Setelah sukses menjadi peraih Anugerah Sastera Rancage pertama untuk sastra Banjar di tahun 2017 lalu melalui novelnya Pambatangan (2016), awal tahun 2022 ini Jamal T. Suryanata kembali mengukir prestasi dengan terpilihnya buku Naga Runting sebagai penerima anugerah yang sama dari Yayasan Kebudayaan Rancage yang didirikan oleh mendiang Ajip Rosidi, seorang penyair senior asal Bandung. Untuk menggali apa dan bagaimana cerita di balik kesuksesannya itu, berikut ini redaksi asyikasyik.com (AAC) melakukan wawancara dengan Jamal T. Suryanata (JTS).

AAC : Bang Jamal, selamat atas Anugerah Sastera Rancage kedua yang barusan Abang terima di awal tahun ini. Bisa diceritakan dari anugerah pertama dulu?

JTS : Begini, seperti yang sudah Anda ketahui, Anugerah Sastera Rancage pertama yang  saya terima dari Yayasan Kebudayaan Rancage pada tahun 2017 melalui novel Banjar saya dengan tajuk Pambatangan. Ini sekaligus merupakan Anugerah Sastera Rancage pertama untuk sastra Banjar karena sebelum saya memang belum pernah ada penulis sastra Banjar lainnya yang menerima anugerah ini. Lalu, di tahun 2018 anugerah yang sama diterima oleh Hatmiati Masy’ud dengan kumpulan kisdap-nya Pilanggur. Tahun 2019, 2020, dan 2021 sempat kosong karena selama tiga tahun itu sastra Banjar tidak lagi memenuhi syarat untuk dinilai. Baru tahun 2022 ini sastra Banjar kembali mendapatkan anugerah tersebut dan kebetulan buku saya lagi dengan judul Naga Runting yang terpilih sebagai pemenangnya.

AAC : Jadi, kekosongan selama tiga tahun itu karena sastra Banjar tidak memenuhi syarat untuk dinilai. Sebenarnya, apa saja persyaratan yang harus dipenuhi agar bisa dinilai?

JTS : Untuk bisa dinilai oleh Tim Penilai dari Yayasan Kebudayaan Rancage memang harus memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, sesuai dengan misi yayasan kebudayaan ini, karya sastra yang bisa dinilai hanyalah karya-karya sastra berbahasa daerah. Kedua, karya sastra daerah yang masuk dalam kategori penilaian hanya mencakup karya-karya sastra modern yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku. Jadi bisa bergenre novel, drama, kumpulan cerpen, atau kumpulan puisi.  Sedangkan pantun, syair, gurindam, cerita rakyat, atau genre sastra lama lainnya tidak masuk dalam katergori penilaian. Ketiga, dalam satu tahun penilaian minimal harus ada lima judul buku sastra daerah yang diterbitkan. Jika dalam setahun itu belum mencapai lima judul, maka penilaian akan ditunda sampai terpenuhinya jumlah minimal tersebut. Jadi, misalkan sastra Banjar baru bisa memenuhinya selama sepuluh tahun, maka selama itu pula sastra Banjar belum berhak untuk dinilai. Saya kira, tiga hal ini yang menjadi syarat paling mendasar. Adapun soal kualitas karya, syarat ini praktis akan berlaku jika ketiga syarat utama tadi sudah terpenuhi.

AAC : Lalu, gimana ceritanya dulu ketika sastra Banjar untuk pertama kali menerima Anugerah Sastera Rancage ini? Apa yang Bang Jamal lakukan saat itu?

JTS : Iya, itu adalah masa-masa awal perjuangan saya untuk mengangkat maruah sastra Banjar ke pentas nasional. Kebetulan saya sendiri sudah cukup lama mendapatkan info tentang adanya Anugerah Sastera Rancage dan saya sangat terobsesi untuk menyeret anugerah tersebut ke sastra Banjar. Karena itulah, di tahun 2015-2016 saya berupaya sendiri untuk mengumpulkan semua buku sastra Banjar yang telah diterbitkan dalam sepuluh tahun terakhir. Jika harus dibeli, maka akan saya beli dengan biaya pribadi. Waktu itu, ada sekitar tujuh judul yang bisa saya dapatkan, lalu saya kirimkan ke alamat Yayasan Kebudayaan Rancage di Bandung. Alhasil, tahun itu juga sastra Banjar sudah masuk hitungan untuk dinilai. Dan alhamdulillah, hasil tak pernah mengkhianati usaha, kata orang. Novel pertama saya dalam bahasa Banjar dengan judul Pambatangan terpilih sebagai peraih Anugerah Sastera Rancage pertama untuk sastra Banjar di tahun 2017.

AAC : Baik, sekarang kita beralih kembali ke soal Naga Runting. Kalau tak salah, buku ini merupakan sebuah kumpulan novelet. Bisa diceritakan apa dan bagaimananya?

JTS : Benar, buku Naga Runting ini memang berupa kumpulan cerita agak panjang yang secara teoretis lazim disebut novelet. Di dalamnya berisi tiga novelet, masing-masing bertajuk “Naga Runting”, “Lambu Mangkurat”, dan “Asa Takulum Bara”. Novelet pertama pernah dimuat sebagai cerbung di beberapa nomor terakhir Media Kalimantan. Sementara, seperti yang juga sudah Anda ketahui, kedua novelet lainnya dimuat sebagai cerbung pula di asyikasyik.com sendiri. Bahkan, untuk pemuatan episode terakhirnya baru selesai beberapa hari yang lalu.

AAC : Kalau saya tak salah ingat, Bang, sepanjang sejarah sastra Banjar belum pernah ada yang namanya novelet. Apakah kehadiran novelet yang Abang tulis ini bisa dikatakan sebagai bentuk inovasi dalam sastra Banjar?

JTS : Iya, karena konsep inovasi sendiri berarti pembaruan atau menciptakan sesuatu yang baru, sekalipun tidak harus benar-banar baru. Nah, karena selama ini genre novelet itu belum pernah ada dalam khazanah sastra Banjar, maka suka tidak suka dia harus disebut sebagai salah satu bentuk inovasi dalam sastra Banjar. Meskipun kita tahu, novelet bukanlah genre baru dalam khazanah sastra Barat maupun sastra Indonesia sendiri. Namun, satu hal yang ingin saya katakan, dalam proses kreatif penulisan karya-karya sastra Banjar saya selalu berupaya untuk memberikan sentuhan inovatif, baik berupa inovasi bentuk maupun isinya.

AAC : Lalu, terkait dengan terpilihnya buku Naga Runting sebagai peraih Anugerah Sastera Rancage tahun 2022 ini, apakah itu juga ada kaitannya dengan inovasi?

JTS : Iya, saya kira memang begitu. Dalam buku Naga Runting, inovasi yang saya lakukan bukan cuma soal kebaruan genre novelet dalam khazanah sastra Banjar, tapi saya juga telah melakukan beberapa aspek pembaruan lainnya. Di antaranya, proses kreatif penulisan yang saya lakukan dalam ketiga novelet itu secara konsisten mengambil latar cerita sejarah, khususnya dari Hikayat Banjar. Ya, tentu saja sudah dengan sentuhan kreativitas. Ketika saya menulis cerita “Lambu Mangkurat”, misalnya, di situ saya coba mengawinkan antara genre prosa-fiksi dan drama. Dalam novelet “Asa Takulum Bara” saya hadirkan kutipan teks Hikayat Banjar, lalu disambung dengan narasi penulis hingga membentuk satu kesatuan cerita. Sementara itu, ketika menulis cerita “Naga Runting” saya terinspirasi dari kata-kata Sherwood Anderson yang juga dijadikan dasar penulisan beberapa cerpen Hamsad Rangkuti. Intinya adalah menceritakan pikiran atau imajinasi tokoh, bukan berfokus pada tindakan fisiknya. Nah, secara de facto, model penulisan seperti ini jelas belum pernah ada dalam khazanah sastra Banjar. Dan sekali lagi, bagaimanapun kecilnya pembaruan itu tetap harus diakui sebagai bentuk inovasi.

AAC : Terus, apakah produktivitas kepengarangan juga menjadi target penilaian?

JTS : Sejauh yang saya ketahui, rasanya tidak. Penilaian murni dari segi kualitas karya. Tapi andaipun produktivitas kepengarangan juga dimasukkan sebagai salah satu aspek penilaian, saya tetap menang kok. Sebab, dari lima buku yang dinilai untuk tahun ini, dua judul di antaranya adalah karya saya sendiri. Yang pertama sebuah kumpulan kisdap bertajuk Parangmaya, yang kedua iya Naga Runting tadi.

AAC : Oke, selama ini Bang Jamal termasuk penulis sastra Banjar yang paling produktif dibandingkan dengan penulis banua lainnya. Nah, menurut pengalaman Bang Jamal, apakah sampai sekarang masih menemui kendala dalam menulis?

JTS : Kalau soal kendala niscaya akan selalu ada, bahkan masih saja dialami oleh para penulis kelas kakap sekalipun. Bagi banyak penulis bilingual di Indonesia, menulis karya sastra dalam bahasa daerah jauh lebih sulit ketimbang menulis dalam bahasa Indonesia. Karena itulah, berdasarkan pengalaman saya selama ini, kendala teknis yang sering saya hadapi terutama terkait dengan masalah kebahasaan. Misalnya, saya sering terhenti menulis cukup lama hanya gara-gara soal satu kata yang ingin saya gunakan, tapi saya lupa kata-kata tersebut. Sebab, dalam menulis sastra Banjar saya harus benar-benar selektif memilih dan menggunakan sebuah kata. Apakah kata-kata yang saya gunakan sudah benar-benar bahasa Banjar ataukah justru terseret ke dalam bahasa Indonesia, ini masalah besar. Para penulis pemula umumnya terjebak dalam kesalahan ini. Mereka mengira sudah menggunakan bahasa Banjar, padahal kosa kata yang digunakannya ternyata justru dari leksikon bahasa Indonesia. Belum lagi soal penulisan kata bentukan dan penyusunan kalimat. Struktur kalimat bahasa Banjar jelas berbeda dengan struktur kalimat bahasa Indonesia. Belum lagi menyangkut tetek-bengek penulisan ejaan dan tanda baca yang hingga hari ini masih sangat kabur dalam bahasa Banjar.

AAC : Baik, Bang. Sebagai peraih dua kali Anugerah Sastera Rancage, menurut Bang Jamal ada nggak strategi jitu yang mungkin bisa diterapkan oleh penulis sastra Banjar lainnya?

JTS : Saya kira, jika orientasi kita memang diarahkan untuk meraih Anugerah Sastera Rancage, hal pertama yang harus dipahami oleh setiap penulis sastra Banjar adalah soal sistem seleksinya. Sekali lagi, seleksi dan penilaian Anugerah Sastera Rancage ini murni berbasis karya, bukan dengan sistem arisan. Dengan begitu, seorang penulis bisa saja meraih anugerah ini berkali-kali, bahkan bisa setiap tahun jika memang memenuhi persyaratan, tanpa mengindahkan soal senioritas maupun jumlah karya yang pernah ditulisnya. Namun begitu, kita bisa saja memasang strategi tertentu agar Anugerah Sastera Rancage ini tidak pernah kosong setiap tahun untuk sastra Banjar dan diraih oleh penulis yang berbeda. Contoh konkretnya begini. Tahun 2023 nanti harus ada minimal lima penulis sastra Banjar yang berkomitmen untuk menulis masing-masing satu judul buku, genre apa pun asalkan tidak keluar dari kategori sastra Banjar modern. Masalah penerbitannya bisa difasilitasi oleh lembaga tertentu atau bahkan dengan sistem patungan. Dari lima buku tersebut pasti ada satu judul di antaranya yang akan terpilih sebagai pemenang. Nah, tahun-tahun selanjutnya juga seperti itu. Jika strategi ini bisa kita lakukan bersama, saya pribadi siap untuk mendukung. Bahkan, saya juga siap untuk mengalah dulu guna memberi kesempatan kepada teman-teman penulis lainnya. Tapi tantangannya, semua harus produktif menulis. Jangan cuma menjadi penulis musiman yang hanya menulis untuk mengikuti ajang lomba penulisan saja. Saya kira, portal Asyikasyik.Com ini niscaya akan siap untuk menjadi media publikasinya.

AAC : Wah, menarik sekali apa yang sudah Bang Jamal sampaikan. Semoga strategi ini bisa dijalankan oleh para penulis banua. Sekarang yang terakhir Bang, semacam closing statement. Apa saran Bang Jamal untuk para penulis pemula?

JTS : Baik. Untuk menjadi penulis yang sukses itu sebenarnya modal utamanya cukup tiga saja. Boleh disingkat 3B, yaitu banyak referensi, banyak membaca, dan banyak menulis. Sejarah telah membuktikan bahwa para penulis yang sukses, di mana pun dan dalam bahasa apa pun, adalah mereka yang banyak punya koleksi buku atau literatur lainnya, gemar membaca, dan rajin berlatih menulis. Namun, untuk bisa menjadi penulis berkualitas itu memang diperlukan keberanian untuk melakukan sesuatu yang baru. Dia harus berjiwa eksploratif, kreatif, dan inovatif.@