PEMUTARAN film “Dialog Kuliner” di kafe Rumah Oettara, Banjarbaru, pada Sabtu (22/1/2022) malam mendapat sambutan cukup antusias para audiens. Film produksi Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin ini menandai ulang tahun ke-28 lembaga tersebut, sekaligus terbukanya Rumah Oettara untuk kegiatan kesenian.

Dihadiri sekira 30an penonton, pemutaran film berdurasi sekitar setengah jam ini juga diisi dengan diskusi, menghadirkan pembicara Debbie Prabawati (peneliti sosial dari Yogyakarta), dan pengamat seni budaya asal Banjarbaru HE Benyamin.

“Film ini semacam ekstrak dari keberadaan LK3 selama 28 tahun,” cetus Debbie membuka komentarnya usai pemutaran film.

Ia menilai, film Dialog Kuliner syarat dengan pesan moral dan sosial dalam kehidupan yang heterogen. “Dengan bahasa yang sederhana, film ini bahkan bisa dipahami oleh anak-anak, sehingga cukup efektif dalam menyampaikan pesan dan nilai-nilai keberagaman yang terkandung dalam film ini,” ujar Debbie.

Kendati membawa misi pluralisme, menurut Debbie film ini tidak terjebak pada kesan menggurui. “Pesan-pesan disampaikan melalui makanan yang menjadi alat untuk menyatukan semua yang berbeda dalam satu meja. Dan dalam perbedaan itu, semuanya sama, tidak ada yang merasa lebih dari yang satu dan lainnya,” papar Debbie.

Lebih jauh perempuan aktivis ini melihat bahwa Dialog Kuliner sebagai sebuah film tidak saja membawa nilai sosial, ekonomi, budaya, namun juga politik. “Ada politik relasi di sana, yakni bagaimana perbedaan suku, agama, rasa dan budaya bisa saling terhubung, berkomunikasi dan bekerjasama,” ucapnya.

Namun Debbie mengkritisi dalam persoalan gender dalam film ini. Ia mempertanyakan mengapa semua peserta yang mengikuti kelas atau pelatihan memasak semuanya perempuan. “Ini seolah mengesankan bahwa urusan memasak atau dapur hanyalah semata urusan perempuan. Padahal laki-laki atau suami juga bisa juga ikut di sana,” ucapnya.

Sementara HE Benyamine mencoba mempertanyakan adanya tokoh mapan yang ikut di dalam pelatihan kuliner di film itu. “Karena pelatihan kuliner ini dimaksudkan untuk membantu mereka yang terdampak akibat Covid 19, maka seharusnya mereka yang ikut adalah orang-orang dengan ekonomi yang cukup lemah,” ujar Ben—panggilan akrabnya.

Senada Dibbie, persoalan gender juga disorot Ben. “Ketidakhadiran laki-laki dalam kelas kuliner, seakan menegaskan bahwa urusan memasak hanyalah urusan perempuan, sehingga seolah tidak ada peran laki-laki di sana,” katanya.