1/
DUNIA seni rupa Kalimantan Selatan sejak awalnya memang penuh warna. Meskipun, secara umum apresiasi masyarakat tidak beranjak jauh dari gaya realistik (realisme).Padahal sejak dini, pada masa Sholihin, gaya impresionistik dan ekspresionistik telah dicoba, seiring perkembangan seni rupa modern Indonesia. Pasca Sholihin, Misbach Tamrin pernah mencoba-terapkan gaya impresionistik, kubistik dan, terakhir—hasil pergulatannya bersama Sanggar Bumi Tarung—(apa yang disebutnya) realisme revolusioner.
Seiring waktu gaya melukis yang selalu dikaitkan dengan mazhab tertentu, atau yang biasa disebut secara umum “aliran”, sudah tak begitu relevan lagi dibicarakan, mengingat perkembangan seni rupa telah keluar dari kerangka estetika sempit terkait (sekadar) hal-hal teknis. Persinggungannya yang semakin meluas dengan wacana-wacana sosial, spiritual, politik dan ekonomi, memberi konteks pembicaraan yang benar-benar meruang dan luas. Bahkan lebih dari itu, seperti disebut Hujatnikajennong (2015: 5), medan seni rupa (dalam perbincangannya kini) menggambarkan jejaring yang cair, di mana kategori sosial yang baku seperti keprofesian, kelas, dan peran sosial berlaku dinamis. Medan seni rupa memperlihatkan berbagai dimensi (wacana) sosial, budaya, politik, ekonomi, yang saling beririsan.
Saya tak akan menarik perbincangan ini lebih jauh ke arah yang mungkin tak relevan disampaikan dalam konteks perkembangan seni rupa di Kalimantan Selatan. Tapi sedikit banyak, perbincangan karya dua perupa (pelukis) Banua Anyar tentu akan beririsan dengan wacana-wacana yang lebih luas dari sekadar membincangkan teknik dan gaya, atau yang lebih mudah disebut “aliran”tersebut, dari karya-karya kreatif mereka berdua.
2/
Kampung Banua Anyar adalah salah satu kampung tua di pinggiran kota Banjarmasin, yang berada di tepian sungai Martapura. Kini kawasan ini dicanangkan sebagai kawasan wisata kuliner oleh pemerintah kota, mengingat ada beberapa rumah makan yang cukup ramai dikunjungi masyarakat dan para wisatawan yang datang ke Kota Sungai ini. Lanskap tepian sendiri menjadi pemandangan yang menarik bagi para wisatawan, sembari makan, untuk mengenali karakter kota ini. Banua Anyar juga menjadi salah satu halte pemberangkatan klotok (kapal wisata), untuk menuju pasar terapung Lok Baintan di pagi hari.
Selain wisata kuliner yang dibangun oleh masyarakat dan didukung oleh pemerintah kota, tepian sungai Martapura di Banua Anyar kini juga dipenuhi keramba ikan. Masyarakat beternak ikan dengan dukungan aliran sungainya yang tak terlalu deras. Seiring waktu memang, tepian yang dulunya sunyi ini menjadi ramai. Arus bawahnya yang deras kini mungkin lebih landai, seiring dipasaknya tiang-tiang rumah, keramba dan pendangkalan yang niscaya belakangan ini. Tentu terjadi perubahan, ke arah yang lebih dinamis dan khas urban pinggiran kota yang berkembang.
Lanskap tepian sungai inilah yang melatari dunia dua pelukis, Akhmad Noor dan Maui, masa kecil dan tumbuh kembangnya sebagai seniman dan, lebih-lebih sebagai, manusia. Jiwa kreatif mereka sedikit banyak dipengaruhi kreativitas dan daya hidup masyarakat sungai yang terbentuk sekian puluh tahun belakangan. Cara pandang mereka, elan vitale dalam berkarya, maupun cara mereka memilih objek—disadari maupun tak disadari—berkaitan dan dipengaruhi oleh lanskap yang demikian dan lanskap globalitas hari ini yang semakin niscaya.
“Sebagai seorang yang terlahir di sebuah kawasan bernama Banua Anyar, yang letaknya berada di tepian sungai Martapura, tentunya tak terlepas dari pemandangan aktivitas hiruk-pikuk sungai yang memang merupakan sumber kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan. Saya sering menyaksikan interaksi antar manusia yang memiliki latar belakang berbeda-beda, hal itu jugalah yang membuat saya berproses, menyadari akan tinggal di antara masyarakat yang memiliki suku, bahasa, serta adat yang beraneka ragam.”
Begitulah Maui memaknai tempat kelahiran dan tumbuh-kembangnya. Memang tidak begitu khas, karena memang begitulah kenyataan dunia hari ini, lebih-lebih dengan dukungan internet melalui lalu lintas perbincangan media sosialnya yang masif. Maui terlahir sebagai Generasi Y (Gen-Y, sebagian ahli bahkan menyebut Z) atau milenial—yangmerupakan “anak” dari Generasi X (Gen-X atau sebelumnya, Baby Boomer)—yanglahir di antara tahun 80an hingga awal 2000an. Ciri generasi ini memang berbeda-beda berdasarkan wilayah dan kondisi sosial-ekonominya, namun setidaknya ditandai oleh peningkatan penggunaan dan keakraban dengan teknologi digital dan komunikasi media sosial berbasis internet. Ciri lainnya adalah individualitas yang lebih kentara dan pandangan yang terbuka terhadap globalitas dan perubahan. Sebagian besarnya mungkin acuh dengan perubahan lingkungan sosial terdekat dan lebih berorientasi ke dunia luar yang lebih dinamis. Alih-alih menjadi warga setempat, mereka lebih merasa sebagai warga dunia.
Kita bisa melihat karya-karya Maui yang mencirikan pandangannya, khas anak muda zaman ini. Fashion (gaya hidup atau gaya berpakaian dan berdandan), passion (gairah hidup), dan kepedulian terhadap lingkungan mereka yang lebih universal, membawanya pada bentuk-bentuk ilustratif yang agak nge-pop (khas manga [komik Jepang], dalam hal ini) dan simbol-simbol universal semacam mawar, bunga matahari, bola bumi, burung merpati, kupu-kupu, topeng, tengkorak, dst. Kalaupun ada “ciri” lokal, itu hanya sebatas ornamen yang ditempelkan tanpa dukungan makna simbolik yang sudah mentradisi. Ruang dalam lukisan Maui bersifat virtual dan global, simpel (minimalis) tanpa direcoki makna simbolik tradisional lazimnya. Dunianya adalah dunia personal yang menangkap apa saja yang lewat dalam lalu lintas “maya” sesuai ketertarikan visualnya, yang acuh pada bangunan simboliknya yang kontekstual dalam makna tradisionalnya.
“Akhir-akhir ini saya sangat menyukai pelukis bernama Alphonse Mucha, seorang pelukis pada era Art Nouveau yang terkenal akan gaya dekoratifnya, saya sangat mengagumi karya-karyanya. Ia mempengaruhi lukisan saya, dimana terdapat bunga-bunga serta sulur-sulur tanaman yang menghiasinya. Saya juga menyukai lukisan-lukisannya yang didominasi perempuan sebagai objek utamanya. Keelokan, keanggunan, kecantikan sebagai pesona yang dipancarkannya. Dia sangat menginspirasi saya.”
Berbeda dengannya Akhmad Noor, yang merupakan generasi X—yang lahir antara 1965-1980—yang secara stereotip dikatakan mandiri dan punya sikap terhadap lingkungan sosial terdekatnya. Generasi ini berada di antara dua generasi, baby boomer (1946-1964) yang menganggap penting soal etiket dan milenial yang acuh dan berorientasi global difasilitasi teknologi digital yang riuh. Di satu sisi mereka terikat secara sosial dan kultural dengan tempat mereka tumbuh, sementara di sisi lain mereka berhadapan dengan tantangan dunia digital maya yang serba tak pasti dan terbuka. Lihatlah pandangannya:
“Alam (sungai) yang dirasakan dulu, sangat jauh perbedaannya dengan waktu sekarang. Lebih banyak kerusakannya.Nah, perubahan (kerusakan) alam, sungai utamanya, itulah yang menimbulkan gagasan-gagasan yang akan diusung dalam pengkaryaan (saya), semacam bentuk protes atau penyadaran buat kita-kita sekarang, sadar atau tidak sadar.”
Lukisan-lukisan Akhmad bergaya realistik. Sebagian bicara tentang lingkungan tradisionalnya, sebagian bicara tentang sikap dan pandangan pribadinya terhadap perubahan lingkungan dan romantisme masa kecil. Lanskap sungai adalah bagian dari kehidupannya yang terus berlanjut dan wacana kerusakan lingkungan adalah apa yang dilihatnya dari globalitas kekinian yang niscaya menyergap melalui dunia maya. Terlepas dari keragaman gaya melukis hari ini—dari yang naturalistik-realistik sampai abstrak-surealistik dan ngepop—keindahan baginya masih berupa bentuk-bentuk tradisional yang representatif dan penuh warna cemerlang. Ia menyukai gaya lukisan Chusin Setiadikara dan mengikuti perkembangan seni realis dari internet dan diskusi media sosial.
3/
Irisan berikutnya, adalah dunia hari ini yang dirasakan oleh kedua generasi. Dunia yang hiruk-pikuk dengan pemberitaan dunia maya yang cepat dan penuh komentar-komentar yang nisbi. Antara yang berdasar dengan yang asal lempar, tanpa memerhatikan efek sosialnya yang lebih luas. Semua bertumpukan di media sosial, antara kemarahan, kenaifan, kepedulian, dan citra-citra banal yang dipoles sedemikian rupa.
Akhmad pada lukisannya “Self Portrait” sengaja mencoret wajahnya sedemikian rupa, penuh warna, dan seakan bersembunyi di balik kegelapan. Ini seperti representasi dari kegelisahan akan pencitraan yang tampak di ruang publik (media sosial) hari ini. Responnya tampak seakan menarik diri, namun tak kuasa. Berada di antara coretan warna, ia berusaha membuka mata sebelah dan menutup sebelahnya. Dalam gelap ia memandang dan diam, menjadi penyaksi perubahan zaman yang tak terbendung—dari dunia masa kecilnya di tepian sungai yang sunyi dan harmonis ke masa dunia digital yang bising dan chaos. Lihatlah lukisan-lukisan Akhmad yang seperti memutar kenangannya pada tepian yang indah (“Berangkat Kerja”), romantika dunia anak-anak (“Mainanku Dulu”), lalu perubahan yang niscaya (“Berlabuh”), kegelisahan yang dingin dan melankolis (“Main Biola”), suara kepedulian (“Galang Persatuan”), dan penerimaan akan sesuatu yang niscaya (“Menjaring Posmo”). Lukisan-lukisan ini seperti tumpukan narasi yang berjalin-kelindan di antara perubahan-perubahan zaman.
“Yang ingin disampaikan biasanya realitas umum keseharian di sekitar kita. Ada sedikit kritikan yang disematkan dalam bentuk lukisan, pengennya itu menjadi dialog pada siapa yang menyimak atau mengapresiasi karya itu.”
Meski lukisan Maui tampak acuh dengan problem sosial-digital kekinian, bukan berarti sepenuhnya ia bergeming, abai, terhadap keadaan sosial demikian. Dunia Maui, seperti halnya pada Akhmad, bisa dilihat melalui analogisasi yang samar. Dunia dalam karya-karya Akhmad bisa dilihat sebagai metafora, ungkapan yang dapat diperbandingkan dan dianggap memiliki makna yang lain dari sekadar visualisasinya yang tampak jelas. Sedangkan karya Maui mengungkapkan personifikasi, perbandingan melalui benda-benda yang dapat ditafsiri dalam makna yang lebih luas, namun cukup mudah dikenali secara umum. Bunga dan burung untuk harmoni dan perdamaian, topeng dan tengkorak untuk kepalsuan dan kengerian, bola bumi dan bulatan untuk kepedulian dan kebulatan tekad.
“Bumi difemininkan, diibaratkan seperti wanita yang merawat kehidupan, seperti seorang ibu yang menyayangi anak-anaknya. Bumi disimbolkan sebagai kerahiman, sesuatu yang dapat menyemai kehidupan…. Padahal ketika kita merasa sakit, kita akan mencari tahu apa yang salah dengan tubuh kita dan segera mengobatinya. Maka, bumi juga harus diperlakukan seperti itu. Harus dijaga, dirawat, disayang, layaknya seperti diri sendiri. Karena ia adalah organisme yang hidup sebagai satu kesatuan yang sama dan hidup berdampingan dengan para makhluk hidup di dalamnya. Ia juga bernapas layaknya kita.”
Lukisan-lukisan kedua perupa ini adalah pandangan dunia mereka saat ini, mewakili yang personal sekaligus sebagai makhluk sosial, yang niscaya berhadapan—entah disadari ataupun tidak—dengan perubahan-perubahan yang tak terelakkan, dengan melibatkan pengalaman dan pengetahuan artistik mereka. Sebagaimana dikatakan,“seni lukis adalah pengungkapan pengalaman artistik, mengekspresikan emosi (perasaan), gerak, ilusi maupun ilustrasi dari kondisi subjektif seseorang, baik berupa simbol atau keragaman dan nilai-nilai lain yang bersifat subjektif; ditampilkan dalam bidang dua dimensional dengan menggunakan garis, warna, tekstur dan pengkombinasian unsur-unsur visual tersebut” (lihat Susanto, 2011: 241).
4/
Terakhir, bahwa dunia kesenian di sekitar mereka turut mempengaruhi wawasan dan capaian artistik yang mereka geluti. Akhmad beberapa tahun terakhir cukup aktif berpameran, di Banjarmasin maupun di kota-kota besar lainnya di Indonesia. Tahun 2019 ini saja ia mengikuti pameran seni rupa di Kalsel (‘Rupa-rupa Topeng Merupa’ di Taman Budaya Kalsel Banjarmasin dan “Road to Nature’ di Kiram Park), Kaltim (Pameran Besar Seni Rupa 2019 ‘Kayuh Baimbai’ di Big Mall Samarinda), dan Jakarta (‘Wajah Indonesia’, Pekan Kebudayaan Nasional 2019 di Gelora Bung Karno). Sementara ia tinggal di Banjarmasin, tempat di mana suprastruktur dan infrastruktur seni rupanya tidak semaju di Jawa. Untuk membeli keperluan melukisnya kadang ia harus memesan secara online ke luar daerah, dan ia membiayai “kesenangan”nya ini dengan bekerja secara freelance membuat desain furniture dan interior. Sesekali ketika pameran lukisannya laku, dan ia juga menerima jasa lukis potret. Pameran-pameran di Kalsel umumnya merupakan agenda rutin yang dibiayai pemerintah, dan diskusi seni rupa tidak berlangsung dinamis kecuali ia mengikutinya melalui perbincangan dunia maya.
Sementara Maui di sisi lain, tinggal menetap sementara di Malang. Ia sedang kuliah S1 di jurusan Seni Rupa di Universitas Negeri Malang, lingkungan akademis yang ideal untuk meningkatkan wawasan dan teknik pengkaryaan. Bahan untuk melukis lebih mudah didapatkan, bacaan dan diskusi di luar kampus pun tentu lebih semarak. Saat ini, seperti dikatakan sebelumnya, ia sedang menggandrungi Art Nouveau, terutama melalui karya-karya Alphonse Mucha (1860-1939), entah nanti seiring karier seni rupanya yang terus berkembang.
Lingkungan seni keduanya meski berbeda, namun disatukan oleh kemudahan akses lewat globalisasi internet. Dalam hal ini, etos kerja dan ketertarikan yang kuat (passion)-lah yang menghubungkan keduanya, selain tentu saja lokus Banua Anyar sebagai global-village hari ini. Mereka berdua telah menerabas pesimisme “lokal” yang mengungkungi mereka, dan seni lukis membuat optimis keduanya. Demikianlah pula kita, mesti mengoptimalkan apa yang tersedia untuk mengapresiasi seni rupa di banua.@