ingat di warungmu
suatu saat kunikmati
remah kata
dan peluk bunga
dari perempuan yang
disebut ibu penyair.
(Isbedy Stiawan ZS.)

PREDIKAT Ibu Penyair memang layak disandang oleh penyair Diah Hadaning yang wafat 1 Agustus 2021 yang lalu. Kutipan sajak berjudul “In Memoriam Diha” tulisan Isbedy Stiawan ZS yang dipublikasikan di media sosial lewat WAG Jazirah Sastra menegaskan pernyataan tersebut. Diah Hadaning (Diha) memang dikenal sebagai ibunya para penyair–khususnya penyair muda di Indonesia. Diha dilahirkan di Jepara, 4 Mei 1940.

Lantas mengapa Isbedy menyebut dalam sajaknya “ingat di warungmu”? Warung yang dimaksudkan adalah Warung Sastra Diha, yang didirikan oleh Diha pada tahun1982. Melalui warung sastra itu Diha dengan tulus memberikan bimbingan kepada banyak penyair atau calon penyair dari seluruh penjuru nusantara. Aktivitas sastra dan silahturahmi itu dilakukan melalui surat menyurat kemudian berlanjut melalui pesan-pesan atau SMS dan pertemuan langsung.

Pada 7 September 1996 beberapa kantung budaya yang ada di Jabotabek, masing-masing diwakili oleh Diah Hadaning, Ahmadun Yosi Herfanda, Ayid Suyitno PS, Azwina Aziz Miraza, Hasan Bisri BFC, Iwan Gunadi, Medy Loekito, Shobir Poer, Slamet Rahardjo Rais, Wig SM, dan Wowok Hesti Prabowo mendirikan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) yang dikenal eksis dengan kepengurusan KSI di berbagai daerah hingga kini.

Menjelang akhir hayatnya, sejumlah teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia dan Malaysia menghadiahi Diah dengan antologi “Kristal-Kristal Diha”, diterbitkan oleh KKK, 2020. Dalam bungan rampai esai dan puisi ini kita ingin mengenal Diah Hadaning lebih mendalam, menghargai karya dan perjalanan hidupnya. Selain itu tentu ingin tahu bahkan ingin mendapatkan pelajaran yang tidak ternilai, yaitu Idealisme Diah Hadaning.

Beberapa tulisan memang sengaja ditulis khusus untuk menandai Diah sebagai ibu penyair Indonesia. Eka Budianta dalam pengantarnya mengutip sajak karya Diha “Akulah Penghuni Kerajaan Sepi”: jangan bodoh dan merengek seperti anak bayi/di negeri ini yang kerdil akan menjadi rayap kuil/berdirilah dengan kaki yang terbuka/menghadap padang kembara/ceritakan pada dunia tentang derita manusia/dan hatimu yang penuh kharisma//. Sajak itu terdapat dalam bukunya Perempuan Yang Mencari, kumpulan 700 puisi pilihan yang terbit pada 2010 untuk merayakan ulang tahunnya ke 70. Buku tersebut akhirnya dicatat Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai kumpulan puisi paling tebal pada saat itu.

Maman S. Mahayana (2020: xvii) mengungkapkan, untuk melihat perkembangan kepenyairan Diah Hadaning, Perempuan yang Mencari dapat dikatakan representatif. Sebab, dari sanalah kita dapat mencermati puisi-puisi awal kepenyairannya sampai tingkat kematangannya di usia 70 tahun. Sebuah langkah yang sebenarnya penting dilakukan para penyair kita yang lain. Menurut Maman, kesederhanaan dalam puisi-puisinya, bukanlah kenaifan. Ada kedalaman di sana. Ada Kristal yang disembunyikan. Dan Kristal itu akan memancarkan silaunya manakala ia dihadirkan lewat dendang, lewat tembang.

Dalam esai yang dimuat di buku Kristal-Kristal Diha, Acep Syahril menyebutkan, tidak ada sekat serta batasan bahkan dalam berkomunikasi, berinteraksi apalagi niatnya untuk berkreasi. Diah Hadaning selalu memberi kesempatan bahkan peluang bagi siapa pun kalau konteksnya bersastra. Tidak sedikit anak-anak muda yang lebur  di dunia sastra merasa tersanjung ketika dirinya dapat kesempatan berkomunikasi dengan Diah Hadaning; apalagi ketika puisinya dapat kesempatan masuk di rubrik Sastra Warung Diha, Swadesi. (hlm. 3).

Begitu pula Edy Susanto, pengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menyebutkan, ketelatenannya dalam  memberikan apresiasi terhadap karya-karya seniman pemula dan muda semenjak menjadi redaktur di Koran mingguan Swadesi hingga berlanjut di Warung Sastra Diha, untuk merangsang kreativitas mereka, perlu diberikan apresiasi tinggi (hlm. 61).

Pada sisi lain  Iwan Gunadi menyebutkan,  dialah satu-satunya perempuan yang menjalani peran talent scouter secara intens dan tak kenal lelah di dunia sastra Indonesia. (hlm. 93).

Ada yang menarik dalam tulisan Arief Joko Wicaksono karena menyebut sesuatu yang unik sekaligus ironis. Arief mengemukakan, kalau ada penyair yang sajaknya pernah dimuat di surat kabar, kemudian oleh sang redaktur budaya plus Pemimpin Umum/Pemimpin redaksi, sajak yang telah dipublisir tersebut kemudian dinyatakan dicabut untuk dikatakan tidak ada. Hal itu berkaitan dengan dimuatnya sajak Diha berjudul “Sajak Lapar 1”, “Lapar ll” dan “Lapar lll” yang dimuat di harian Media Indonesia Minggu, Jakarta.

Pengumuman tersebut berisi “Sehubungan dengan termuatnya Sajak Lapar 1, Lapar ll dan Lapar lll di halaman 7, Edisi Minggu Media Indonesia, 3 November 1991, dengan ini kami menyatakan bahwa sajak tersebut dicabut dan dianggap tidak ada. Kami mohon maaf sebesar-besarnya atas kealfaan tersebut. Tertanda, Pemimpin Umum/Pemred.” (hlm. 23).

Tentu membaca pengumuman itu kembali mengingatkan suasana sosial politik rezim Orde Baru yang bersentuhan dengan sajak Diha.

Bagaimana penyair menuliskan sajaknya tentang Diah Hadaning? Kurnia Effendi menuliskan dalam sajak “Banyu Inepan”: dari sejuk sumber:/akar ini telah paripurna/melewati doa-doa/ia menginap dalam botol/serupa ruh yang terbarui/dari inti sengat matahari//embun membasuh samun/mantra gulita/diserap dari palung malam//terucap janji abadi:/ramuan semadi ini/terbagi ke seluruh sendi//(hlm. 103-104).

Selamat jalan Diah Hadaning, Ibu Penyair Indonesia. @