mengapa perfilman kita di Tanah Banjar seperti memanjat tebing di gunung Cartenz. Padahal, mental sebagian kita Urang Banjar sudah mental artis. Ya, tentu tanpa menafikan beberapa artis berdarah Banjar yang malang-melintang di layar kaca saat sekarang. Olla Ramlan misalnya, Bopak Kastelo, Ian Kasela (yang kemarin baru konser di sini), mmm… siapa lagi ya? dan artis-artis lokal lainnya yang juga sudah terlibat dalam film Pangeran Antasari, ya? Teman-teman saya juga, sih.
Memang, perfilman kita di Indonesia dalam kancah dunia sudah yahut dan jempolan. Tapi, perfilman kita di Banua dalam konsumsi se-Indonesia, masih merangkak perlahan. Agus Makkie mengatakan, seni visual tidak semestinya berkutat pada tampilan yang cantik atau sok syantiiik semata, tetapi juga harus konseptual. Punya keberanian untuk mengeksplorasi media baru seni dan komunikasi. Dan itu yang harus digeliatkan kepada para sineas muda yang ada di Tanah Banjar. Bahkan para seniman lainnya.
Saya pikir, kita, dan kawan-kawan semua, mampu membangunnya. Informasi dan sumber daya di Banua super duper mumpuni. Keberadaan Forum Sineas Banua (FSB) contohnya, telah mendedikasikan keberadaan mereka sebagai wadah mengapresiasi, mengkaji, mengarsipkan, dan mempertemukan badan produksi sinema yang satu dengan yang lain, terus eksis berkegiatan setahun belakangan. Mereka juga komitmen bersinergi dengan pemerintah daerah untuk menggelar event memajukan sineas-sineas muda mencapai pencapaian tertinggi, Juara Cannes Festival, Distribusi ke bioskop, mendatangkan sineas Nasional ke Tanah Banjar, atau ke depannya Meraih Piala Oscar. Ya, kan siapa tahu!
Mengapa Perfilman Kita di Banua Begitu-begitu Saja?
Dana. Benar kata UAS, semua tergantung dana. Ya dana, ya dana! Padahal di Banua, tidak sedikit orang-orang yang masuk dalam kategori ‘berduit’. Para haji yang berkutat di tambang batu bara atau sawit misalnya. Hanya saja, sebagian dari mereka-mereka ini kurang berkonsultasi, ya kali, ke mana menggunakan uangnya. Agar gak melulu ngumpulin supercar di garasi dan mendirikan kandang rumah tinggi bak tembok besar Cina. Itu lho, Ji! anak muda yang telah menyerahkan waktunya dalam industri kreatif, wong dibantu, gak cuma ditonton saja!
“Memang, sedikit sekali pengusaha kita yang komitmen dalam menggunakan uangnya ke industri kreatif. Kita, dalam hal pertaruhan di perfilman, harus mempunyai orang-orang yang mampu menyampaikan dan merangkul. Baik itu menyampaikan pemikirannya soal ide, kreativitas, dan budaya. Banyak hal di Tanah Banjar yang bisa kita tampilkan, dan tak bisa ditemukan di daerah lain. Originialitas Banjar. Dan hal itu, belum membuat sebagian orang-orang yang kamu maksudkan itu melek,” ungkap nominasi Piala Iqbal Rais untuk Sutradara Berbakat Karya Perdana Terpilih ini.