DULU saya diajari oleh seorang guru saya tentang ekosistem sebuah pertunjukan. Bagaimana semua hal terkait, baik internal hingga eksternal memiliki peranan penting dan tidak ada yang saling mengalahkan. Bahkan beliau menggambarkan bagaimana seorang penarik tali tirai panggung pertunjukan harus melakukannya dengan serius agar tidak terjadi kesalahan sedikitpun demi menjaga intensitas dan efektifitas pertunjukan.

Guru saya ini juga mengajarkan bagaimana memposisikan pertunjukan sebagai sesuatu yang sakral dari semua rangkaian acara. Dan perbicangan saya dengan guru saya itu hingga kini saya pertahankan menjadikan penonton yang datang dan membayar pertunjukan sebagai raja yang harus mendapatkan hal yang mereka inginkan dari pertunjukan.

Setelah sekian lama, saya kira hampir lima tahun tak melihat secara utuh Edi Sutardi menjadi seorang aktor dalam sebuah pementasan. Pada tanggal 27 Desember 2019 saya akhirnya bisa melihat kembali secara utuh pertunjukan monolog Edi Sutardi dengan naskah Anzing karya Rahman Sabur.

Pertunjukan yang hampir berlangsung 45 menit ini seperti melihat Edi Sutardi terlahir kembali menguasai panggung besar pertunjukan di Kalimantan Selatan.

Naskah Anzing karya Rahman Sabur ini sendiri menurut saya sebagai penonton merupakan gambaran pasca tragedi bagaimana peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa orde baru dan pasca reformasi tentang bagaimana seseorang yang punya kuasa berusaha agar dia tidak menjadi anjing.

Anjing menjadi binatang yang direpsentasikan atas laku brutal, koruptif, dan liar dengan gambaran yang juga kadang terlihat manis, mudah akrab dan penurut. Secara terjemahan ke atas panggung saya kira Edi Sutardi mampu menjadi manusia jadi-jadian tersebut. Memberi gambaran yang kuat melalui gaya aksen vocal yang pelan, tegas, dan kuat. Gerakan-gerakan tubuhnya begitu menggambarkan anjing yang berdiri namun kadang-kadang menjadi manusia sepenuhnya. Juluran lidah dan erangan khas anjing juga menambah kesan buas.

Namun tentu saja juga tidak bisa dipungkiri, bahwa fisik tubuh sangat mempengaruhi kinerja artistik yang dibangun Edi Sutardi. Di awal-awal saya bisa melihat bagaimana gerak Edi Sutardi yang kuat, namun semakin ke ujung melemah dengan helaan napas yang jelas terdengar bagi saya. Menurunnya skill ini tentu saja menurut saya dipengaruhi proses kreatifnya sendiri.

Pada banyak kesempatan bertemu, Edi sutardi sering berkelakar bahwa dia sekarang adalah tukang kopi. Tentu ini menjadi pandangan yang menarik jika melihat dari hasil pertunjukan Anzing tersebut. Mata saya tak bisa membohongi bahwa Edi Sutardi ini kurang berlari meski memang salakan-nya masih mampu menggetarkan satu gedung pertunjukan.

Set latar menggunakan bantuan media proyektor untuk memberikan informasi antara hubungan anjing dan manusia cukup mampu memberikan simpul-simpul penjelasan. Saya kira juga ini adalah cara Edi Sutardi untuk menunjang artistiknya agar lebih komunikatif. Kemudian pada tata pencahayaan, saya lihat terasa adanya keragu-raguan dalam setiap proses kerja untuk mengkonstruksi suasana ataupun untuk membentuk frame aktor.

Menariknya adalah, ternyata pertunjukan Anzing hanya hidangan penutup dari launching program CV. Human and Inspairing. Dari open gate hingga pentas utama berdurasi hampir satu jam setara pertunjukan, baru akhirnya saya bisa menonton Anzing. Ini tentu saja sangat membuat saya bosan menunggu karena baik undangan atau branding yang dibangun adalah pertunjukan monolog Edi Sutardi naskah Anzing karya Rahman Sabur, bukan hal yang lain.

Psikologi penonton sangat penting dijaga, baik mood hingga kondisi main event-nya. Pada sebuah pertunjukan tiada yang lebih penting dari pertunjukan itu sendiri beserta semua piranti pendukungnya. Jika ada hal lain? Itu tidak boleh mengalahka porsi hidangan utamanya.@

Banjarmasin, 30 Desember 2019
Foto: Iyay Fotografi