JOKER, SULLI, DAN KONSTRUKSI KEGILAAN

 

 

APA yang menautkan Joker, Sulli, dan anak-anak kecanduan gawai yang akhirnya harus menyambangi RSJ. Tak lain adalah kesehatan mental yang terganggu. Film Joker (saya memutuskan tidak menontonnya, Joker bukan villain favorit saya), kematian Sulli, dan kasus anak-anak kecanduan gawai itu terjadi persis pada bulan di mana dunia memeringati hari kesehatan mental.

WHO menjadikan tanggal 10 Oktober sebagai World Mental Health Day dengan tujuan untuk memberikan pendidikan terhadap masyarakat mengenai kesehatan mental, meningkatkan kewaspadaan atasnya, dan melakukan advokasi atas stigma sosial terhadapnya.

Bicara tentang stigma, agaknya, masyarakat kita telah purna dalam membangun persepsi terhadap penyakit jiwa. Menurut saya, paling tidak ada tiga asumsi umum yang dimapankan masyarakat terkait hal ini, bahwa penyakit jiwa adalah penyakit turunan, bahwa ia adalah penyakit yang hanya akan menimpa orang-orang tertentu di mana tentu saja orang-orang tertentu itu bukanlah dirinya, dan bahwa penyakit pada jiwa ini adalah jenis penyakit paling memalukan di mana pengidapnya harus dikibaskan sejauh-jauhnya dari khalayak ramai.

Ini asumsi yang bahkan orang awam macam saya pun bisa membantahnya. Gangguan kejiwaan adalah penyakit umum yang bisa menimpa sesiapapun, paling tidak untuk yang paling ringan di antaranya semisal stres dan frustasi. Stres bisa dipicu apa saja: bos yang semaunya, anak buah yang tidak bisa diatur, tagihan yang tertunggak, cinta yang ditolak, cinta yang tak mungkin bisa diekspresikan, macet di tengah matahari meranggas, bahkan internet yang lelet.

Stres yang tidak dikelola dengan baik mungkin akan berujung gangguan jiwa yang lebih serius seperti depresi dan gangguan cemas (anxiety). Hal lain yang mungkin dianggap sepele namun berpotensi memicu gangguan pada syaraf otak adalah kekurangan vitamin B12. Kasus kekurangan vitamin B12 ini sangat umum, dua juta kasus pertahun di Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa umumnya gangguan jiwa. Sesuatu yang terjadi mungkin pada semua orang.

Gangguan jiwa yang lebih berat biasanya berasal dari gangguan ringan yang diabaikan. Salah satu alasan pengabaian ini adalah keengganan penderita untuk membicarakannya dengan pihak lain karena konstruksi masyarakat terhadap gangguan jiwa yang tidak bersahabat. Hal ini membuat orang lebih memilih menyembunyikannya daripada berusaha menyembuhkannya dengan bantuan orang lain. Maka kita kembali lagi ke masalah konstruksi masyarakat mengenai penyakit jiwa dan penderitanya.

Menurut Foucault dalam bukunya Madness and Civilitazion, kegilaan adalah sebuah konstruksi. Hal ini dibuktikan dengan berubahnya standar kegilaan pada tiap zamannya. Gila pada periode renaissance dianggap kebebasan imajinasi, pembatasan akan kebebasan mereka cenderung lemah. Berbeda dengan periode abad ke-17 dan 18 yang mempertentangkan gila dengan rasionalitas, orang gila adalah orang tak berakal.

Pada akhir abad ke-18, gila juga didefinisikan sebagai penyelewangan terhadap moralitas sehingga perlu rumah sakit jiwa di mana mereka didisiplinkan agar kembali pada aturan-aturan moral. Lebih lanjut, kegilaan muncul karena karena masyarakat menciptakan kualifikasi kenormalan tertentu, di mana orang-orang yang gagal memenuhi itu akan didefinisikan sebagai orang gila tak peduli kegagalan itu disebabkan hal-hal yang sifatnya medis dan tak bisa dihindari seperti menjadi depresi atau menjadi frustasi.

Yang menarik menurut saya pribadi adalah rumitnya pengkategorian normal dan gila oleh masyarakat itu sendiri. Kenapa misalnya orang-orang menyukai Joker dan menganggapnya sesuatu yang wow sementara dia adalah pengidap sakit jiwa? Orang-orang sangat ingin melihat kegilaan Joker seakan-akan itu sesuatu yang berharga. Rela mengantre di bioskop, bahkan menjadi film R-rated paling laku (tapi di Indonesia jadi G-rated)).

Hal lain yang terasa kontradiktif adalah bagaimana orang-orang bisa menyukai film-film gore atau phsyco macam Hannibal trilogy, Seven, Saw. Bukankah film-film jenis ini sangat menganggu kestabilan jiwa. Saya menonton beberapa film genre ini, namun yang memang memiliki cerita yang kuat dan biasanya masuk kategori film Oscar. Setelah berkeluarga, saya berhenti sama sekali menontonnya (kecuali True Detective, ini serial bagus soalnya). Film-film jenis ini setidaknya akan membuat kita tidak bahagia, murung, dan muram. Meski begitu, belakangan, genre ini semakin mapan dan menemukan penggemar setianya.

Jika bisa begitu nyaman dengan tokoh-tokoh fiktif yang sakit jiwa, kenapa masyarakat justru kesulitan melakukan hal yang sama pada penderita gangguan kejiwaan di dunia nyata. Almarhumah Sulli sempat menceritakan dalam akun media sosialnya bahwa, dia menderita gangguan cemas dan depresi, namun sejumlah orang tetap melakukan perundungan. Tak sedikit dari kita justru menjadi penyebab para penderita sakit jiwa semakin parah karena kurangnya simpati dan minusnya empati. Bukankah itu justru bentuk gangguan kejiwaan yang lain ketika kita merasa perlu menunjukkan ketidaksukaan atau bahkan melancarkan serangan pada mereka yang menderita gangguan jiwa?

Dengan demikian barangkali kita perlu insyafi, seperti yang sudah saya sampaikan di atas, pada akhirnya potensi kegilaan juga bisa terjadi pada sesiapa juga sehingga simpati dan empati perlu dikembangkan. Bahwa konstruksi normal dan gila dalam peradaban manusia tidaklah sekokoh yang kita bayangkan, dan bahwa jiwa demikian rapuhnya, hendaklah pada Pemilik Jiwa kita menitipkan kewarasannya.@