ADA satu pemikiran yang membuat saya gelisah belakangan. Bukan, bukan jumlah korban yang terus bertambah, juga bukan tentang meluasnya jangkauan pandemi virus. Ini semua, pandemi Covid-19 dan segala konsekuensinya akan berakhir suatu hari kelak, dengan satu dan lain cara.
Satu pertanyaan yang cukup mengganggu adalah apa yang terjadi setelah semua ini berakhir? Apa efek krisis kesehatan global ini pada kehidupan umat manusia selanjutnya?
Saya membaca dua tulisan yang membahas ini dengan cukup mendalam, artikel BBC yang berjudul Coronavirus: When Will the Outbreak End and Life Get Back to Normal, ditulis oleh James Gallagher dan tulisan Yuval Noah Harari, penulis buku Sapiens, berjudul The World After Coronavirus yang terbit di Financial Times. Yang terakhir menurut saya adalah tulisan terbaik tentang krisis global akibat virus ini.
Beberapa hal di dalam dua tulisan itu sekaligus pikiran-pikiran yang menggelisahkan saya akan coba dituangkan dalam tulisan ini.
Saya sudah pernah menulis tentang pandemi Black Death beberapa waktu lalu. Wabah global abad ke-14 yang menewaskan sepertiga populasi dunia. Kita juga mungkin membaca beberapa artikel mengenai wabah lain yang sama mengerikannya, flu Spanyol yang menewaskan hingga 50 juta jiwa. Atau pembaca juga mungkin ingat pada wabah Tha’un Amwas yang menimpa Syam pada tahun 18 Hijriyah di masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab.
Saya akan mengetengahkan satu pertanyaan mengenai semua wabah ini, apa yang terjadi setelah wabah-wabah itu berakhir?
Pasca Black Death usai, masing-masing wilayah menemukan fakta bahwa manusia telah berkurang secara signifikan. Tuan-tuan tanah di Eropa misalnya menyadari bahwa para pekerja atau budak penggarap lahan telah menyusut sedemikian rupa. Pilihannya, membiarkan lahan itu mati atau menarik pekerja lahan yang masih hidup dengan janji penghidupan yang lebih baik.
Pada masa itu, para pekerja dan budak memiliki posisi tawar yang lebih baik. Mereka meminta bayaran jika sebelumnya para tuan tanah tidak membayar mereka, atau dibayar lebih besar jika sebelumnya sistem yang diterapkan memang kerja berupah. Dengan peningkatan kesejahteraan, masyarakat level bawah bisa mendapatkan edukasi yang cukup baik.
Pasca wabah, Italia pada gilirannya memasuki masa Renaisans yang terkenal itu. Berkurangnya populasi secara umum membuat pengaturan sistem sosial, ekonomi, dan politik menjadi lebih baik dan teratur.
Namun, Black Death juga membawa dampak lain yang efeknya terasa hingga saat ini, manusia menjadi lebih sekuler. Tuhan dianggap tidak hadir saat wabah, hingga selanjutnya untuk urusan manusia, Tuhan tak lagi (di)hadir(kan) sebagian manusia. Paling tidak hal ini merasuk dalam pandangan hidup orang Eropa selanjutnya.
Bagaimana dengan Flu Spanyol yang sebenarnya tidak berasal dari Spanyol itu? Kemunculannya yang bersamaan dengan Perang Dunia ke-1 membuat orang lebih mudah melupakannya. Kepahitan akibat peperangan terasa lebih memorable daripada jutaan orang yang tewas karena virus ini. Para penderita yang sebagiannya tentara aktif dalam perang tumpang tindih dengan korban akibat peperangan itu sendiri. Tapi kita selalu ingat masa-masa perang, dengan atau tanpa virus mematikan adalah masa-masa paling suram dalam sejarah kemanusiaan kita.
Sekarang, mari kita membicarakan Thaun Amwas.
Apa yang terjadi seandainya Amr ibn Ash ikut tewas dalam wabah itu. Hal itu bukannya tidak mungkin, malah justru seharusnya terjadi. Interaksi Amr ibn Ash yang sangat intens dengan para sahabat yang tewas, termasuk Gubernur Syam saat itu, Abu Ubaidah ibn al Jarrah dan Muadz ibn Jabal sangat memungkinkannya tertular wabah. Namun qadrullah, Beliau masih hidup dan menggantikan Abu Ubaidah ibn al Jarrah sebagai gubernur Syam.
Apa yang terjadi jika Amr ibn Ash ikut tewas? Barangkali penaklukan Mesir tak pernah terjadi karena penaklukan Mesir sendiri adalah ide Amr ibn Ash yang bahkan ditentang sebagian sahabat. Penaklukan Mesir mungkin terjadi pada fase yang lebih terlambat yang akan mengubah sejarah keislaman di sana. Barangkali daerah Maghrib (Mesir, Maroko, Aljazair) tidak akan totally Islam seperti sekarang. Kita tak pernah tahu. Barangkali juga peristiwa Tahkim (pembaca cari referensi sendiri ya mengenai peristiwa Tahkim di masa kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib ini) tidak pernah terjadi, dan artinya dualisme kepemimpinan Islam antara Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah ibn Abu Sufyan juga tak terjadi. Dualisme yang membawa kekhalifahan selanjutnya memasuki masa-masa penurunan termasuk dikotomi antara Syam dan Hijaz yang eksesnya masih terasa hingga saat ini.
Bagaimana jika Abu Ubaidah ibn al Jarrah masih hidup? Barangkali ia akan menjadi khalifah pengganti Umar ibn Khattab, karena dalam sebuah atsar diceritakan bahwa Umar begitu menginginkan Abu Ubaidah ibn al Jarrah menjadi khalifah sepeninggalnya jika Abu Ubaidah masih hidup. Apa yang terjadi dengan wajah sejarah Islam di tangan Abu Ubaidah, kita tak pernah tahu.
Apa yang mungkin terjadi setelah wabah atau gambaran apa yang mungkin terjadi jika wabah tak terjadi juga dapat kita amsalkan pada pendemi Covid-19 yang merampas kehidupan normal dunia kita beberapa bulan ini. Begitu banyak perubahan dalam waktu singkat. Kita seperti berada dalam gambar-gambar bergerak di mana tiap adegan berganti cepat sementara pikiran kita masih berada di titik mula film. Kita terpana, dan kita tak mengerti kemana semua ini akan membawa kita.
Sampai hari ini kita masih berjuang untuk keluar dari situasi ini. Tapi seperti layaknya pendemi-pendemi dalam sejarah, semua takkan berakhir dalam waktu singkat. Agaknya perlu tahunan untuk benar-benar terbebas dari pendemi ini. Kita akan berhadapan dengan gelombang kedua, ketiga, atau keempat pendemi ini sampai benar-benar lepas sepenuhnya. Tahun-tahun panjang akan kita lewati, tahun-tahun yang memerlukan optimisme, keberanian, dan kesabaran kita.
Pendemi Covid-19 menurut Harari memaksa kita membuat keputusan-keputusan luar biasa. Kebijakan meliburkan sekolah dan kampus, menutup akses masuk keluar sebuah wilayah, keputusan subsidi kebutuhan pokok secara massif, dalam kondisi normal akan perlu waktu bahkan hingga tahunan untuk disetujui. Namun, para pemimpin dipaksa oleh situasi untuk mengambil keputusan yang cepat dan menyeluruh.
Kebutuhan untuk mempertahankan hidup juga membuat produk kesehatan dan teknologi pendukung lain yang masih prematur diakselerasi untuk bisa digunakan secepatnya. Vaksin yang dalam hitungan bulan bahkan minggu langsung diujicobakan ke manusia adalah hal yang takkan terjadi dalam pandangan etis kondisi normal. Kita juga menemukan diri kita berkutat setiap hari bekerja di rumah dan melakukan semua kegiatan secara daring.
Apa yang akan terjadi setelah semua ini berakhir? Dalam beberapa bulan ke depan kita terjebak antara meneruskan gaya hidup social distancing yang sangat tidak nyaman dan tidak cocok untuk karakter kemanusiaan kita sebagai makhluk sosial atau berada di bawah penyebaran virus yang berpotensi mengancam nyawa. Dua-duanya pilihan suram. Tapi sebagai karakter dasar manusia, bertahan hidup adalah naluri mendasar. Bayangkan jika social distancing ini terus kita pertahankan sebagai sebuah kebiasaan hidup, kita akan mempercepat apa yang harusnya terjadi puluhan atau ratusan tahun yang akan datang.
Ingat tak, kita mengeluhkan kehidupan dunia maya yang tampak lebih nyata dari dunia nyata itu sendiri? Orang-orang asyik dengan media sosialnya sementara kehidupan sosialnya sendiri menjadi asing. Social distancing yang terus-menerus akan benar-benar menjadikan kita hidup nyata dalam dunia maya, dan kehilangan kehidupan nyata itu sendiri.
Aplikasi teknologi untuk berkomunikasi secara daring pada akhirnya (mungkin saja) mengalahkan keinginan untuk berinteraksi secara nyata jika manusia sudah merasa nyaman dengan itu. Itu sebabnya, pemberlakuan social dictancing ini menurut saya tidak boleh terlalu lama karena bisa mengubah watak dasar manusia yang sosialitatif. Oleh sebab itu vaksin harus ditemukan dan obat harus dibuat, meski pada akhirnya seperti kata Harari di atas, ada pelanggaran-pelanggaran yang pada situasi normal takkan dilakukan untuk membuat penawar bagi penyakit akibat virus ini.
Hal lain yang juga menjadi hantu di depan mata kita adalah perlambatan dan resesi ekonomi yang jelas-jelas akan sangat berdampak pada negara-negara berkembang dan miskin. Saya bukan ahli ekonomi dan tak ingin masuk lebih dalam prediksi ekonomi masa depan. Saya hanya memperkirakan bahwa negara-negara yang akan keluar sebagai pemenang untuk bisa meneruskan kehidupannya dengan start yang lebih baik pasca pendemi ini adalah negara-negara yang paling dahulu berkutat dengan virus ini dan telah bisa lepas, seperti China, Korea Selatan, Iran, dan sejumlah negara Eropa. Hal ini terjadi jika tidak ada gelombang kedua ketiga pendemi yang menerpa kembali.
Atau, yang justru start lebih baik kelak (dengan asumsi pandemi tak bertambah luas dari sekarang) justru adalah negara-negara Afrika, Amerika Selatan dan Pasifik. Jika rajin memantau perkembangan statistik global pandemi ini di situs worldometer.info, maka kita akan menemukan bahwa negara-negara Afrika sub-sahara seperti Somalia, Chad, Djibouti, Sudan atau Zimbabwe selama hampir sepekan ini hanya memiliki satu dua kasus tanpa penambahan kasus baru. Saat Eropa dan Amerika Serikat babak belur, mereka baik-baik saja.
Terakhir, saya akan memaparkan analisis Harari tentang dua kemungkinan di masa depan setelah pandemi, yaitu pengawasan ala totalitarian terhadap rakyat oleh suatu negara, atau penguatan masyarakat sipil. Salah satu alasan China bisa melakukan lockdown dengan sukses selama dua bulan lebih tanpa perlawanan dari warganya adalah sistem pengawasan sentralistik ala militer yang dijalankan pemerintah China. Pelanggaran akan segera ditindak, bukankah kita melihat sendiri tayangan video ketika ada masyarakat yang membandel keluar, mereka segera dilumpuhkan.
Pengawasan terhadap orang-orang bahkan diusulkan dilakukan dengan thermal detection atau deteksi suhu tubuh dan detak jantung. Model-model pengawasan ini rasanya begitu wajar dan baik dalam kondisi saat ini, tapi bagaimana jika pendemi berakhir dan semua kembali normal.
Menurut Harari, pengawasan negara pada tingkat individu rakyatnya, termasuk pengawasan pada suhu tubuh adalah bentuk pelanggaran hak asasi, dan menjadi praktik memata-matai warga negara yang paling efektif. Harari membuat sebuah ilustrasi, bayangkan jika di masa depan, dengan gelang pengukur suhu tubuh dan detak jantung yang wajib dipakai dan kita mendengarkan pidato pemimpin tertinggi yang tidak kita sukai, dan gelang itu menunjukkan peningkatan suhu tubuh (karena marah) dan jantung kita berdetak lebih kencang dari biasanya. Tamatlah riwayat kita.
Alih-alih masa depan dengan pengawasan ala totalitarian, kita berharap tercipta masyarakat sipil yang kuat, yang memberikan kepercayaan pada pemerintah dan paramedis secara sukarela karena mereka yakin pada kinerja negara.
Ada banyak kemungkinan di masa depan setelah semua ini usai. Tapi pertama-tama kita harus melewati kondisi ini dulu. Social distancing dan lockdown adalah pilihan sulit, tapi karena (dan mudah-mudahan) bersifat sementara, maka kita akan bisa melewatinya. Sejarah membuktikan, kita makhluk adaptif akan akan bertahan melewati masa hingga kiamat dikabarkan langit. Tetap optimis, bersemangat, berbahagia, dan dekatilah kembali Tuhan. Be tough, all of us.
Wallahua’lam.@