SERING orang-orang Prancis bertanya, “Sudah berapa lama tinggal di Prancis?  Senangkah Anda di Prancis ?”

Ya, pertanyaan membosankan dan selalu sama. Hanya satu jawabanku, “J’aime plus mon pays, Indonésie (baca: jem plus mong pei, Indonezi ).” Ya, bahwa aku lebih mencintai negeriku Indonesia.

Ada yang muter di kepala mereka karena malu bertanya di mana kah letak Indonesia di bumi ini? Dari raut wajah mereka aku bisa tebak itu. “A ha…, apakah Anda pernah dengar nama Bali?”

“Ya..ya…,” jawab mereka hampir serentak. Lalu aku pun harus menerangkan secara geografis untuk menemukan letak Indonesia.

Oh… Bali, pulau kecil di negeriku sangatlah terkenal dibandingkan nama negeriku sendiri.

Kebanyakan mereka bilang, “Manifique (baca: manifik ).” Bali terkenal karena tradisi dan kebebasan, dan orang-orang bule menikmati itu selama liburan. Jika mereka liburan ke Bali, bule-bule itu merasa seperti di negeri mereka sendiri. Kebiasaan yang mereka punya, mereka dapat juga di Bali. Walaupun tentu mereka tetap menaati tradisi setempat.

Perbincangan pun meluas. “Indonésie bukan hanya Bali, ada Jawa, Sumatera, Borneo dan lebih dari 17.000 pulau lainnya.” Banyak yang kaget dengan jumlah itu. Ya… mereka banyak yang tidak tahu itu.

Di Eropa, Thailand lebih terkenal karena mereka merasa “Aman”  untuk liburan di negeri yang mayoritas beragama Budha itu. Banyak yang takut liburan ke Indonesia karena Indonesia negeri terbesar penduduknya beragama Islam– dan itu tidak beralasan.

“Penduduk Indonesia tidak hanya muslim. Dan muslim Indonesia berbeda dengan muslim di negara-negara Arab atau lainnya.” Aku mesti jelaskan ini berulang-ulang.

“Borneo…,  di sana hidup oranghutan ?” Pertanyaan yang selalu fokus untuk pulau yang satu ini. “Di sana hutan primer yang banyak ditebang untuk ditanami Sawit?”

Semakin aku harus berdiplomasi untuk menjawabnya.

“Mengapa hutan di Borneo dimusnahkan seperti itu?” Semakin perih hatiku dengan pertanyaan demikian, sementara mereka menunggu jawabanku. Sebagai orang Indonesia tentu aku bisa menjelaskan, pikir mereka. Itu artinya aku harus bisa melayani olah kalimat mereka, apalagi kalau lawan bicaraku orang yang berpengetahuan luas.

“Harus mulai dari mana? Oya, Borneo…, hutan primer Indonesia, paru-paru kedua bumi ini, yang semakin menipis. Yang berganti dengan sawit. Untuk menghindari semakin luasnya perkebunan sawit mestinya orang-orang Eropa tidak mengonsumsi produk-produk yang memakai minyak sawit,” terangku menyalahkan mereka (orang Eropa yang mengonsumsi minyak sawit ).

“Kasihan hutan Borneo punah…, mengapa pemerintah Indonesia tidak bertindak apapun untuk mencegahnya ?” Mereka terus ‘mencubitku’.

“Semua kasihan dengan apa yang terjadi dengan hutan Indonesia, tetapi dunia (kapitalisme) mereka menutup mata. Mengapa masih ada pemusnahan hutan di Indonesia? Karena lobi di belakang itu semua. Karena manusia makhluk egois.”

Akhirnya terdiam.

Perbincangan seperti itu sering kualami. Aku sebagai orang Indonesia menekankan kepada mereka (orang Eropa ) terutama jika mereka punya “sedikit” jabatan, supaya menyadari bahwa kebaikan untuk Eropa adalah penderitaan untuk bangsa lain.

Pertanyaan santai sering menjadi serius karena di Eropa kita bebas berekspresi.@