“Belum jadi santri kalau belum sengkadi.”
UNGKAPAN itu disampaikan Hairus Salim dalam acara peluncuran buku terbarunya “Kitab, Buku, Sepak Bola” di Kampung Buku, Banjarmasin, Selasa (16/5/2023) malam.
Sengaja tulisan ini saya mulai dengan pernyataan tentang penyakit “legend” di kalangan santri itu. Sebab, saya juga pernah mendengar tentang sengkadi dan santri ini dari pengajian seorang ustadz lulusan pondok pesantren di Banjar.
Sengkadi, seperti sudah awam dikenal masyarakat Banjar, adalah jenis penyakit gatalan yang biasanya menyerang di “papikangan” atau pangkal paha area alat vital. Bahasa kerennya “scabies” atau kudis yakni penyakit kulit yang disebabkan serangan kutu Sarcoptes.
Kalau kita perhatikan, nama sengkadi sepertinya diambil dari scabies yang keseleo penyebutannya di lidah orang Banjar.
“Sebenarnya fenomena penyakit ini tidak hanya dialami santri di Banjar. Tetapi juga dialami oleh santri luar. Kalau di Jawa, mereka menyebutnya jarbanan,” papar Hairus Salim.
Nah, perkara sengkadi ini pula yang tak luput ditulis Hairus dalam bukunya, yang diberinya tambahan subjudul: Kenangan Seorang Santri Wangal.
Ya, ini adalah buku kenangan atau semacam autobiografi kecil penulis semasa nyantri di Pondok Al-Falah, Banjarbaru, Kalsel, rentang tahun 1982-2988.
Semula, naskah buku ini dikirimkan Hairus kepada Prof Dr Mujiburrahman, rektor UIN Antasari, rekannya sesama santri dulu.
“Maksud saya untuk dibaca dan apa cukup pantas diterbitkan. Eh, ternyata Pak Mujib sangat antusias dan bersedia untuk menuliskan kata pengantar,” uja Hairus, yang menyebut temannya itu tipe santri yang tekun dan tertib, tidak seperti dirinya yang “wangal”.
Wangal (Banjar) adalah sebutan untuk orang yang susah diatur atau sering melanggar peraturan. Dan Hairus, menurut pengakuannya, adalah jenis santri semacam itu.
Salah satu akibat kewangalannya itu, Hairus digunduli.
Ceritanya, Hairus sengaja telat kembali masuk ke pesantren setelah liburan Idul Adha. Diberi libur 4 hari, ia malah libur satu minggu. Ia pun harus diberi hukuman. Tetapi ternyata ia tidak sendiri, ada 14 santri lainnya yang juga melakukan pelanggaran.
Sang Murabbi, pengasuh mereka di pesantren, (alm) KH Ahmad Kasasi memutuskan memberi hukuman gundul. Tentu saja Murabbi tidak menggunduli mereka satu persatu, melainkan hanya satu orang. Setelah itu, santri yang digunduli kemudian menggunduli santri lainnya, begitu seterusnya bergantian menggunduli.
Waktu itu, cerita Hairus, yang mengajukan diri untuk digunduli pertama oleh Murabbi adalah temannya bernama Ridwan. Setelah itu, Hairus mengajukan diri untuk digunduli oleh Ridwan.
“Saya sebenarnya memang berniat setidaknya sekali dihukum gundul, sebagai kenangan,” ujar Hairus. “Dan kenangan digunduli waktu itu justru menjadi kebanggaan dan kehormatan bagi saya. Sebab, Ridwan yang menggundul saya itu adalah habib, lengkapnya Sayyid Ahmad Ridwan Alkaf.”
Dalam beberapa kesempatan bertemu Ridwan usai nyantri, Hairus mengaku selalu menceritakan peristiwa itu dengan rasa senang dan bangga karena pernah digunduli seorang keturunan nabi. Nama Sayyid Ahmad Ridwan Alkaf ini pula salah satu dari beberapa nama yang tertulis di lembar persembahan buku: Teruntuk para sahabat yang telah mendahului.
Kisah kewangalan lainnya, misalnya, Hairus dan seorang teman santri pergi ke Banjarmasin hanya untuk menonton film di Bioskop Dewi. Ini pun ia dan temannya dijewer dan harus menerangkan film apa yang ditonton.
Tapi tak melulu tentang kenakalan yang dikisahkan. Ada juga kisah sedihnya. Seperti ia harus berpisah dengan sahabatnya yang berhenti dari pondok karena dibully. Temannya itu Ramlan, keturunan Jawa, lugu dan bila berbicara medhok. Karena itu pula sering diganggu oleh teman lainnya.
“Ketika ia pamit berhenti, pulang ke Jawa, saya terduduk di belakang dipan samping lemari. Saya menangis. Apalagi kemudian saya juga mengetahui dia anak yatim,” kisah Hairus agak bergetar.


Sebab itu Hairus mengingatkan betapa bahayanya bullying. “Bullying bisa terjadi di mana saja, tidak terkecuali di pesantren. Dampaknya sangat berat bagi si anak. Kita harus cegah bullying ini, terutama yang bisa kita lakukan di lingkungan di mana kita berada,” pesannya.
Ada banyak hal.menarik lainnya yang ditulis Hairus dalam bukunya setebal 222 halaman (terdiri 16 kisah) yang diterbitkan oleh Kayu Manis, April 2023, ini.
Terkait judul “Kitab, Buku, Sepak Bola”, terdapat pada dua tulisan, yakni pada tulisan ke-12 dengan judul “Antara Kita, Buku, dan Hobi Menulis” (hal. 172), dan tulisan ke-15 “Sepak Bola: Sebuah Intermezzo” (hal. 199). Judul kisah lainnya yang menarik: “Mengaji ke Guru Sekumpul” dan “Para Tamu Istimewa: Syekh Yasin Padang, Syekh Abdul Karim Al-Banjary, dan KH Idham Chalid”.
Dipilihnya “Kitab, Buku, Sepak Bola” sebagai judul buku bersampul biru dengan sketsa pondok Al-Falah ini mencerminkan diri penulisnya. Kitab terkait pondok pesantren, buku sebagai dunia yang hingga kini digeluti penulis, dan sepak bola— ini saya kira lebih soal momen saat buku ini dikerjakan dan diterbitkan, yakni Piala Dunia yang baru berakhir digelar Desember 2022 lalu, dan sepak bola SEA GAMES 2023 yang kali ini Timnas Indonesia U-22 berhasil juara setelah mengalahkan tim kuat Thailand di final dengan skor telak 5-2.
Perkara sepak bola ini pula yang menjadi selingan di tengah berlangsungnya diskusi. Sesekali ada interupsi soal informasi skor.
Diskusi yang dimoderatori Arif Rahman dari Kampung Buku ini juga menghadirkan Ali Mu’ammar, dosen UIN Antasari yang juga mantan santri.
Ali ternyata sekampung halaman dengan Hairus di Murung Pudak, Kabupaten Tabalong. “Jadi, sebenarnya sosok Hairus Salim ini sudah menjadi panutan dan inspirasi bagi kami yang lebih muda kala itu,” ujar Ali.
Yang paling diingat Ali, Hairus pertama kali yang mengenalkan Pesantren Kilat kepada mereka di kampung.
“Terkait buku ini, sebagai juga mantan santri, apa yang diceritakan Hairus sangat menarik. Mengingatkan saya juga pada masa-masa di pondok. Bagaimana misalnya saya pertama kali masuk pondok begitu terkesan ketika mendengar para santri berbicara dalam bahasa Arab, namun dialeknya Banjar,” ujar Ali yang pernah mondok di Darul Hijrah, Kabupaten Banjar, ini.
Begitu pula soal sepak bola. Menurutnya, olahraga inilah salah satu yang membuatnya betah di pondok. “Kalau tidak ada permainan sepak bola di pondok, mungkin saya sudah berhenti nyantri,” ceritanya.
Ada beberapa tanggapan dan kisah menarik lainnya yang juga disampaikan peserta, terutama mereka yang memang pernah mondok di Al-Falah. Jadi, semacam saling berbagi kenangan masa nyantri.
Hairus sendiri menyebutkan, selain sebagai kenangan hidup atau memoar dirinya, buku ini juga dimaksudkan sebagai upaya merekam jejak “sejarah” Pondok Al-Falah pada hampir empat dekade lalu.
“Sekarang Al-Falah sudah berkembang dan banyak perubahan. Dan buku ini adalah sebagai pengingat bagaimana pondok pesantren itu pada masa sekian puluh tahun lalu,” ujar Hairus yang kini bermukim di Yogyakarta dan juga menjadi pengasuh di Pondok Pesantren Bumi Cendekia di kota itu.@