Tidak bisa. Gak bisa selow. Emang harus ngegas kayaknya. Itu juga saya mikirnya setelah ada video klarifikasi yang katanya minta maaf eh malah isinya seperti diskusi kaum akademisi. Pake ngejelasin istilah ini itu lagi. Sick!

Dalam bayangan kami nih, para ‘monyet’ yang biasa nongkrong di kedai kopi, akan ada 1 frame rekaman di mana beliau nih, “duh pake sebutan beliau lagi” menghadap kamera betul-betul bersungguh menyesali perbuatannya, dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.

Ya dong, seperti biasanya dong, klarifikasi apa pun sekarang yang terkait UU ITE mestinya begitu, kan, dan ‘sopan’, beradab, berakhlak. Eh yang terjadi malah…

Yah, ini kang… kang! Edy nambah momok, pakek nyinggung monas dan BSD di masa lampau! Saya pikir, belum ada ketulusan dalam diri Kang Edy, ya siapa tahu kan, ini mah kita bermain-main sama prasangka paling buruk aja dulu.

Dia lebih cenderung membela diri, sih, biar orang tahu bahwa dia itu gak salah. Dia itu pintar bermain kata, maka disediakannya lah para penerjemah atau kaum intelektual biar para netizen yang bodoh dan monyet-monyet ini paham. Begitu pemirsah…

Fine, mari kita kesampingkan dulu soal Ibu Kota Negara (IKN) yang telah disahkan bernama “Nusantara” secara RUU pekan kedua tadi di Senayan. Fokus soal bagaimana sih, menilai dari segi kejiwaan si Edy Mulyadi yang katanya caleg gagal dari PKS ini di masa pamilu periode lalu, apa visi misinya?

PERTAMA, Panggung Politik! Yes, sure. Itu so pasti. Visi misi Edy Mulyadi untuk menaikkan popularitas sedikit banyak, ya dapat, lah ya! mungkin bercermin dari kegagalannya semasa menjadi caleg beberapa waktu lalu, kurang populer.

Edy, tampaknya memanfaatkan kesempatan saat PKS menjadi satu-satunya partai oposisi terhadap rancangan pemindahan IKN. Dia pikir, inilah kesempatannya mendapatkan perhatian partai kembali yakni dengan menyamakan suara. Lumrah dong, lumrah.

Niatnya sudah bagus, caranya sudah oke, tapi tutur bahasanya yang buruk. Tanya aja ke Edy, dia juga tidak menyangka akan seviral ini.

KEDUA, cara-cara konservatif. Meraih dukungan dengan cara menarik perhatian, membangun citra, menampilkan foto, membuat video, mengundang media, konferensi pers, itu adalah cara-cara yang lumrah bagi kalangan media. Secara, Edy juga seorang jurnalis. Namun ia lupa, bagaimana seharusnya menaikkan citra diri terlebih dulu sebelum menarik perhatian partai yang dulu pernah ia duduki untuk berlayar.

Hal yang mesti diingat dari seorang politikus dalam menanggapi isu adalah: Dampak. Poin ini bisa dipasangkan dalam situasi apa pun dan keadaan apa pun. Dampak kehadiran anda sewaktu bencana, dampak kemunculan anda di media, dampak program yang ada kerjakan, misalnya.

Nah, Edy, dalam kasus ini ingin diingat bahwa ia menjadi oposisi yang menolak, berjuang, bersuara saat pemerintah mengampul keputusan, apa pun itu keputusannya. Diharapkan agar orang-orang ingat bahwa dia pernah berjuang, namun ia lupa, tutur bahasa yang baik, dan istilah-istilah masa lampau sudah tak efektif digunakan di era netizen yang digerubungi generasi Y dan Z.

KETIGA, kurangnya komunikasi dengan anak muda. Anak muda yang saya maksudkan di sini tak berpaut pada umur ya. Bisa saja ia tidak muda tapi memahami bagaimana transformasi sosial di era sekarang ini. Istilah “jin buang anak” , “genderuwo” “monyet” bagi generasi 90 an memang bukan istilah baru.

Kami familiar dengan itu semua. Kami di Banjarbaru pun pernah dengar istilah “Jin Buang Anak” pada wilayah Jl Trikora dulu, karena saking sepi dan horor, serta angkernya tempat itu, kepala daerah pulak yang ngomong. Tapi beda era, kan! UU ITE belum ada tahun itu. Apa lagi tiktok!

Facebook Comments