HADIR dan menyimak satu seminar, tentu bukan hal istimewa, pernah dilakukan dan dialami banyak orang, termasuk saya. Tapi kali ini saya ingin belajar dari satu sesi seminar, bukan saja karena diselenggarakan di kota Manado, kota yang berulang kali ditetapkan sebagai kota paling toleran, dan seminar itu sendiri diselenggarakan oleh Dian Interfidei Yogyakarta (23/6/2022), di pusat pendidikan Katolik — Pineleng, Manado. Tapi juga karena dihadiri guru-guru yang selama ini masih jarang bergaul dengan orang berbeda agama dan saling berdialog. Tentu kalau sekadar berjumpa, pasti sering, namun tidak saling mendalami untuk memahami, apalagi berdialog.

Sebelum seminar ini, sesi sebelumnya peserta diajak melakukan udar prasangka – mengungkap apa yang selama ini menjadi prasangka, yang sering kali membentuk streotif atas orang lain. Setelahnya juga dilakukan kunjungan pada berbagai tempat ibadah yang berbeda, termasuk agama dan aliran agama yang selama ini merasa minoritas, kunjungan tersebut sangat membuat wawasan terhadap agama orang lain dan bagaimana agama-agama tersebut bertumbuh dengan umatnya.

Ada dua narasumber dari dua agama berbeda, yaitu Dr. Ahmad Rajafi, M.HI dari IAIN Manado mewakili Islam, dan Prof. Dr Johanis Ohoitimur, Rektor de La Salle Manado mewakili Kristen Protestan, dipandu oleh Dr. Denni H.R. Pinontoan, dosen Institut Agama Kristen Negeri Manado.

Kesempatan pertama disampaikan Dr. Ahmad Rajafi, M.HI. Dia melemparkan satu pertanyaan yang sangat mendasar, apa pentingnya menumbuhkan nilai-nilai pendidikan di Sulawesi Utara? Tentu saja kata dia, agar memahami, apakah pendidikan yang sudah berlaku dan diajar selama ini diterima oleh siswa, dan apakah sudah selaras dengan nilai-nilai toleransi keberagamaan atau tidak. Kadang kala, ada saja guru yang offside, keluar batas garis, dalam artian agama yang sudah pasti berbeda tapi diidentikkan dengan sesuatu yang tidak baik. Apa tujuan pendidikan dari negara? Agar membentuk watak dan perbedaan yang bermartabat, guna mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak mungkin akan cerdas bangsa ini bila tidak berwatak dan beradab.

Salah satu contoh beradab adalah tidak mau melakukan kekerasan atas nama apapun. Selama ini Islam diidentikkan dengan jihad, sehingga sangat menakutkan, agama yang suka dengan kekerasan. Padahal jihad tidak pernah diidentikkan sebagai perang. Yang disebut sebagai perang adalah qital, bukan jihad. Kapan kata jihad mulai digunakan untuk spesifik perang? Setelah masa Abasiyah dan Umayah, ketika mengekspansi Eropah. Guna mengobarkan semangat perang pasukannya, maka kata jihad digunakan untuk perjuangan perang, kata Ahmad Rajafi.

Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa kita sering kali salah secara historis dalam menjelaskan agama. Contoh kata jihad tadi tidak dilihat dari sisi historis kenapa kata itu muncul dan dikenal, padahal asli katanya “bersungguh-sungguh”, bukan perang. Ketika salah dalam memberikan pemahaman, salah merespon agama dalam pendidikan, wajar ketika bertemu dengan agama lain, mucul dalam kepala dan pandangan anak didik bahwa kita berbeda dengan mereka. Jujur saja, apakah dalam hati dan pikiran kita semua pernah terbersit bahwa orang di luar agama kita masuk neraka — tidak mungkin selamat.

Rajafi kemudian menentengkan satu tulisan, yang bila dilihat dari sisi peserta akan terbaca 16, dan bila dilihat dari sisi Rajafi akan terbaca 91. Ia menganggap bahwa begitulah cara pandang menyangkut agama, Tuhan dan lain sebagainya yang diyakini. Agama kata Rajafi, adalah kebenaran personal, tidak mungkin saya mengimani Tuhannya pastur dan pastur tidak mungkin mengimani Tuhannya saya. Selain bersifat personal, agama juga mengandung pesan-pesan universal, misalnya soal keadilan, kejujuran, berbuat baik, atau kekerasan, dan lain sebagainya. Kalau melihat dari tujuan pendidikan yang sudah dirumuskan pemerintah, sepertinya kita sudah mulai cerdas, tujuan Pendidikan kita adalah menjadikan manusia beriman, bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Kalau itu bisa terwujud, tentu sangat bagus sekali. Pendidikan kita secara substansi sudah benar, tapi dalam penerapannya hanya ada di atas kertas, cuman fokus di RDP tapi tidak fokus pada substansi. Di IAIN Manado, ada rumah moderasi beragama, penting bagi guru-guru mengembangkan moderasi beragama. Melalui moderasi beragama, saat itulah pelajaran agama ditujukan untuk meluruskan berbagai hal yang tidak dipahami dengan benar.

Narasumber kedua Profesor Dr. Johanis Ohoitimur mengatakan, bahwa selama ini tidak pernah lihat dan didengar dialog agama lintas guru-guru. Dikatakan, kita semua sangat sadar bahwa kita ini berbeda, Tuhan pasti punya maksud agar kita mengerti tentang kekuasaannya. Mungkin setelah kita mati baru tahu apa maksud Tuhan dengan semua perbedaan ini, saya sendiri belum mau mati untuk dapat mengetahui maksud Tuhan tersebut.

Kita hidup dalam alam demokrasi, kata Ohaitimur, dan demokrasi itu bukan hal yang sempurna — ada banyak cacat cela pada demokrasi tersebut. Sekalipun banyak kelemahannya, namun demokrasi menjanjikan agar kemajemukan — keragaman, diterima oleh semua orang.

Sekarang ini ada istilah pelajar Pancasila, lanjut Ohoitimur. Adakah di sini yang menjadi sekolah penggerak? tanyanya kepada peserta guru-guru yang hadir. Adakah yang ikut kurikulum belajar merdeka? tanyanya. Terkati pelajar Pancasila, saya akan tunjukkan tiga saja. Segitiga ini sudah ada sejak abad ke 4 pada zaman Aristoteles, yaitu logos, logis, agar anak dijelaskan secara logis tentang berbagai hal, sehingga logikanya bisa menerima apa-apa yang sudah disampaikan. Yang kedua adalah ethos, menyangkut aspek emosi, sampaikan hal-hal yang menyentuh hatinya – perasaannya, sehingga membentuk credibility. Yang ketiga adalah pathos, kebiasan baik, emotion, sentuh emosinya untuk selalu berbuat baik, biasa dan senantiasa berlaku dan berkata baik.