Benar belaka bila cerpen Macan karya Seno Gumira Ajidarma (SGA) yang terpilih menjadi Cerpen Terbaik Kompas 2020—yang pada Senin (28/6/2021) malam tadi digelar acara penganugerahannya, bukanlah seperti gaya biasanya SGA yang sering kita temui pada kebanyakan cerpennya.
Cerpen Macan itu kayaknya lebih tepat ditulis oleh seseorang bernama Burhanuddin, atau Jamaliah Suketi, misalnya, ketimbang oleh seorang SGA—membayangkan ini mungkin terkesan naif, tapi saya yakin kamu baru saja tersenyum menyetujuinya.
Membaca Macan—semoga kamu juga sudah membacanya, kita… atau okelah saya saja, seperti sedang tidak berhadapan dengan teks-teks atau cerita yang biasa ditulis oleh SGA. Sebagai pembaca karya-karya SGA, meskipun sudah banyak lupa, Macan bukan SGA banget. Satu-satunya (sebenarnya dua) penanda yang saya rasakan (saya tidak peduli perasaanmu) bahwa di dalam Macan itu ada sedikit bayangan SGA, hanya terdapat pada dua bagian. Yakni: “rembulan” dan “Ha-ha-ha-ha!”
Ini serius.
Baiklah, supaya agak sedikit jelas, saya kutipkan saja dua bagian yang saya sebut sebagai penanda kelebat bayangan SGA pada Macan itu.
…, mungkin untuk menghilangkan ketakutan dalam kegelapan rembulan. (bagian akhir paragraf pertama)
Malam tanpa rembulan semakin kelam. (bagian awal paragraf ke-19)
Membaca kalimat itu mengingatkan saya pada cerita-cerita silatnya seperti pada novel Negeri Senja atau Kitab Omong Kosong, dan Wisanggeni. Dan SGA, layaknya suhu, memang sangat piawai meramu kisah-kisah silat.
Beberapa penulis lain saya kira akan mencoba menghindari menulis kata “rembulan” itu, dan mungkin lebih memilih kata “bulan” saja, dengan pertimbangan kata “rembulan” terkesan jadul. Tapi tidak SGA, di tangannya “rembulan” justru lebih memancarkan citra dirinya.
Berikutnya; “Ha-ha-ha-ha!” Ya, ketika saya sampai pada bagian dialog itu (sebentar nanti saya tuliskan lengkapnya) saya langsung berseru, “Aha… ini memang dia.”—SGA maksud saya. Di sinilah bagian yang ia mencoba tidak ingin kehilangan hasrat bermain-mainnya dalam cerpen, seperti kebanyakan yang ia lakukan pada cerpen yang pernah ditulisnya. Meskipun saya meyakini (saya juga tak peduli keyakinanmu), di sini SGA agak merasa kurang asyik mainnya. Tapi apa boleh buat, daripada tidak sama sekali, barangkali begitu pikirnya saya kira.
Begini dialog yang ada “Ha-ha-ha-ha!”-nya itu:
“Hujan begini Simbah tidak ke mana-mana kan?”
“Oooh kurasa hujan seperti ini tidak banyak artinya bagi SImbah, justru ini saatanya keluar untuk mencari mangsa yang menggigil kedinginan.”
“Berarti mangsanya itu kamu!”
“Huss!”
“Ha-ha-ha-ha!”
“Ha-ha-ha-ha!”
“Ha-ha-ha-ha!”
(dialog itu dimulai pada paragraf ke-3)
Seperti saya bilang, di sini terlihat SGA ingin mencoba bermain-main. Tetapi SGA sepertinya sadar, ia tidak bisa bermain-main lebih dari itu lagi. Padahal, seperti pengakuannya lewat LIVE You Tube acara Anugerah Cerpen Kompas (2020) sekaligus perayaan HUT ke-56 Kompas, justru bagian-bagian bermain yang agak ngawurlah yang membuat ia merasa asyik atau menemukan keasyikan dalam menulis cerpen. Ya, kita bisa membayangkan cerpennya Pelajaran Mengarang, Sepotong Senja untuk Pacarku, atau Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi—dalam contoh tiga cerpen ini misalnya, kita bisa melihat keliaran imajinasi SGA yang khas, yang tragis namun juga komikal di saat bersamaan.
Macan, saya kira, andai SGA bisa menemukan judul lain yang lebih pas untuk cerpen itu, ia mungkin tidak akan memakai Macan.
Ya, ia sempat mau memaki judul “Simbah”, seperti pengakuannya. Dan ia benar, judul Simbah menyempitkan dan menjadi melokalkan cerpen itu sendiri—sementara, ia ingin meluaskan atau menguniversalkan tema yang ia tulis di cerpen itu. Lebih-lebih, seperti pengakuannya lagi, ia sebenarnya ingin menceritakan tentang pencurian ternak menggunakan mobil boks—setelah sebelumnya terlebih dulu membantai hewan ternak itu; sapi, kambing, kerbau, serta mengulitinya di dalam kandang dengan hanya menyisakan isi perut ternak berserakan dan bau anyir darah di mana-mana.
Cerita pencurian hewan ternak berkeahlian tinggi itu ia dengar dari temannya, namun hanya mengeram sekian lama dalam kepalanya tanpa tahu kapan menetas menjadi sebuah tulisan (cerpen). Sampai akhirnya kemisteriusan proses kreatif—yang oleh SGA itu memang rahasia, karena ia sendiri tidak tahu bagaimana tiba pada dirinya, cerita itu pun lahir dengan “menunggangi” seekor macan. Maka jadilah cerpen Macan—yang sedikit banyak saya kira judul itu agak mengganggu dirinya sendiri, karena mengingatkan ia dan orang lain (pembaca) pada judul Harimau! Harimau! novel karya Mochtar Lubis. Tapi sekali lagi, apa boleh buat.
Selain Harimau! Harimau!, saya sebenarnya lebih teringat novel tipis karya Luis Sepulveda, penulis Cile, yang dalam Bahasa Indonesia diterbitkan Marjin Kiri berjudul Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta; sebuah cerita memikat tentang seekor macan kumbang membalas dendam kepada orang-orang penambang emas di belantara Amazon, dan Pak Tua sebagai sang pemburu.
Tetapi SGA adalah SGA, guru menulis banyak para penulis barisan generasi penulis di bawahnya. Berguru dengan membaca karya-karyanya. Dan pada cerpen Macan yang terpilih menjadi Cerpen Terbaik Kompas 2020 ini pun kita bisa mendapatkan pelajaran mengarang.
Membaca dan mengikuti ceritanya, dengan pengintaian serta ketegangan yang dibangun, saya sempat menduga Simbah atau macan itu pada akhir cerita tidak jadi memangsa pemburu karena jatuh iba melihat bayi si pemburu yang sedang sakit panas—atau, setidaknya itulah kemungkinan besar ending yang saya pilih seandainya saya yang menuliskan cerpen itu dari awal.
Sudah jelas saya bukan SGA, begitu pula sebaliknya. Perkiraan dan pilihan ending saya salah. SGA mengakhirnya ceritanya dengan sebuah penutup yang terbuka. Ia tidak mengatakan si pemburu diterkam macan, tapi kita tahu si pemburu diterjang balas dendam macan yang telah kehilangan pasangannya. SGA benar. Macan tetaplah macan. Hewan ini sangat mustahil jatuh iba hanya lantaran melihat anak si pemburu sedang sakit, sekalipun itu mengingatkan si macan pada anaknya sendiri yang kehilangan satu induknya.
Namun, kali ini sudah terlambat.***
Begitu kalimat penutup cerpen Macan. Pendek saja. Namun, sampai pada tanda titik di ujung kalimat itu, kita seolah melihat seekor macan melompat menerkam si pemburu. Selanjutnya, macan dengan si pemburu bergumul di dalam kepala kita masing-masing.
“Itulah sastra,” ucap SGA. Menyampaikan sesuatu tanpa harus mengatakannya secara gamblang.
Si pemburu boleh terlambat, tetapi kita tidak boleh ada kata terlambat untuk terus belajar dalam membuat cerita (pendek) yang baik. Lebih-lebih kepada SGA yang dengan Macan ini telah kali ke-4 menjadi cerpenis terbaik Kompas. Dan ingat, pelajaran yang tak kalah penting bagi penulis yang hingga kini berusaha mati-matian agar karyanya bisa tembus Kompas, SGA mengaku cerpen pertamanya masuk Kompas pada tahun 1978, dan ia mulai mengirimkan karyanya ke Kompas sejak tahun 1974.
Artinya, cerpen pertama SGA di Kompas itu setelah ia melalui masa proses empat tahun. Jadi, bila kita baru satu dua tahun perjuangan gagal menembus Kompas, dan itu pun cuma ngirim satu dua cerpen, gak usahlah baperan. Terus saja gempur. Kalau perlu sampai redaktur cerpen Kompas bosan membaca namamu, Burhan—nama yang saya yakini masih lebih tepat sebagai penulis cerpen Macan karya Seno Gumira Ajidarma itu.@