SIMPANG SIUR nasib Dewan Kesenian (DK) di Kalimantan Selatan kembali hangat diperbicangkan oleh seniman, tokoh budaya, dan beberapa akademisi. Kehangatan pembicaraan ini terlihat dari munculnya status-status media sosial Facebook dengan kalimat yang sama, yakni: “Apa kabar Dewan Kesenian (Provinsi dan Kota/Kabupaten)?.

Kalimat itu kemudian mendasari munculnya berbagai wacana dan pendapat terhadap kinerja Dewan Kesenian itu sendiri, apakah sebagai sebuah kerja konseptual atau kerja teknis pada bagian ekosistem kerja sebuah daerah dalam bidang seni budaya.

Menarik sedikit ke belakang sejarah dari berdirinya DK Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia, maka tidak bisa dilepaskan dari masa Orde Baru. Secara periode DK terbentuk pada masa Orde Baru.masa di mana kesenian bukan lagi sebagai alat perjuangan (Orde Lama). Namun kemudian dijadikan sebagai sebuah alat pemersatu. Pada masa kini pula kesenian diposisikan sebagai sesuatu yang adiluhung (high art) sehingga perlu adanya sebuah lembaga non-struktural yang mengurusi tentang keberlangsungan terhadap visi pemenrintah masa itu melalui jalur kesenian dan kebudayaan. Tidak heran pada masa itu kesenian menjadi salah satu yang dimanjakan melalui DK dengan munculnya banyak bantuan pemerintah sebagai upaya pengembangan kesenian.

Pada mulanya DK hanya ada di Jakarta yang kemudian kita kenal dengan nama Dewan Kesenian DKJ pada tahun 1969 yang dikukuhkan oleh Ali Sadikin atas rekomendasi dari Akademi Jakarta, yang mana anggotanya adalah seniman, budayawan, dan cendikiawan seluruh Indonesia. dengan masa kepengurusan tiga tahun. DKJ kemudian merekomendasikan membentuk Badan Kontak Dewan Kesenian Indonesia (BKDKI). Badan kontak ini dibentuk sebagai jalan untuk melakukan komunikasi dengan presiden yang kemudian melahirkan sebuah Instruksi Mendagri No 5A tahun 1993 tentang pembentukan DK Provinsi di seluruh Indonesia, menyusul turunnya bantuan presiden untuk pengembangan kesenian sekitar 1998 dan 1999 yang dinikmati DK-DK se-Indonesia.

Pada era reformasi tentu lembaga seperti DK juga mengalami perubahan visi dan misi, yakni sudah bukan lagi sebagai perpanjangan tangan pemerintah, namun sudah menjadi mitra pemerintah dalam penentuan kebijakan-kebijakan yang bersangkut paut dengan persoalan seni dan budaya. Sayangnya, DK kebanyakan masih terjebak dengan romantisme sebagai underbouw pemerintah sehingga selalu berharap dan berpangku pada sistem penganggaran pemerintah. Ini juga kemudian menjadi salah satu penyebab DK tidak mampu berkembang pada fungsi barunya sebagai sebuah mitra pemerintah.

Pada sisi pemerintah juga mengalami hal yang sama yakni romatis sistem. Dinas Kebudayaan (atau Bidang Budaya) masih menganggap DK adalah bawahannya. Dinas Budaya kemudian merasa punya kuasa untuk mengontrol DK dalam setiap kerja DK itu sendiri. Kontrol itu tentu saja kuat karena DK sendiri terbentuk dari Surat Keputusan (SK) kepala daerah pada tingkatan masing-masing dan dengan bantuan pendanaan setiap tahunnya melalui APBD.

DK terbelenggu namun nyaman dengan pola seperti itu. SK kepala daerah yang terbit mengenai tugas, fungsi dan wewenang DK kemudian seharusnya mengalami proses review dari DK itu sendiri. Hal itu dilakukan agar tugas, fungsi, dan wewenang DK sebagai sebuah mitra penentu kebijakan dalam konteks seni budaya dalam suatu daerah.

DK di Kalimantan seharusnya mampu melakukan upaya advokasi mengenai fungsi dan tugas dari DK itu agar sejalan dengan apa yang dicita-citakan pada awal berdiri DK di Indonesia.

Romantisme ini tentu juga dilatarbelakangi bahwa pada kenyataannya DK di Kalimantan Selatan dan Kabupaten/Kota hanya dipenuhi kaum tua yang seakan-akan belum bisa move on dengan keadaan tugas, fungsi, dan wewenang  DK sekarang ini. Dinamika perkembangan seperti tidak menjadi salah satu tolak ukur pemajuan DK. Pada sisi lain, keterlibatan kaum muda dalam penentuan kebijakan kemudian harus segera dilakukan. Kolaborasi ini akan menciptakan suasana yang baik dalam tubuh DK. Sikap percaya terhadap kaum muda harus jadi salah satu langkah yang diambil DK sekarang. Peremajaan DK untuk keberlangsungan tumbuh DK adalah merupakan upaya kaum tua memberikan tongkat estafet DK kepada kaum muda.

Pada wilayah yang lebih mikro, antara DK Provinsi dan DK Kabupaten/Kota seperti bukan satu koordinasi. DK Kabupaten/Kota tidak pernah menganggap dirinya sebagai underbouw dari DK Provinsi. Sehingga masing-masing seperti memiliki wewenang masing-masing. Padahal seharusnya DK pada tiap tingkatan berada pada sebuah konsep visi bersama untuk menjaga stabilitas dan mengawal tumbuh kembang kebijakan pemerintah dalam konteks seni budaya. Jika tidak mampu berjalan demikian, maka tentu saja pemeritah yang memiliki kuasa tertinggi terhadap pembentukan DK harus mengambil kebijakan dengan, yang paling memungkinkan, melakukan mediasi dengan pola diskusi atau sejenisnya. Namun, jika itu juga mengalami kebuntuan, maka jalan yang paling baik adalah melakukan gerakaan katarsis terhadap DK.

DK itu penghubung antar sistem yang kemudian membentuk ekosistem antara pemerintah-seniman-swasta. Sehingga kemudian keberlanjutan kesenian dan kebudayaan dapat menjadi salah satu sinergisitas dalam pembangunan daerah yang dimotori para pelaku seni baik individu maupun komunal. Program-program DK yang sekarang ini, yang masih memposisikan DK sebagai pelaku pertunjukan harus dihilangkan dalam fungsinya. DK cukup saja sebagai mitra steakholder (pemerintah dan swasta), fasilitator pelaku seni, dan tentu saja yang terakhir adalah sebagai ruang temu antar seniman. DK harus mampu bersikap netral untuk menjaga independensinya di sisi pemerintah dan sisi masyarakat (seniman).

Pada akhirnya, jika kita menyepakati bahwa  DK telah “salah jalan”, maka kita atau siapapun kemudian yang melancarkan kritik atas perilaku DK ini harus duduk bersama menuangkan segala akal pikiran untuk keberlangsungan DK Kalimantan Selatan yang sesuai dengan topuksi kerjanya sebagai mitra pemerintah dalam konteks kebijakan-kebijakan yang diciptakan untuk seni budaya.@

Banjarbaru, 9 Februari 2019