“Semua berasal dari air.” Ujaran ini rupanya berusia cukup gaek. Dua setengah millennium lebih. Hikmat ini berasal dari Thales, filsuf Yunani yang hidup sekira 624/623-548/545 SM. Thales termasuk dalam Tujuh Bijaksanawan Yunani. Gelar bijaksanawan ini diberikan oleh tradisi klasik Yunani pada mereka yang merupakan filsuf, negarawan, dan perumus hukum pada abad ke-6 SM yang tersohor karena kebijaksanaannya.

Aristoteles menyebut bahwa Thales adalah filsuf pertama dalam tradisi Yunani karena secara historis dikenal dengan orientasi filosofi ilmiahnya. Thales adalah juga seorang pengamat langit alias astronom dan ahli matematika. Dari refleksinya yang panjang dia tiba pada kesimpulan bahwa prinsip muasal dari alam dan sifat materi adalah dari substansi material tunggal yakni dari: air.

Sesederhana itukah? Menyatakan bahwa dunia ini tercipta dari air merupakan prestasi ilmiah yang tinggi. Perlu diingat, Yunani masa itu sangat kaya akan mitologi. Mitologi merupakan jantung kehidupan sehari-hari Yunani kuno. Orang Yunani menganggap mitologi sebagai bagian sejarahnya. Mitos digunakan untuk menjelaskan fenomena alam, keragaman kultural, permusuhan tradisional dan perkawanan. Ia jadi sumber kebanggaan di mana orang bisa menelusur keturunan pemimpinnya dari tokoh mitologis atau dewa. Karya Homer berjudul Iliad dan Odyssey yang menggambarkan Perang Troya adalah syair epik yang sangat berpengaruh bagi orang Yunani. Karya ini tentu saja berbalut mitologi yang kental. Mitologi inilah yang menjadi penjelasan bagi penciptaan alam semesta. Nah, filsuf Thales menerabas mitologi ini. Dengan mengesampingkan mitologi, dia menjelaskan obyek-obyek dan fenomena alamiah dengan teori dan hipotesis yang rasional berbasis penjelasan naturalistik.

Perihal air juga dibahas dalam dunia Samurai. Musashi Miyamoto (1584-1645 M), tokoh samurai legendaris Jepang, dalam karyanya Lima Cincin mengungkap tentang Jalan (Kebenaran) yang terdiri dari lima aspek penting, antara lain Tanah, Air, Api, Angin (tradisi), dan Kehampaan (sifat ilusioner dari hal-hal duniawi).

Saat berbicara tentang air, Musashi menyebutkan bahwa dengan air sebagai dasar, ruh menjadi seperti halnya air. Ia bertutur:

“Air mengadopsi bentuk wadahnya. Kadangkala berupa tetesan dan lain waktu berwujud laut nan liar. Air punya warna biru cerah… Jika anda menguasai prinsip pedang yang mengurung musuh, manakala anda dengan gampang mengalahkan satu orang, maka anda akan mengalahkan banyak orang di dunia. Semangat mengalahkan seseorang adalah sama dengan mengalahkan sepuluh juta orang. Ahli strategi membuat hal kecil menjadi hal besar, seperti membangun patung Buddha nan besar dari model ukuran satu kaki… Prinsip strategi adalah memiliki satu hal, mengetahui sepuluh ribu hal.”

Apa hubungan air dengan tanah Banjar? Etnik Banjar sejatinya punya mitologi air yang cukup kental dan memiliki hubungan kosmologis. Pada masa Kerajaan Negara Dipa (ca. 1380/7-1495 M), kerajaan nan lebih dahulu dari kerajaan Banjar, sosok nenek moyang diwujudkan dalam bentuk patung pria dan wanita yang disembah dan ditempatkan dalam istana. Pemujaan dua sosok arwah nenek moyang ini adalah wujud pemujaan atas Maharaja Suryanata dan Puteri Junjung Buih (Raja dan Ratu Pertama Kerajaan Negara Dipa). Keduanya merupakan simbol perkawinan (persatuan) alam atas dan alam bawah Kosmogoni Kaharingan-Hindu. Suryanata (surya= matahari; nata= raja) tidak lain sebagai manifestasi dewa Matahari dari unsur kepercayaan Kaharingan-Hindu, sang surya yang menjadi orientasi karena terbit dari ufuk timur selalu dinantikan kehadirannya sebagai sumber kehidupan, sementara Puteri Junjung Buih menjadi lambang air nan sekaligus lambang kesuburan tanah seperti halnya Dewi Sri di Jawa.

Dalam kosmologi kerajaan-kerajaan Hindu nusantara, istana raja merupakan citra kekuasaan bahkan dianggap representasi berkat dewata sebagai pengejawantahan lambang makrokosmos (jagad gedhe) ke dalam mikrokosmos (jagad alit). Puteri Junjung Buih sebagai pralambang "dunia bawah" sedangkan Pangeran Suryanata pralambang "dunia atas".

Pada arsitektur rumah khas Banjar, Rumah Bubungan Tinggi, pengaruh unsur-unsur tersebut masih dapat ditemukan. Bentuk ukiran naga yang tersamar/didestilir (bananagaan) melambangkan "alam bawah" sedangkan ukiran burung enggang gading melambangkan "alam atas".

Lebih jauh, Raja Banjar pertama menautkan hubungan erat matahari dengan air dengan gelarnya Sultan Suriansyah/Suryanullah dan nama aslinya Pangeran Jaya Samudera. Samudera jelas merupakan muara banyak sungai. Bukan kebetulan bilamana tersurat dalam sejarah, Pangeran Samudera (memerintah 1500-1540 M) memindahkan ibukota kerajaan dari pedalaman ke pesisir sebagai strategi politik-ekonominya.

Simbolik namanya sendiri, orientasi ke samudera, air nan berlimpah.

Baru-baru ini, tanah Banjar Kalimantan Selatan ditutupi genangan air yang melimpah ruah. Jokowi, presiden RI, yang merasa tersentil karena tagar #kalseljugaIndonesia, akhirnya mau menyempatkan diri ke Kalimantan Selatan. Mantan gubernur DKI ini menyebut bahwa intensitas hujan yang tinggi selama 10 hari menjadi penyebab banjir. Rombongan mobilnya dengan perkasa menerabas banjir yang menggenang. Tapi, perjalanannya berhenti di Martapura, ia mengamati dari atas jembatan. Ia tak terus ke Hulu Sungai Tengah, tempat di mana air yang berpadu tanah meluluh- lantakkan kabupaten tersebut. Bahasa Banjar menyebut kejadian ini ba’ah, banjir bandang bahasa populernya.

1
2
Artikel sebelumnyaIDEALISME BERNUANSA LOKAL DI OETTARA KOFFIE
Artikel berikutnyaSATAPIH
Pria dengan wajah ruwet ini lahir di Tanjung, Tabalong, Kalimantan Selatan pada 27 Oktober 1977. Pernah kuliah di Institut Agama Islam Negeri Antasari Banjarmasin Fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah dan Filsafat. Belum sempat lulus, keburu bosan, lantas pindah ke Jakarta. Berhasil lulus kuliah di IAIN Jakarta yang berubah jadi UIN ini pada 2002. Pernah aktif sebagai aktivis prodem dan coordinator Forum Study MaKAR (Manba’ul Afkar) Ciputat, aktivis di Desantara Institute for Cultural Studies, voluntir peneliti di Interseksi Foundation. Karena tidak betah menjomblo di Jakarta, pulang kampung pada 2006 sampai sekarang. Pada 2008 sempat menerbitkan Iloen Tabalong, satu-satunya media berbahasa Banjar se-Kalimantan dan gratis. Wahini sehari-hari bekerja di PLTU Tabalong. Hobi baca buku, diskusi, wiridan dan Tai Chi.