11.00
Apa rasanya saat masa-masa penentuan kelulusanmu mulai diumumkan? Gundah? Gelisah? Harap-harap cemas? Mungkin beberapa di antaranya? Beberapa orang murid bersama orang tuanya terlihat senang sekali menemani anak mereka. Tak sedikit pula mimik wajah penuh kecemasan. Mungkin khawatir dengan kemampuan anaknya di sekolah yang mendapatkan angka merah. Meski hal itu jarang terjadi di Madrasah Islamiyah tempatku bersekolah.
Aku duduk di sebuah kursi panjang beranda kelas. Para orangtua berada di dalam melaksanakan rapat sebelum rapor anaknya diserahkan ke tangan-tangan mereka. Apalah daya, tak ada orangtua yang mewakiliku selain Ustadz Zakir sendiri. Namun ia belum juga tiba di sekolah.
“Jangan khawatir, Val. Ustadz Zakir pasti datang, kok!” Bu Rafkah duduk di sebelahku. Sembari tangannya merangkul bahu kananku lalu kubalas dengan senyuman kaku. Mungkin saja ia belum tahu yang sebenarnya kukhawatirkan. Beberapa orangtua beserta muridnya telah keluar dengan rapor di tangan. Bu Rafkah berucap, tinggal lagi raporku dan rapor Ali yang belum dibagikan.
“Mana Ustadz Zakir?” pertanyaan Bu Rafkah langsung kujawab.
“Itulah yang kukhawatirkan, Bu. Tadi pagi kami berada di pinggir pantai, seorang nelayan datang dan mengatakan ada mayat di belakang rumah Pak Hasan. Sekarang, aku juga khawatir dengan Ali belum juga tiba di sekolahan. Sedang apa mereka, apa yang terjadi sekarang?” paparku cemas.
Mimik wajah Bu Rafkah pun berubah. Ia terkejut dan balik bertanya dengan rincian pertanyaan yang aku tak bisa menjawab.
“Kalau begitu kita ke rumah Ali sekarang?”
“Mengapa sekarang, Bu? Sebaiknya kita menuggu mereka datang. Aku takut dimarahi Ustadz.”
“Dia tidak akan marah bila kita datang berdua!”
Dengan sigap Bu Rafkah menggamit tanganku menuju kendaraannya. Sepeda dengan keranjang biru muda. Lalu duduk di jok besi belakangnya. Jarak antara sekolah dengan rumah Ali sekitar sepuluh menit. Itu pun aku terpaksa menahan sakitnya pantat ketika Bu Rafkah menggenjot kuat melewati jalanan bebatuan, gundukan tanah yang berlobang, dan lumpur yang hampir membuat kami oleng.
Hingga tiba di halaman rumah Pak Hasan, ayah Ali. Kami turun kemudian mengetuk pintu rumahnya. Karena tak ada jawaban, kami menuju ke kebun belinjo yang berjarak 100 meter persis di belakang rumah. Di tempat itu, kami melihat kerumunan warga. Namun niat kami untuk mendatangi ke kerumunan itu urung karena beberapa polisi sudah menggotong kantong jenazah di antara mereka. Juga kulihat beberapa orang wartawan yang mendampingi memotret tempat kejadian seraya wawancara ke warga.
Entahlah, apakah aku salah atau perasaanku saja. Apa yang kulihat seperti telah kulihat sebelumnya. Seperti pengulangan sejumlah bingkai gambar. Aku telah mengalami ini. Ya, di dalam mimpi. Mimpi itu. Mimpi yang justru telah lewat bertahun silam hinggap dalam tidurku. Mayat wanita itu membuatku mual.
Bu Rafkah menggandeng erat tanganku layaknya induk ayam yang tak ingin melepaskan anak kesayangan. Kami berpapasan dengan para polisi yang membawa kantong jenazah. Aku hampir tak percaya apa yang kulihat. Dalam kantong jenazah berwarna kuning itu tampak mayat kedua kelopak matanya masih terbuka. Kulit kepalanya mengelupas dengan lidah menjulur keluar. Aku berisitigfar dalam hati. Bertawudz. Meminta perlindungan dari segala hal buruk yang tampak di hadapan mata.
Aku mendengar suara-suara warga yang bergunjing di antara para wartawan. Mayat itu ditemukan tanpa identitas dengan baju berwarna biru. Bercelana hitam panjang. Sampai pergunjingan celana dalam berwarna jingga pun menjadi obrolan yang… entahlah, justru sangat menarik bagi warga.
Segerombolan anggota polisi memasukkan mayat wanita berbungkua kantong jenazah ke dalam mobil. Tak ada satu pun warga yang bisa mengenal siapa mayat tersebut. Ada modus apa dibalik peristiwa aku tak berani menebak-nebak. Kabar terakhir yang aku tahu, mayat itu dibawa ke rumah sakit Hadji Boejasin di Kota Pelaihari untuk proses visum.
Dari kejauhan di antara kerumunan, Ustadz Zakir terlihat begitu lusuh. Baju gamisnya yang putih kini bercampur lumpur tanah merah. Mungkin saja dia bergulat dengan tanah mengangkat mayat tersebut atau bagaimana jadinya. Sesaat, bayang-bayang mayat yang telah lewat melinatas-lintas di hadapan.
“Mengapa anda berada di sini dengan Nouval?”
Ustadz Zakir mengejutkan bayanganku di sebelah Bu Rafkah. Aku tertunduk takut dan merasa bersalah.
“Kami cemas dengan Ustadz. Apakah Anda baik-baik saja?”
Ibu Rafkah seperti terpesona dengan wibawa Ustadz. Bukan perlakuan yang biasa ia tunjukan di lingkungan sekolah. Mereka berdua memang seumuran. Aku merasakan sekali gelagat yang berbeda dari Bu Rafkah. Tapi Ustadz Zakir menghiraukannya.
“Biar nanti rapor Nouval kuserahkan langsung. Kalau rapor Ali biar kuantar ke rumah Pak Hasan.”
“Tapi di mana Ali sekarang, Guru?” sahutku..
“Bukannya dia sekarang di sekolahan?” Ustadz Zakir mengerinyitkan dahi. Memandangi kami berdua.
“Justru itu Ustadz. Saya mengkhawatirkan Ali juga karena dia belum tiba di sekolah.” Bu Rafkah menimpali dengan lemah lembut.
Suasana tegang. Kami saling menatap kebingungan. Aku khawatir kejadian sebelumnya berulang. Tentu kami tak ingin cerita Ali yang disembunyikan hantu baranak kembali terulang. Aku melangkah perlahan keluar dari kebun belinjo yang menjadi angker usai penemuan mayat itu.
Lalu, aku mengikuti Ustadz Zakir yang lebih dulu beranjak pergi bersama Pak Hasan. Mimik wajah Pak Hasan berubah merah. Kemana lagi anak brengsek itu, mungkin begitu maksud Pak Hasan. Aku dan Bu Rafkah berniat berbalik arah. Sesudah Bu Rafkah membisikkan amanah di telingaku: Jangan bilang kita berdua mendatangi Ustadz Zakir kepada Guru Ramlan, ya! Aku tak paham maksud Bu Rafkah. Mengapa kalimat itu harus dibisikkannya kepadaku.
**
“Saya pernah melihat kerjadian tadi pagi. Di dalam mimpi!” Tegasku kepada Ustadz Zakir saat ia keluar dari kamar usai salat isya. “Melihat. Mayat. Itu.” Lanjutku meyakinkan.
“Jangan terlalu memercayai mimpi, Val. Kita tak bisa menilai mana mimpi yang patut dipercayai dan tidak,” jawabnya menyalakan sebatang rokok.
Aku tak terlalu ingat sejak kapan ia mulai merokok. Katanya, pekerjaan makruh hanya sebagai upaya pribadi dirinya untuk penglihatannya terhadap keburukan orang lain. Aku sangat tidak terima alasan itu, bagiku itu hanyalah pembenar saja. Dan sangat tidak masuk akal. Aku menunduk, lalu melanjutkan penjelasanku di hadapannya.
“Bukankah guru pernah merasakannya. Melihat aib-aib dan keburukan orang lain. Melihat sesuatu sedang terjadi jauh dari balik dinding rumah ini?”
“Kau tak mengerti, Val!”
“Lalu apa, Guru!” nada suaraku meninggi.
“Ketahuilah. Ketika sampai masanya, kau akan diperlihatkan keburukan-keburukan orang lain. Jika kau tak ingat dengan yang memberi kemampuan itu, kau akan tertahan dan dijauhkan dari penglihatan terhadap kekuasaan Tuhan,” jawab Ustadz Zakir berdiri sambil merapikan sajadahnya.
Dengan penjelasan itu, aku sangat tidak mengerti apa yang dijelaskan Ustadz Zakir. Sedikitpun tak ada pembahasan yang menjawab pertanyaanku sebelumnya. Aku mulai bosan dengan penjelasan-penjelasan Tuhan darinya yang semakin menjadi-jadi. Kemudian aku berusaha melihat ke dalam hatinya. Memfokuskan pemikiranku ke dalam prasangka Ustadz Zakir. Tiba-tiba aku tersentak kaget.
“Hentikan upayamu membaca pikiran Gurumu, Val.”
Alangkah terkejutnya aku saat Ustadz Zakir mengatakan itu kepadaku.
“Seandainya kau tahu, jasad adalah ruang bersemayamnya batin, batin menjadi jasad untuk rohani, dan rohani seperti bejana bagi hati. Dalam hati ada siir, rahasia Tuhan yang tak mungkin bisa kau lihat dengan mata telanjang, Val.”
Mendengar perkataannya, aku tertunduk malu. Lantas ia mendekatiku. Memelukku dan mendudukkan aku di sampingnya.
“Itu hanya ujian. Aku peringatakan kau untuk tidak menuruti bisikan-bisikan bahkan perkataan batin yang selama ini kau dengar,” katanya lembut.
“Tapi semua itu benar guru. Buktinya memang ada mayat pagi itu. Wajahnya, matanya, bibrinya, warna bajunya…”
“Kau tak perlu melanjutkannya. Ada rahasia dalam suatu ghaib. Kau juga harus sadari ada nikmat Tuhan melalui cahaya, nikmat ilmu tanpa batas, dan nikmat bernapas. Apakah selama ini kau terlupa? Jika bukan karunia Tuhan tak ada seorang hamba yang bersih di dunia ini dari keji dan mungkar. Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki-Nya.”
Aku beku. Membisu.
“Apa gunanya aku mengarajarkan segala ilmu akhlak kepadamu jika kau tidak mengingat akhirat. Ada kehidupan sesudah kematian. Apa kau tidak ingat itu Val, kau terlalu jauh.” Ustadz Zakir mengakhiri penjelasannya. Suasana hening. Kemudian aku memberanikan diri bertanya tentangnya di masa lampau.
“Guru, Aku juga pernah melihatmu muncul di antara kerumunan warga saat peristiwa hilangnya Ali. Tapi saatku kembali ke rumah ini, sedikit pun aku tak melihat bekas atau tanda kau telah bangun dari tidur. Benarkan itu guru, atau itu orang lain?” Sekian tahun berlalu baru malam itu aku berani menanyakan perihal itu.
Ia menghela napas panjang. Kemudian menjawab pertanyaanku. Namun bagiku itu bukan suatu jawaban. Melainkan teka-teki. “Besok pagi! Kau tak perlu keluar rumah. Bertahanlah dulu di rumah ini sampai waktu dzuhur selesai,” tegasnya dengan satu isapan terakhir.
“Ada apa lagi guru? Sekarang setelah menutupi sesuatu, guru mulai meramalkannya. Dari mimpikah itu?” Entah angin dari mana sampai-sampai aku melontarkan kalimat-kalimat itu. Seperti ada ego yang menipis kepercayaanku kepada Ustadz Zakir.
Aku gamang. Aku tak tahu harus memahami penjelasan ini darimana. Aku merasa memang ada yang disembunyikan Ustadz Zakir dariku selama ini. Aku muak dengan janji-janji yang selalu ia lontarkan sejak kematian Ayah. Bahkan siapa sebenarnya orangtuaku tak pernah ia ceritakan. Dia selalu mengatakan kelak, kelak, nanti, suatu hari dan selalu nanti. Aku tak tahan. Aku bosan.
“Guru, bukankah aku sudah besar sekarang. Aku menagih janjimu di malam yang jauh sebelum malam ini. Siapa ibuku sebenarnya? Mengapa guru menutup-nutupinya dariku?” ucapku terasa begitu tajam kepadanya, Ful.
“Jika masanya telah tiba, kau akan pergi pada satu pemukiman di utara. Berhenti di satu wilayah yang membuatmua merasa nyaman. Namun jangan berlama-lama. Tuhan akan memberikan tanda jika perjalananmu harus dilanjutkan. Kadang kita harus menempuh beribu jalan sebelum menemukan satu jalan kepada Tuhan. Tapi bukan besok pagi. Ingat itu, Val!” Ia mematikan rokoknya dan masuk ke dalam kamar.
“Besok pagi kau tak perlu keluar. Itu jika kau tak ingin merasakan sakit yang tak terkira.” lanjutnya dari balik dinding kamar. Lalu berbaring bersiap tidur.
Merasakan sakit yang tak terkira, apa ia ingin menghajarku? Tapi aku tahu betul perangainya, sedikit pun ia tak pernah menyakitiku secara fisik. Ia lebih sering menohokku dengan kalimat-kalimat nasihat dan kata-kata mutiara yang terulang-ulang. Itu-itu saja. Sampai aku jenuh. Membosankan.
Aku duduk di tengah ruang rumah. Memikirkan kalimat-kalimat yang belakangan semakin tak masuk akal. Ustadz mengajarkanku agar tidak mendahului kehendak Tuhan, nyatanya ia mendahului ketentuan yang belum ada di hadapan. Apapun yang terjadi besoknya. Aku tak pernah menyangka.
***