Pukul 09.00 di suatu Sabtu, aku duduk di sebelahnya. Menggoyangkan kedua kakiku yang bergantung di atas kursi papan tepat bawah pohon Kelapa. Kami berdua yang mengerjakan kursi kayu mengelilingi pohon kelapa itu. Di sana, di tengah-tengah laut, aku memandangi lima buah batu. Aku memang sudah melihatnya ratusan kali bahkan sampai tak terhitung lagi. Tak pernah membosankan. Apalagi saat malam. Dalam penglihatanku, aku melihat perempuan. Namun sebatas siluet dari sinaran rembulan. Bentuknya seolah putri raja yang sedang mandi tepat di atas batu-batu. Di sekeliling laut yang memantulkan cahaya bulan. Namun tidak di waktu pagi

“Guru, apakah anda tahu mengapa lima buah batu itu bisa timbul di tengah laut?” Baru pagi itu aku berani bertanya perihal itu kepada Ustadz Zakir.

“Memangnya aku tak pernah ceritakan padamu? Aku kurang tahu. Tapi menurut apa yang pernah kubaca di satu buku, batu itu adalah tempat pemandian keturunan bangsawan dari Kerajaan Daha dan Dipa. Orang di kampung kita percaya cerita itu, Val. Sebagian lagi juga melakukan badudus sejajar dengan batu-batu itu. Di pinggiran pantai ini,” Ustadz Zakir menunjuk hamparan pasir.

Seperti yang dilakukan kedua orangtuamu dulu. Badudus hanya dilakukan oleh keturunan bangsawan. Keturunan raja-raja.” Ia menerawang ke masa-masa lalu.

Saat itu aku juga sempat bertanya dalam diri sendiri, apa maksudnya aku seorang keturunan bangsawan? Aku tak pernah banyak bertanya saat ia bercerita.

Ustadz Zakir adalah pencerita yang baik. Aku mengira ia akan menceritakan dan membagikan segala yang ia tahu kepadaku, murid kesayangannya, mungkin. Apalagi dan sekali lagi, ia menyinggung tentang kedua orangtuaku yang telah lama meninggal.

“Tapi, belum waktunya. Kau memang sudah baligh berakal, remaja dua belas tahun. Segala perintah Tuhan sudah menjadi wajib. Kau telah menamatkan beberapa kitab yang aku ajarkan. Namun banyak yang harus kau pelajari lagi. Bumi ini terlalu kecil untuk menampung semua ilmu. Ingat, Val,  menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap muslim. Tancapkan hadits itu dalam hatimu. Bukankah kau sudah mengerti gunanya ilmu?” tanyanya kepadaku.

“Ilmu adalah imam dari segala amal. Dan amal mengikuti ilmu.” Jawabku tenang penuh penghayatan.

Ustadz Zakir mengusap rambutku. Lalu memelukku erat. “Aku mencintaimu karena Allah. Aku sudah melihat masa depanmu,” ucapnya saat itu. Pelukannya hangat dan begitu nyaman. Aku mendengar harmoni detak jantungnya. Aku menganggapnya seperti Ayahku sendiri. Meski tak ada yang bisa menggantikan peran Ayah, Ahmad Basir, dalam kehidupanku.

Dalam pelukan itu, aku mendengar suara orang berlari dari kejauhan. Derap langkah kaki tua itu semakin mendekat, dan semakin dekat dengan kami. Aku melepas pelukannya.

“Ada yang datang, Guru!”

Ia terkejut.

Seorang nelayan tua berlari-lari mendatangi kami dari sebelah barat. Tangannya menahan topi purun yang berada di atas kepala saat ditiup angin. Sampai di hadapan, ia tergopoh-gopoh, kelelahan, menumpu kedua tangannya menutupi lutut. Kemudian mengangkat mukanya dan berbicara.

“Ada Mayat! Baunya menyengat. Sepertinya sudah lama mati!” Teriak nelayan itu serak.

Kami berdua terbelalak dan saling pandang.

“Di mana tepatnya?” Ustadz Zakir menjawab.

“Di belakang kebun Pak RT Hasan.”

Aku melihat ketakutan di mata nelayan itu. Ada kegugupan. Dan timbul kecurigaan.

“Nouval! kau pulanglah dulu!”

“Aku ikut.”

“Jangan!”

Dengan berjalan cepat Ustadz Zakir mendampingi nelayan itu menuju kebun belinjo di belakang rumah Pak Hasan, yang tak lain adalah orang tua Ali. Aku tak punya pilihan. Beberapa jam lagi, rapor kelulusan sekolah dibagikan. Aku berbalik arah. Menuju rumah.

 

BERSAMBUNG