Saat saya menyampaikan pada seorang kawan bahwa film Dark Waters seharusnya mendapat Oscar tahun ini, lebih pas daripada film 1917, apalagi film Parasite, dia mengatakan, “Paling-paling itu penilaian bias kam (kamu). Dark Waters kan memang genre film kesukaan kam.” Respon menyebalkan memang tapi kalau dipikir-pikir, dia jelas ada benarnya. Saya selalu suka drama investigatif yang protagonisnya ala SWJ (Social Worker Justice) macam Erin Brockovich, Spotlight, Veronica Guerin, Freedom Writer, atau Amazing Grace. Mungkin pandangan saya memang bias.
Namun, sebias apapun, kelayakan Dark Waters untuk mendapatkan kandidat Oscar bahkan memenangkannya ternyata bukan imajinasi saya seorang. Film ini tipe favorit Oscar, dan banyak pihak memprediksi paling tidak akan memenangi beberapa kategori jikapun seandainya tak memenangi Best Picture. Meski demikian, yang terjadi jelas antiklimaks karena Dark Waters tak memenangkan apapun di Oscar 2020, bahkan untuk sekadar masuk nominasi. Dan orang-orang bertanya-tanya, apa yang salah dengan film ini?
Saya mencoba mencari tahu ulasan beberapa kritikus mengenai Dark Waters. Rotten Tomatoes memberi rating 90% berdasarkan 214 reviews. Metacritic memberi skor 73 dari 100. Gambaran yang menunjukkan bahwa ini film bagus, dengan kans besar dan sangat layak memenangi ajang penghargaan macam Oscar.
Scott Tobias, seorang kritikus film mencoba merasionalisasi alasan film ini didepak dari Oscar, salah satunya adalah akhir cerita yang tidak memenangkan tokoh utama. JIka Erin dalam film Erin Brockovich berhasil memenangkan gugatan atas Pasific Gas and Electric Company untuk kasus pencemaran air minum, maka tokoh Robert Bilott dalam film ini tidak memenangi keseluruhan kasus melawan perusahaan kimia DuPont. Ia masih berjuang, dan beberapa langkah sebelumnya bahkan kalah. Apalagi akhir film ditingkapi catatan bahwa kekalahan atas perusahaan itu diringi ketidakberdayaan manusia untuk bisa lepas dari produk kimia berbahaya yang ada dalam perkakas keseharian kita, teflon.
Film Dark Waters terinspirasi dari sebuah artikel majalah New York Times tahun 2016 berjudul The Laywer Who Become DuPont’s Worst Nightmare yang ditulis oleh Nathaniel Rich. Artikel itu menceritakan kisah nyata perjuangan Robert Bilott, seorang pengacara perusahaan yang justru melawan perusahaan kimia terkemuka di dunia, DuPont, dalam kasus pencemaran lingkungan yang mereka lakukan. DuPont adalah perusahaan kimia terbesar di dunia dengan pendapatan sekitar 86 milyar US dollar. Tahun 2019, perusahaan ini menempati peringkat ke-35 dari 500 perusahaan terbuka terbesar di dunia versi majalah Fortune.
Cerita film ini dimulai ketika Wilbur Tennant, seorang petani di kawasan Parkesburg, Virginia Barat mengadukan ternak-ternaknya yang mengalami kerusakan organ dan kematian mendadak. Kematian itu dikaitkannya dengan limbah perusahaan DuPont yang mencemari sungai. Awalnya Bilott enggan mengawal kasus itu sampai ia menemukan fakta bahwa produk kimia DuPont menggunakan PFOA, senyawa kimia yang tidak direkomendasikan oleh EPA (Enviromental Protection Agency). EPA sendiri salah satu kewenangannya adalah melakukan evaluasi terhadap produk-produk perusahaan kimia termasuk DuPont. Selama bertahun-tahun EPA entah tahu atau tidak, tak pernah menyadari?/menyampaikan mengenai PFOA yang digunakan DuPont.
Bilott akhirnya mengetahui bahwa DuPont sendiri melakukan serangkaian tes untuk menyelidiki efek penggunaan PFOA. Hasil studi menunjukkan PFOA menyebabkan kanker dan kelainan pada bayi baru lahir. Meski menyadari efeknya, DuPont tetap menggunakan PFOA, dan produknya sangat diminati dunia hingga saat, wajan dengan lapisan teflon.
Bilott menuntut DuPont dalam kasus Tennant namun kalah. Dengan dukungan sejumlah penduduk kota terdampak, akhirnya ia melakukan gugatan aksi kelas (class action) terhadap DuPont. Tes terhadap kesehatan seluruh penduduk terdampak dilakukan dengan imbalan uang yang besar dari DuPont untuk tiap orang yang mengikuti tes. Hasil tes baru disampaikan tujuh tahun kemudian dengan simpulan bahwa zat kimia dari perusahaan DuPont yang mencemari lingkungan memang mengakibatkan kanker dan penyakit lainnya. Meski hasil tes mendukung Bilott, DuPont mengingkari kesepakatan pembayaran ganti rugi dan menganggap apa yang mereka bayarkan perkepala untuk tes awal sudah cukup. Akhirnya, Bilott berjuang dengan melakukan tuntutan perorangan terhadap DuPont. Ada 3. 535 tuntutan perorangan yang diwakilinya. Di tahun 2020 ini, lebih dari dua puluh tahun semenjak Wilbur Tennant pertama kali mendatanginya, perjuangan Bilott belum selesai.
Film ini didukung akting yang sangat baik dari Mark Ruffalo sebagai Robert Bilott. Di film ini kentara sekali Ruffalo memberi aksentuasi terhadap karakter Bilott, sebagai usaha untuk membuat representasi ikonik terhadap tokoh Robert Billot di dunia nyata. Kecemerlangan sama seperti yang dilakukannya pada tokoh Michael Rezendes, seorang wartawan harian Boston Globe di film Spotlight. Tentu kita tidak lupa, aktingnya di film Spotlight membuat Ruffalo menjadi nominator Oscar untuk pemeran pembantu pria terbaik.
Akting tokoh lain juga tak ada cela, Tim Robbins dengan gaya kalemnya yang seperti biasa menjadi Tom Terp, atasan Bilott. Anne Hathaway juga bermain cukup menyakinkan sebagai istri Bilott, ibu rumah tangga dengan kontrol diri yang baik dan agamis, dan Bill Camp yang menunjukkan kualitas aktingnya sebagai Wilbur Tennant, seorang petani dengan keinginannya untuk melawan sekaligus ketidakberdayaannya.
Dark Waters cukup banyak menghadirkan scene-scene hening untuk menguatkan gambaran emosional yang dialami Bilott (hal lain yang mirip dengan film Spotlight), saat ia menyadari akibat mengerikan dari PFOA, saat ia merasa tidak aman setelah mengadakan pertemuan dengan petinggi DuPont, saat ia merasa menemukan jalan buntu dalam perjuangannya. Selain itu, saya juga akan memberi jempol untuk music scoring-nya yang apik.
Dari semua aspek, cerita, tokoh, sinematografi, music scoring, tak ada yang menghalangi Dark Waters berada di deretan kandidat Oscar. Upaya rasionalisasi yang dilakukan Scott Tobias untuk menjelaskan mengapa film ini gagal masuk Oscar juga terasa tidak terlalu kuat. Maka, barangkali ada satu hal yang dapat kita sadari dari hal ini, bahwa pertarungan Robert Bilott melawan DuPont tidak hanya terjadi di dunia nyata. Pertarungan itu juga memasuki gambaran fiksi tentang pertarungan itu sendiri.
DuPont sampai saat ini masih perusahaan kimia raksasa yang sulit dicari tandingannya. Mereka masih eksis dengan segala kebesarannya. Sementara itu, film adalah produk budaya yang bisa membentuk opini dan penilaian tertentu terhadap satu obyek, bahkan dengan cara yang masif. Jika film semacam Dark Waters yang memosisikan Robert Bilott dengan DuPont laksana David versus Goliath, maka simpati masyarakat tentu akan menyertai David, di manapun mereka berada. Simpati masyarakat, dan bangkitnya kesadaran kolektif, suatu kombinasi yang buruk untuk bisnis, dan DuPont menyadari itu, barangkali.
Kampanye mengenai bahaya lapisan teflon untuk kesehatan, karsinogen kanker, bukan pertama kali saya dengar di film ini. Saya yakin pembaca juga demikian. Kita sejak lama menemukan itu dalam banyak artikel kesehatan, betapa berbahayanya lapisan anti lengket teflon. Namun, dengan menonton film ini kita lebih menyadari siapa orang pertama yang memperjuangkan agar informasi itu diketahui publik, kita mengetahui siapa yang berjuang mati-matian untuk menolak itu. Kita bahkan lebih tersadarkan dengan film ini, tentang bahaya zat kimia dalam perkakas keseharian kita.
Film ini adalah jenis film idealis yang diproduksi label mayor, suatu kombinasi yang cukup langka tapi berharga di Hollywood. Agak sulit untuk tidak menyukai film ini, meski harus diakui ritme film agak membosankan dan kita jelas-jelas takkan menemukan twist menghentakkan jantung ala Parasite atau 1917 di film ini. Namun, sekali lagi, dengan bias penilaian yang ada pada saya, saya berpikir kualitas Dark Waters bisa melampaui kedua film tersebut. Saya memberi nilai 98 untuk film ini.
Wallahua’alam.@