Ada-ada saja yang terjadi dalam ranah kreatifiti Kota Banjarbaru. Kota yang diklaim sebagai perkembangan budaya ini selalu memunculkan kejutan yang bikin gregetan.

Kali ini sebuah berita mengejutkan datang dari lingkaran kepenulisan kita di Kalsel. Entah ini masuk dalam ranah kesusastraan atau bukan, tim asyikasyik.com mencoba mencari tahu sendiri, apa sebenarnya yang akan terjadi? kami atas nama redaksi mencoba mengkonfirmasi  perihal tersebut dan menelusuri dalam rentang waktu yang cukup singkat.

Jika menilik beberapa laman beranda fesbuk, instagram, dan beberapa medsos yang bersangkutan, terpampang foto bersama bak keluarga. Mereka adalah Ananda Perdana Anwar, Gusti Muhammad Setya Aryandi Iman (a.k.a Antung/ a.k.a Mika August),  HE Benyamine, dan Hudan Nur. Penyebutan itu menjadi akronim AGHH.

Berselang tak lama dari postingan sebelumnya, perempuan penyair yang akrab disapa Hudan dengan terang-terangan mengunggah lagi suatu konten berbentuk sampul buku. Di cover itu terpampang 4 orang yang telah disebutkan di atas. Netizen seakan dibuat bertanya-tanya. Ada apa lagi ini? Apa yang sebenarnya ingin disampaikan postingan berbentuk cover buku tersebut?

Dikonfirmasi via WhatsApp, penulis yang juga kontributor tetap media asyikasyik.com Ananda mengaku, tidak bisa menjelaskan secara gamblang. Dikatakannya, postingan-postingan tersebut terjadi brgitu saja tanpa ada ba bi bu ba bi bu di belakangnya.

“Saya sebenarnya tidak terlalu jelas apa yang akan terjadi nanti. Waktu itu, matahari sudah tenggelam, bahkan sudah malam. Kebetulan malam itu saya sedang dibayar untuk menjadi driver, tiba-tiba diminta untuk berhenti depan studio foto,” ungkapnya bergetar.

Ia mempertanyakan perihal itu kepada Hudan, mengapa harus singgah di studio foto? ia bilang, Hudan hanya menjawab karena studio fotonya masih buka.

“Tiba-tiba kami berfoto bersama. Dan tidak tahu untuk apa,” timpalnya. Namun ketika tim redaksi tanyakan lebih lanjut, layar chat menunjukkan centang dua tanpa warna biru.

Hal demikian juga kami tanyakan kepada Gusti Setya Ariyandi alias Mika August. Kamu bisa tahu dia di sini. Pemuda lajang yang akrab dikenal sebagai muralis, pelukis, dan ilustrator ini juga tidak bisa menjelaskan. Ia hanya menggeleng, dan tetap menggambar di buku gambarnya.

Kami beralih lagi kepada bapak segala bangsa, eh segala bidang. Eh, apa ya? Pokoknya banyak sekali disiplin ilmu yang digeluti. Dipertanyakan perihal AGHH yang membuat gempar ranah kesusastraan di Indonesia, ia hanya tersenyum sembari menghisap kreteknya.

“Tenang. Yang penting kamu harus tetap tenang. Lihat apa yang tidak kamu lihat!”

Mendengar jawaban itu, tim redaksi asyikasyik tidak bertanya banyak lagi. Kami mencoba menghubungi langsung kepada ibu Hudan Nur yang tentangnya kamu bisa baca di sini. Namun sayang, tak juga dijawab. Kami mencoba mengirim pesan ke WA pribadi, Hudan mengirimkan teks panjang sekali. Berikut tim redaksi copaskan jawaban yang dimaksudkan:

AGHH… (nukilan spektrum jiwa-jiwa kembara)

Adakah yang bisa menentang matahari untuk tidak terbit esok hari? Jalan-jalan luruh di setiap gang waktu. Adalah kami, empat manusia yang mencuplik jalan-jalan yang bersilang, jalan-jalan terbuka, jalan-jalan yang lintas.

Memasuki waktu yang kian entah, kepastian diburu limbang. Hanya harapan-harapan yang kami kepalkan. Selebihnya doa-doa mengelana di simpang hari. Inilah catatan kami dalam berbagai jendela. Kami menyebutnya taman hari, catatan kecil yang ditulis dalam ragam yang bebas.

Tulisan-tulisan, sajak-sajak yang hadir adalah ruang masa di sini. Ada resap yang gigih untuk dimengerti, ada sekadar tumpang-tindih rona dan keberpihakan pada situasi.

Bukankah kita memiliki kebebasan untuk mengungkap? Biarkan nadir yang memberi paham pada manusia-manusia lain. Nama-nama kami menjadi senjang atas ungkapan yang sepertinya klise. Aghh…

Dalam geriak alir yang senantiasa mengalir, ijinkan kami menjadi air. Biarkan kami menjadi sebuah rampai tulisan-tulisan yang membebaskan:

“Sejenak, kita ramu semua benalu kepedihan yang kita anggap cenaku di setiap interval usia sebagai squad yang patut kita banggakan (karena usai kita khatamkan) tetapi perlu kita hayati bahwa setiap benalu tidak hanya menghinggapi di rumbai cenakumu tetapi, aku-kamu-dia-mereka-kami-kita, tak terkecuali.

Setiap insan merasakan dicenaku, ini bagian dari dinamika dan tak perlu kita sebut fenomena. Begitupun dengan bencana, ia datang dengan belenggu masa lalu sebab apa yang dilandainya adalah sebuah persejarahan.

Dalam artian, semua yang menimpa hanyalah refleksi yang pernah terjadi sebelumnya. Awal-akhir-awal-akhir (mengenang awal-mempertanyakan akhir), ada-tiada-ada-tiada… selalu begitu-begitu saja.”

Pernahkah kita bermimpi lebih jauh?

Aku ingin menggapai hatimu
Aku ingin dirimu lebih kuat dari siapapun
Aku ingin melepas diriku hingga kau merasakan jiwaku

Tetes hujan adalah air mataku
Angin adalah nafas dan kisahku
Ranting dan dedaunan adalah tanganku
Karena tubuhku melekat seperti akar dengan cintaku
Dalam kesumat yang lingsir,  “Selembar kertas itu sudah tidak utuh lagi. Terbagi menjadi sejumlah potongan kata. Tertinggal satu potongan yang tak jadi kulepas, yang masih tergenggam hingga kepalan tangan membatu. Aku sudah menyerahkan semuanya. Cinta yang tak terbagi, meski kamu memilih pergi. Hanya satu potongan kertas. Aku membuka genggaman, “Aku …”

Maka siapa lagi yang menata jalan yang kandas. Waktu yang memberai: “Lantas, siapa yang memerlukan hiburan demikian? Sebagian customer rutin, mereka-mereka yang telah ditimpa lelah berlebihan karena energi dan waktu terporsir demi pekerjaan.”

Salam takzim, halaman-halaman terbuka untuk diziarahi. Terimalah spektrum ruang ini dalam keterbatasan.

Banjarbaru, Agustus 2020
A A G H

Membaca balasan tersebut, kami menanyakan apakah itu puisi? Apakah akan ada launching buku? Ia langsung menelpon seorang kru di antara kami lalu berbicara dengan suara nyaring.

“Ditunggu saja. Kami akan launching, kemungkinan di perpustakaan. Tidak ada tanggal. Pokoknya segera,”

Telpon ditutup. Kami malas untuk bertanya lagi. Kepada para pembaca budiman, kami atas nama redaksi mohon untuk tetap sabar menati. Karena kita belum tahu kejutan apa yang segera diunggah di media sosial mereka. Sebab kabar terakhir yang kami himpun, mereka baru bisa mengklarifikasi lebih gamblang seusai ada bukti fisik kalau buku tersebut benar-benar telah dicetak dan siap untuk menyapa para pembaca. “Ditunggu saja,” tutup Hudan. []