“Ada hantu berkeliaran di Eropa, hantu komunisme.”

 Marx dan Engels

UNGKAPAN di atas usianya sudah satu setengah abad lebih. Diucapkan oleh datunya kaum kuminis yang memang penuh jabis (jenggot) dan kumis. Meski ucapan itu sudah lama, biasanya bulan September ini sering kali ucapan di atas dijeritkan, dipekikkan, digaungkan oleh banyak dari orang Indonesia. Mereka mengganti sebutan ‘eropah’ dengan ‘endonesah’. Yang koar-koar ini sama sekali bukan mukmin aliran ortodoks marxis-leninis, justru mereka yang getol ingin mendirikan khilafah dan NKRI bersyariah. Apa ini tanda-tanda dunia terbalik? Mbuh lah.

Berbicara tentang hantu, sebenarnya asyik juga. Mengapa? Karena hantu itu tak bisa dilihat pake mata kasar. Hantu itu tak kasat mata. Bahasa agama akan menyebutnya gaib. Gaib dalam bahasa Arab punya makna tak terlihat. Tak terlihat belum tentu tak ada ‘kan. Nah, coba aja. Sampeyan berdiri di sudut dinding yang tak bisa saya lihat, ini berarti sampeyan itu gaib dari saya. Begitu sederhananya pengertian gaib itu.

Sore itu, saat sedang duduk santai di depan tv, Chiba, anakku yang laki kelas 4 SD itu memungut batu kecil seukuran diameter satu senti  di bawah bantal.

“Nah, ini Rora, yang bawa dari tanah,” ujarnya. Aku noleh ke Aurora, anakku yang cewek tiga tahunan lebih.

“Buat apa, Ra?”

“Buat lempar tuyul,” sahutnya. Hmm, aku manggut-manggut. Sering kali kita dengar anak balita atawa bawah lima tahun bisa lihat makhluk-makhluk tak kasat mata. Mungkin saja anak gadisku ini termasuk yang bisa lihat hal demikian.

“Tuyulnya gimana? Besar?” kejarku.

“Besar.”

“Berapa?”

“Dua. Satu besar, satu kecil.”

“Oh, berarti itu Tuyul sama Tuyil.”

Nalar dekonstruktifku muncul.

“Berambut gak?”

“Berambut.” Nah, ini jawaban yang sudah kutebak.

“Berarti itu bukan tuyul,” ujarku. “Tuyul itu kecil dan tidak berambut.”

Aurora diam. “Lain kali, kalau ada Tuyul lagi, panggil ayah ya. Biar ayah makan. Tuyul itu enak.”

“Rasa stoberi, cokelat?” tanyanya manis.

“Iya…. mana Tuyulnya sini ayah makan.”

Dengan sigap Rora ngambil sesuatu dari udara dan mengacungkan tangan tergenggamnya ke depanku. “Nyam!” sambutku sigap.

Dia terkekeh.

Sedari kecil, aku memang berupaya menjauhkan imajinasi anak-anakku dari hantu-hantuan. Tapi, ya gimana. Kadang kala, lingkungan yang mengajarkan anak-anak takut hantu.

Sampeyan tentu masih ingat judul film “Awas Ada Pocong!”. Lebih-lebih lagi, di era kiwari ini, saya sebut saja Joko Anwar dengan filmnya yang tenar ke seantero jagat “Pengabdi Setan”. Film yang meroketkan namanya sampe Hollywood punya. Saat kita masih ingusan pun kita dibesarkan oleh film-film dengan bintang ikoniknya, Suzanna. Anak milenial pasti gak kenal.

Pendeknya, untuk urusan hantu, siluman, dedemit, jin ifrit, genderuwo, sandal bolong (baca: sundel, kesalahan bukan pada mata anda!), pocong, dan sebangsanya negeri subur ini punya stok melimpah-ruah. Dan, dengar-dengar Hollywood yang sekarang kekeringan ide, mau tak mau melihat ke luar Amrik untuk ngebajak ide-ide bernas layak-film.

Kenapa sih menghindarkan anak dari ketakutan terhadap hantu adalah hal yang layak dilakukan? Saya ingin mengutip al-Farabi (872-950 M), filsuf Islam yang bicara agar menghindarkan anak-anak dari ketakutan terhadap hantu. Mengapa? Karena yang tertanam jadinya adalah ketakutan, bukan keberanian. Anak-anak yang penuh rasa takut punya mentalitas yang beda dengan anak-anak yang penuh keberanian. Jelas lah. Takut lawannya berani. Berani antonimnya takut.

Anak-anak yang penuh rasa takut niscaya kurang inisiatif. Takut salah, takut jatuh, takut luka, takut benjol. Lawannya, anak-anak yang berani salah, berani jatuh, berani berdarah, berani kotor  itu baik (hey, ini bukan iklan deterjen ya).

Lantas, apakah Chiba anak yang berani? Entahlah, buktinya saat nonton film Conjuring 2 di Tv dia duduk tegang sambil membekap guling, ngintip dari balik guling penuh rasa takut dan penasaran. Inilah keberanian di balik guling.

Arkian, apa kabar penghujung September yang penuh kumis eh, kuminis? Masih ada hantunya?Wakwaw…@

Artikel sebelumnyaBILA OLAHRAGA BISA BERHADIAH UMROH, SASTRA KENAPA TIDAK?
Artikel berikutnyaINDONESIA, BALI, DAN BORNEO DI MATA EROPA
Riza Bahtiar
Pria dengan wajah ruwet ini lahir di Tanjung, Tabalong, Kalimantan Selatan pada 27 Oktober 1977. Pernah kuliah di Institut Agama Islam Negeri Antasari Banjarmasin Fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah dan Filsafat. Belum sempat lulus, keburu bosan, lantas pindah ke Jakarta. Berhasil lulus kuliah di IAIN Jakarta yang berubah jadi UIN ini pada 2002. Pernah aktif sebagai aktivis prodem dan coordinator Forum Study MaKAR (Manba’ul Afkar) Ciputat, aktivis di Desantara Institute for Cultural Studies, voluntir peneliti di Interseksi Foundation. Karena tidak betah menjomblo di Jakarta, pulang kampung pada 2006 sampai sekarang. Pada 2008 sempat menerbitkan Iloen Tabalong, satu-satunya media berbahasa Banjar se-Kalimantan dan gratis. Wahini sehari-hari bekerja di PLTU Tabalong. Hobi baca buku, diskusi, wiridan dan Tai Chi.