Dewasa ini di kalangan seniman kita di Banua sedang hangat topik bahasan tentang, anu, lagu Banjar. Khususnya pada kalangan seniman, praktisi, pengamat dan pelaku musiknya. Satu topik utama yang meruncing adalah perihal definisi: apakah lagu Banjar?

Salah satu pemicu hangatnya pembahasan ini adalah sejak digelarnya “Lomba Cipta Karya Lagu Banjar” yang diselenggarakan Taman Budaya Kalsel tempo hari. Kalau tidak salah, pada 17-27 Juli yang lalu. Singkat cerita, terpilihlah lima lagu sebagai pemenang, dengan urutan juara 1, 2, 3 serta juara harapan 1 dan 2.

Sebagaimana biasanya dampak dari hasil sebuah perlombaan, muncul komentar dan tanggapan publik tentang kualitas para pemenang lomba. Lalu berkembanglah pertanyaan kritis yang menyoal definisi dan ukuran lagu Banjar seperti apakah, yang menjadi dasar panitia penyelenggara beserta juri dalam penilaian lomba? Apakah lagu Banjar adalah semua lagu yang liriknya berbahasa Banjar? Apakah lagu Banjar itu lagu berbahasa (berlirik) Banjar dengan musikalitas tertentu, musikalitas Banjar misalnya?

Pada Petunjuk Teknis perlombaan yang dipublikasikan oleh Taman Budaya Kalsel sebagai panitia penyelenggara lomba, khususnya bab kriteria lagu lomba, yang dimaksud lagu berkategori lagu Banjar ini adalah lagu dengan dua ketentuan wajibnya. Pertama, lagu yang menggunakan lirik dengan “karakteristik daerah Kalsel” (menggunakan bahasa Banjar). Pada ketentuan ini, yang dimaksud lagu berbahasa Banjar adalah lagu yang mengandung karakteristik daerah Kalsel. Artinya, bahasa Banjar dipilih panitia sebagai aspek yang dianggap-mewakili karakteristik daerah Kalsel.

Ketentuan kedua, (selain berlirik bahasa Banjar) disebutkan bahwa lagu Banjar adalah lagu yang melodi lagunnya memiliki ciri-khas lagu Banjar. Ketentuan ini memang cukup bermasalah. Masalahnya, melodi lagu seperti apa yang dianggap punya ciri-khas atau berkarakter Banjar? Dalam Juknis lomba tersebut tidak ditunjukkan contoh melodi lagu yang berciri-khas lagu Banjar.

Dari situ kemudian berkembang permasalahan dan pertanyaan kritis lainnya. Misal, apakah suatu lagu dapat disebut/digolongkan sebagai lagu Banjar jika lagu tersebut berlirik bahasa Banjar serta bermelodi lagu khas Banjar? Atau, apakah suatu lagu dapat disebut/digolongkan sebagai lagu Banjar jika lagu tersebut berlirik bahasa Banjar, tapi melodi lagunya tidak khas Banjar? Bahkan muncul pula pertanyaan lebih mendasar seperti, apakah yang dimaksud lagu? Apa perbedaan lagu dengan nyanyian?

Pada perbincangan seniman tentang apa itu lagu Banjar ini, setidaknya muncul empat pandangan yang berbeda.

Pertama, pihak yang berpandangan bahwa lagu Banjar adalah lagu dengan lirik bahasa Banjar. Kedua, pihak yang berpandangan bahwa lagu Banjar adalah lagu dengan lirik bahasa Banjar sekaligus dengan melodi khas Banjar. Ketiga, pihak yang berpandangan bahwa lagu Banjar adalah lagu dengan lirik bahasa Banjar, melodi khas Banjar, dan instrumentasi (peralatan) musik khas Banjar? Keempat, pihak yang berpandangan bahwa lagu Banjar adalah lagu dengan pola musikal tertentu yang bersandar pada nilai budaya Banjar.

Keempat pandangan tersebut muncul secara jelas, khususnya pada acara “Dialog Lagu Banjar” yang diadakan oleh Pusat Kajian Kebudayaan Banjar dan Pusat Studi Masyarakat Adat ULM pada Sabtu, 22 Juli yang lalu di kediaman Dr. Taufik Arbain (Perum Bumi Pramuka Asri, Banjarmasin). Pada dialog yang dihadiri para tokoh seniman musik Kalsel tersebut, nampak adanya usaha untuk merumuskan apa dan bagaimanakah lagu Banjar?

Soal perumusan ini, salah satu juri “Lomba Cipta Karya Lagu Banjar” yang lalu, Sirajuddin (Pak Dino) sebenarnya pernah menuliskan konsep atau rumusannya tentang lagu Banjar. Dalam tulisannya yang berjudul “Antara Lagu Banjar dan Lagu Berbahasa Banjar” (dimuat Banjarmasin Post, 21 Juli 2020), Pak Dino merumuskan ada empat karakteristik teknis pada lagu Banjar. Pertama, liriknya berbahasa Banjar. Kedua, menggunakan tangganada (scale) diatonis (“doremifasolasido”). Ketiga, menggunakan pola/motif melodi yang khas Banjar (cengkok). Keempat, menggunakan irama (rhythm) khas Banjar, seperti irama pada musik Panting, tari-tarian tradisi Banjar, dan seni pertunjukan tradisi di Kalsel lainnya. Kelima, adanya rasa.

Tulisan Pak Dino tersebut kemudian ditanggapi oleh Novyandi Saputra  (praktisi musik dan dosen Pendidikan Sendratasik FKIP ULM), dalam tulisannya “Hulu-Hilir Musik Banjar” yang dimuat oleh laman asyik-asyik.com ini pada 2 Agustus yang lalu. Dalam tulisannya, Novyandi nampak berbeda pandangan dengan Pak Dino soal karakteristik lagu Banjar.

Jika Pak Dino merumuskan karakteristik lagu Banjar berdasar pada konsep lagu Popular (bukan genre pop di antara genre rock, dangdut, jazz dll.) yang bersandar pada musik diatonis, dan kemudian merujuk data-data kekaryaan lagu popular Banjar tertentu seperti lagu-lagu Anang Ardiansyah dll., maka Novyandi lebih berpandangan bahwa lagu Banjar perlu bersandar pada musik daerah-lokal (non diatonis), dan kemudian merujuk pada musikalitas tertentu seperti Salindru Banjar pada Gamalan Banjar atau musikalitas gaya nyanyian tradisional Banjar. Jika Pak Dino menempatkan lagu Banjar dalam konteks lagu popular (yang oleh karenanya berlandaskan budaya popular), maka Novyandi menempatkan lagu Banjar dalam tautannya dengan musik tradisi daerahnya (yang oleh karenanya berlandaskan budaya tradisional).

Kedua pandangan itu, memang, masing-masing punya pijakan dan argumentasi yang jelas. Masalahnya, sebenarnya keduanya tidak dalam satu ruang wacana yag sama. Pak Dino ada pada lagu popular Banjar yang spesifik. Artinya lagu Banjar memang diposisikan sebagai fenomena dan kajian musik dalam kerangka budaya popular masyarakat modern. Oleh karenanya, lagu Banjar dalam wacana Pak Dino adalah lagu Banjar sebagai produk masyarakat Banjar modern.

Di lain pihak, Novyandi ada pada musik Banjar yang cenderung dilihat sebagai produk masyarakat tradisional Banjar. Ini nampak pada pernyataan Novyandi, bahwa urang Banjar tidak mengenal sistem nada diatonis, cenderung pada pada sistem nada salindru (gamelan) Banjar. Pernyataan itu problematis, karena di situ masyarakat Banjar hanya dilihat pada periode/masa waktu tertentu. Memang benar, ketika modernitas belum menjadi entitas kebudayaan masyarakat Banjar, maka muatan budaya modern seperti musik diatonis tidak dikenal. Lantas, masyarakat Banjar hari ini (kontemporer) yang sudah hidup dalam modernitas dan mengenal musik diatonis, apakah mereka bukan urang Banjar?

Perbedaan pandangan dalam menanggapi suatu kosep merupakan fenomena yang biasa dan lumrah, termasuk perbedaan konsep rumusan perihal apa itu lagu Banjar. Jangankan dalam tataran praktisnya, dalam tataran teoretik musik (keilmuan) pun, sebuah konsep-teori tidak pernah seluruh sivitas keilmuannya berparadigma/bermazhab tunggal. Demikian karena hakikat epistemologi ilmu (filsafat ilmu) adalah selalu mengandaikan nilai kebenaran yang tidak mutlak atau absolut. Suatu fakta, data, konsep, hipotesis, teori, hingga mememuncak menjadi sebuah ilmu itu akan selalu bersifat falsifikatif. Artinya, kebenaran ilmu akan berlaku dan fungsional selama belum ada kebenaran baru yang dapat menggugurkannya. Hal ini juga termasuk dalam ilmu musik.

Bahasan perihal lagu Banjar ini memang telah menyentuh wacana luas soal budaya masyarakat modern dan tradisional. Terkait budaya masyarakat modern, salah satu produknya adalah ilmu pengetahuan (modern, sains). Salah satu strukturnya adalah lembaga perguruan tinggi, sebagai tempat yang mewadahi tumbuh berkembangnya ilmu pengetahuan. Dan saya, penulis, adalah pihak yang memosisikan diri pada pijakan ilmu pengetahuan, sebagai akademisi musik. Itu yang menjadi sandaran dan menentukan arah pandangan penulis dalam menanggapai bahasan perihal lagu Banjar ini.

Kembali pada perihal lagu Banjar. Menurut hemat penulis, pembahasan dan bahkan perdebatan di kalangan praktisi dan peminat lagu Banjar dewasa ini merupakan fenomena musikal daerah.

Dalam konteks keilmuan, fenomena tersebut berada pada tataran fakta, data, konsep, dan hipotesis. Jika fenomena ini memang akan dikembangkan dalam konteks keilmuan, arahnya adalah para ranah teori, dan ujung-muaranya adalah ilmu. Barangkali semacam “ilmu musik Banjar”.

Dalam kesempatan ini, penulis sebagai akademisi musik ULM mencoba akan membawa wacana lagu Banjar sebagai fenomena musikal daerah ke dalam ruang keilmuan yang semakin akademik. Diawali dengan Program Pengabdian kepada Masyarakat Prodi Pendidikan Sendratasik ULM tahun 2020, penulis dan tim dosen lainnya akan mengadakan FGD (Focus Group Discussion) di Banjarmasin pada 29 Agustus 2020 nanti. Diskusi ini merupakan fasilitasi tokoh dan seniman musik di Kalimantan Selatan, dengan topik atau wacana FGD adalah musik lagu Banjar. Harapannya, kegiatan FGD ini akan berlanjut dan menuju tingkat keilmuan musik Banjar yang anu, lebih berkembang.@