Jika ada satu nama cerpenis yang tak boleh hapus dari ingatan kita, ialah Hamsad Rangkuti. Cerpennya “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?” merupakan karyanya yang mungkin paling banyak dikenal dan dikenang. Judul yang begitu puitis, dan boleh jadi salah satu judul cerpen terbaik sejauh ini yang bisa kita baca.
Dan kita tidak mungkin menghapus sosoknya sebagai maestro cerpen Indonesia. Terus membekas, dan berumur panjang hingga nanti, hingga nanti. Meski sastrawan kelahiran Medan, Provinsi Sumatra Utara, 7 Mei 1943, ini telah pergi untuk selamanya Minggu (26/8) pagi di Depok, Jawa Barat pada usianya yang ke-75 tahun.
Untuk sekadar mengenangnya, mari bersama kita baca lagi cerpennya yang akan terus membekas ini. Sebuah cerpen yang termuat dalam buku kumpulan cerpen KOMPAS tahun 1999 (DERABAT).
Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?
Cerpen HAMSAD RANGKUTI
Seorang wanita muda dalam sikap mencurigakan berdiri di pinggir geladak sambil memegang tali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap hendak melakukan upacara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba mencegah perbuatan nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau sampai anak buah kapal itu mendekat. Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati dia sambil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak denganya, sehingga tegur sapa di antara kami bisa terdengar:
“Tolong ceritakan sebab apa kau ingin bunuh diri ?” kataku memancing perhatiannya.
Dia tak beralih dari menatap ke jauhan laut. Di sana ada sebuah pulau. Mungkin impiannya yang telah retak menjadi pecah dan sudah tidak bisa lagi untuk direkat.
“Tolong ceritankan penyebab segalanya. Biar ada bahan untuk kutulis.”
Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Angin mempermainkan ujung rambutnya. Mempermainkan ujung lengan bajunya. Dan tampak kalau dia telah berketetapan hati untuk mengambil sebuah keputusan yang nekat. Tiba-tiba dia melepas sepatunya, menjulurkan ke laut.
“ini dari dia,” katanya, dan melepas cincin itu.
“Semua yang ada padaku, yang berasal darinya, akan kubuang ke laut. Sengaja hari ini kupakai semua yang pernah dia berikan kepadaku untuk kubuka dan kubuang satu persatu ke laut. Tak satu pun benda-benda itu kuizinkan melekat di tubuhku saat aku telah menjadi mayat di dasar laut. Biarkan aku tanpa bekas sedikitpun darinya. Inilah saat yang tepat membuang segalanya ke laut, dari atas kapal yang pernah membuat sejarah pertemuan kami.”
Wanita muda itu mulai melepas kancing-kancing bajunya, melepas pakaiannya, dan membuang satu persatu ke laut. Upacara pelepasan benda yang melekat di tubuhnya dia akhiri dengan melepas penutup bagian akhir tubuhnya. Membuangnya ke laut.
“Apapun yang berasal darinya, tidak boleh ada yang melekat pada jasadku, saat aku sudah menjadi mayat, di dasar laut. Biarkan laut membungkus jasadku seperti kain pembungkus mayat. Biarkan asin airnya menggarami tubuhku tanpa sehelai benang penyekat.”
Wanita yang telanjang itu mengangkat sebelah kakinya melampaui terali, bersiap-siap membuang dirinya ke laut. Kamera ku bidikan ke arahnya. Di dalam lensa terhampar pemandangan yang fantastis! Wanita muda, dalam ketelanjangannya, berdiri di tepi geladak dengan latar ombak dan burung camar. Sebuah pulau berbentuk bercak hitam di kejauhan samudera terlukis di sampingnya dalam bingkai lensa. Sebelum melompat dia menoleh ke arahku. Seperti ada yang terbesit di benaknya yang hendak dia sampaikan kepadaku, sebelum dia melompat mengakhiri ombak.
“Ternyata tidak segampang itu membuang segalanya,” katanya. “ Ada sesuatu yang tak bisa dibuang begitu saja.” Dia diam sejenak, memandang bercak hitam di kejauhan samudera. Dipandangnya lekung langit agak lama, lalu bergumam: “Bekas bibirnya. Bekas bibirnya tak bisa kubuang begitu saja.” Dia berpaling ke arahku. Tatapannya lembut menyejukan. Lama, dan agak lama mata itu memandang dalam tatapan yang mengambang. ”Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?” katanya dalam nada ragu.
Aku tersentak mendengar permintaan itu. Sangat mengejutkan, dan rasanya tak masuk akal diucapkan olehnya. Permintaan itu terasa datang dari orang yang sedang putus asa. Kucermati wajahnya dalam lensa kamera yang mendekat. Pemulas bibir berwarna merah tembaga dengan sentuhan berwarna emas, memoles bibirnya, menyiratkan gaya aksi untuk kecantikan seulas bibir.
“Tidak akan aku biarkan bekas itu terbawa ke dasar laut. Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu? tolonglah. Tolonglah aku melenyapkan segalanya.”
Orang-orang yang terpaku di pintu lantai geladak berteriak kepadaku.
“Lakukanlah! Lakukanlah!”
Seorang muncul di pintu geladak membawa selimut terurai, siap menutup tubuh wanita yang telanjang itu.
“Tolonglah. Tolonglah aku menghapus segalanya. Jangan biarkan bekas itu tetap melekat di bibirku dalam kematian di dasar laut. Tolonglah.”
“Lakukanlah! Lakukanlah!”
Teriak orang-orang yang menyaksikan dari pintu lantai geladak.
Aku hampiri wanita itu. Orang yang membawa selimut berlari ke arah kami, menyelimuti kami dengan kain yang terurai itu. Di dalam selimut kucari telinga wanita itu.
“Masih adakah bekas darinya di bagian lain tubuhmu yang harus kuhapus dengan bibirku?” bisikku.
SAYA Chenchen, Pak, “ kata wanita itu memperkenalkan dirinya begitu aku selesai menyampaikan cerpen lisan itu dan berada kembali di antara penonton. “Saya menggemari cerpen-cerpen Bapak. Saya mahasiswi fakultas sastra semester tujuh. Saya senang sekali bisa bertemu dengan Bapak, pengarang dari cerpen-cerpen yang telah banyak saya baca.”
“Terima kasih. Namamu Chenchen? Tidak nama seorang Minang.”