Tak Ada Pelabuhan di Sini, Tak Ada Hutan, Lupakan Tanah Jauh, Negeri Angan
BERAPA jarak bukit dan laut? Di negeriku, negeri kita yang haru, bukit dan laut seakan menyatu. Biru. Jalan setapak, pematang, jembatan kayu, titian bambu, akan membawamu turun dari ladang di sebalik bukit, dan laut akan menyambutmu dengan ombak dan gelombang,”Selamat datang, adakah yang bisa dipertukarkan?” Begitulah para nelayan membuka jalan bagi bahasa percintaan.
Kita pun saling bertukar: pisang panggang, bulu enggang, umbi dan bijian, bersilang dengan ikan kering, udang dan tripang. Sesekali, mutiara dan jimat cakar elang, tanpa harus menyebutnya kemewahan dan kesaktian. Sesekali, sepulang berlayar, para nelayan pun berkayuh di sungai, masuk kuala, menuju hulu: air berliku, batu-batu licin lumutan, mempercepat perahu kayuhmu sampai ke kaki bukit yang tenang, tempat perahu ditambatkan. Sedikit mendaki, kau temukan ladang-ladang yang tenteram di pelukan gunung, di mana bahasa percintaan pun menggemaung, penuh lambang.
“Selamat datang, marilah kita pertukarkan apa yang kita punya, tak usah murung,” begitu pulalah, para peladang merentang tangan, setengah menghibur. Kita pun tersenyum, tak perlu murung memang, hanya sedikit lelah. Tapi segar buah, hijau daun, sejuk angin, akan bertemu dengan segar ikan di belanga, legit santan, asin garam dalam keranjang. Kita berbincang sampai petang, sampai matahari kemerahan di pantai, kita bayangkan dari pondok ladang. Karena memang, laut begitu dekat, sedekat percintaan kita. Kita pun pulang, tapi pasti pertemuan tak bakal usai, karena kita selalu datang, selalu ganti bertandang, tak selesai.
BEGITULAH, di negeriku, negeri kita yang sesungguhnya pilu, apa pun mesti kita buat haru. Kita bersahabat sedekat gunung dan laut, erat berpeluk, saling merasuk: tanjung masuk ke teluk jadi tangan kasih rahim alam, bukit karang masuk ke air dibasuh ombak dalam pasang kesayangan, lembah dan ngarai menderaikan sungai ke kuala tercinta, hingga mengkristal garam rindu-dendam menjadi awan menjadi hujan turun di bukit-bukit muasal mata air…
Tapi memasuki hari-hari ke depan, entah siapa yang memulai, beberapa di antara kita mulai bosan. Orang gunung tampak murung, larut dalam dendang panjang: terbayang daratan jauh, negeri angan. Orang laut mulai garang, hanyut di nyanyian arus sangsai: terbayang hutan paling dalam, tanah asal nenek moyang.
Kita berselisih jalan. Sampan-sampan ditambatkan. Cangkul-cangkul digantungkan. Sehingga bila kita bersua, hanya ada sapa pedih,”Tak ada yang bisa dipertukarkan hari ini…”
Lalu pada hari-hari tak tercatat, kita berbondong pergi, jalan bersilih; orang gunung menuju pantai, menatap gelombang, mencari-cari kapal. Orang pantai menyusur gunung, menyeruak reruntuhan pohon, mencari hutan warisan. Tapi tak ada kapal (kecuali puing mercua suar) bagi kapal-kapal yang lintas di jauhan. Tak ada pelabuhan. Tak ada hutan. Tak ada tanah terjanjikan.
AH, betapa sialan: laut tanpa pelabuhan, gunung tanpa hutan, apa yang bisa diharapkan? Apa yang akan kita bawa ke negeri angan, bahkan ke mana pun kita tak dapat merentang tangan?
O, siapa yang mempertukarkan bahasa percintaan kita dengan hasrat ingin lepas terkurung? Lihat, kita berbaris di pantai, di gunung-gunung, menunggu saat diberangkatkan, entah ke mana dan entah kapan. Adakah kita menunggu seseorang terdampar, lalu berkata dengan keyakinan yang layak dipertaruhkan,”Pulanglah, tak ada pelabuhan di sini, tak ada hutan, lupakan tanah jauh, negeri angan, karena tanpa pelabuhan tiada kapal, tanpa hutan dan pohonan, juga tiada kapal; yang ada hanya kapal-kapal baja, majal, dan rakus lambungnya…”
Kita berharap, kata-kata itu tak hapus di pasir, tak langsir di pasang, tapi terukir di bukit batu pinggir laut itu, sehingga kita seanak-cucu tahu, ia, Malin Kundang, si pelipur besar itu, telah pulang, kembali kepada ibu, sebahasa kita dulu…
Di Ambang Penagih Utang
IA akan datang. Ia pasti datang. Menggeser pintu pagar, melengking besi yang karat. Itu isyarat. Aku berbenah, bersiap menyambutnya. Tapi celaka, air muka yang kupatut di depan cermin, sikap pantas yang akan kutunjukkan serta kata-kata yang sudah siap mengemukakan alasan, tiba-tiba lenyap bagai sebubung asap!
Apa yang mesti kukatakan padanya? Memberi janji, menunda pergi, dan sepatah maaf? Entahlah. Kata-kata telah rapi, namun suasana begitu sepi.
Tapi, tidak. Ia datang! Kudengar kerosok langkah di luar, di tanah kering. Barangkali ia sudah berdiri di depan pintu, atau melirik bubungan. Menunggu ia menunggu, di antara lebuh debu. Tak merasa perlu mengetuk karena bagaimanapun ia yakin aku yang di dalam pasti tahu ia datang; dari aroma, suara-suara atau sekelebat bayang di udara.
Ya, aku tahu ia akan datang, ia sudah datang, dan aku akan membuka pintu memintanya masuk mula-mula sebagai sesama kawan lama, lalu sebagai dua orang yang pura-pura lupa, enggan saling mengenal.
BAIKLAH, aku siap sekarang: aku siap terusir (bahkan jika harus pergi dari badan; edan!), tak punya tempat tinggal, berkelana di jalan-jalan, gentayangan. Toh aku tak boleh merunduk, tak akan menunduk, kepala harus tetap tegak, jika perlu tengadah, sekalipun kutahu ia akan lebih galak, angkuh dan lancang menagih utang-utang yang kutanggungkan.
Aku siap sekarang. Sudah kuputuskan; Masuklah, Orang Jauh! Tak ada yang kupunya, apa hendak dikata, apa keputusanmu? Menghardikku? Mengusirku? Atau meminta aku pergi baik-baik sebagaimana aku dulu datang baik-baik?
Tapi tak ada sesiapa di luar. Tak ada apa pun. Bahkan tidak bayang-bayang. Hanya garit daun pisang, kelaras kering di batang, gemersik ditiup angin menjelang petang. Aneh, bersamaan dengan itu keberanianku tiba-tiba pudar.
Aku harus kembali berbenah dari awal, menyusun lagi rencana dan alasan-alasan ke depan. Entah sampai kapan. Entah kapan ia datang.@