1948, di tengah terjadinya pemberontakan PKI dan DI/TII, Bung Karno yang risau semakin bertambah kerisauannya melihat para elit politik yang harusnya duduk bersama mencari jalan keluar atas ancaman disintegrasi bangsa, justru berseteru satu sama lain. Ini bukan perkara main-main. Tindakan harus segera diambil, pertemuan harus segera dilangsungkan.
Tapi bagaimana caranya?
Bung Karno lantas memohon agar KH Wahab Chasbullah datang ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dan saran. Waktu itu kebetulan puasa Ramadhan sudah separo jalan. Kyai Wahab menyarankan agar diadakan acara silaturahmi saat Hari Raya Idul Fitri tiba. Bung Karno setuju, tapi dengan catatan jangan pakai istilah ‘silaturahmi’.
“Silaturahmi kan biasa. Saya ingin instilah lain,” begitu kata Bung Karno.
Sebagaimana sudah menjadi kebiasaan ‘orang NU’ yang selalu santai, tanpa bermaksud meremehkan kecemasan hati Bung Karno, dengan ringan Kyai Wahab menjawab. “Itu gampang. Begini. Para elit politik tidak mau bersatu itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Pakai saja istilah ‘halal bihalal.”
Dan benar. Ketika acara silaturahmi yang istilahnya diganti dengan ‘halal bihalal’ itu digelar, semua elit politik datang. Babak baru menyusun kembali kekuatan dan persatuan bangsa pun akhirnya terjadi.
Akan tetapi apakah istilah ‘halal bihalal’ yang dicetuskan oleh KH Wahab Chasbullah memang ‘produk’ orisinil Kyai Wahab sebagaimana banyak dikatakan orang? Tentu saja tidak.
Minimal ada tiga riwayat yang bisa dijadikan rujukan. Riwayat paling populer adalah cerita tentang Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara l atau yang dikenal dengan Pangeran Samber Nyawa, ketika memimpin Surakarta. Setelah kaum Muslimin merayakan Idul Fitri bersama keluarga, Sang Pangeran Adipati mengumpulkan para punggawa dan prajurit di balairung istana untuk melakukan sungkeman kepada Raja dan Permaisuri. Ide yang mulanya dilakukan dengan maksud menghemat waktu, tenaga dan biaya itu, berkembang menjadi tradisi mengunjungi orang yang lebih tua atau berkedudukan tinggi untuk saling maaf memaafkan.
Adapun riwayat yang kedua adalah cerita mengenai penjual martabak keturunan India yang mangkal di gerbang Taman Sriwedari, Surakarta setiap lebaran. Dibantu seorang lelaki pribumi yang bertugas menjaga api penggorengan, untuk menarik para pembeli, Si Pembantu biasanya berteriak ‘martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal!’ Teriakan tersebut kemudian ditirukan anak-anak menjadi ‘halalbehalal.’
Yang terakhir adalah cerita tawar menawar antara jamaah haji Indonesia dengan pedagang di Mekah. Agar barang yang diinginkan disetujui harganya, jamaah haji kita menambahkan kata ‘halal’ setelah menyebut angka nominal. Konon cara yang mereka lakukan terbukti berhasil. Si Pedagang menjadi luluh hatinya, dan akan menjawab dengan kata yang sama, ‘halal,’ sebagai tanda setuju. Setelah uang dibayar dan barang diterima, jamaah haji kita memungkasinya dengan ucapan ‘halal bihalal,’ sembari tersenyum lebar.
Sebelum dibakukan menjadi kata dalam bahasa Indonesia, ‘halal bihalal’ ditulis dengan satu kata, ‘halalbihalal’. Kata ini sudah ada dalam kamus Jawa-Belanda sususan orientalis keturunan Perancis—lahir di Leipzig, Jerman pada 20 Februari 1899, dan meninggal di Gouda, Belanda 1988—bernama Theodoor Gautier Pigeaud, terbitan tahun 1938. Penyusunannya dimulai tahun 1926 di Surakarta atas perintah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada tahun 1925. Di dalam kamus Jawa-Belanda itu, ‘halalbihalal’ dimasukkan ke dalam entri ‘A’ dengan kata ‘alalbehalal,’ tanpa ada perbedaan dengan pengertian ‘halal bihalal’ yang terdapat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia sekarang, yaitu acara maaf memaafkan pada hari Lebaran dan merupakan kebiasaan yang khas Indonesia.
Meski ‘halal bihalal’ berasal dari dua kata bahasa Arab (halal artinya ‘boleh/diizinkan’) yang digabungkan dengan penghubung huruf ‘ba’ [dibaca ‘bi’ ketika diucapkan dalam sebuah kalimat], namun penggabungan semacam itu tidaklah dikenal dalam gramatika bahasa Arab.
Akhirnya, apapun yang melatarbelakangi munculnya tradisi dan istilah ini, selama tidak bersalahan dengan syariat, kiranya dapat dibaca bahwa agama tidak bertentangan dengan budaya. Bahkan sebaliknya, agama dapat disinergikan dengan budaya sebagai salahsatu kekuatan menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia. Wallahu’alam.@