SIANG itu kereta cepat yang kutumpangi sampai di salah satu stasiun kereta api Paris. Ibukota negeriku yang kedua. Pemandangan yang tidak biasa kulihat di negeri kelahiranku sendiri. Aku belum pernah menikmati ibukotaku (saat ini), Jakarta.
Tapi Paris bukan Jakarta. Kota model ini sama sekali lain dengan ibukota negara kelahiranku. Paris yang sangat mendunia dengan menara Eiffel, arsitektur, dan tentu romantisismenya.
Dengan turis yang terus bertambah tiap tahunnya, bisa dimengerti karena Paris secara global memang cantik. Tidak bisa kukatakan 100% perfect karena tidak ada satupun di kehidupan ini yang sempurna.
Tetap saja ada perbedaan sosial seperti di setiap negara. Hanya saja di Paris perbedaan itu lebih sedikit jika dibandingkan dengan kota-kota di negara lain ( karena Perancis menganut sistem sosial solidaritas ). Artinya, yang punya membantu yang kurang punya. Bisa juga disebut saling berbagi.
Waktu perang dunia ll, Paris hampir dihancurkan oleh Hitler seperti yang terjadi di banyak kota besar di Eropa yang dikuasai oleh Nazi. Untunglah salah satu jenderal Nazi yang waktu itu berkuasa di Paris jatuh cinta dengan Paris dan mempertahankan kota itu dari kehancuran sehingga semua bisa menikmati cantiknya Paris sampai saat ini.
Seperti kota-kota besar di bumi ini, kehidupan seperti dikejar hantu. Berjalan terburu-buru karena berlomba dengan waktu. Begitu juga dengan Paris. Di sepanjang jalan dari seluruh arah, orang-orang berjalan dengan cepat seperti tidak mau ketinggalan untuk menggapai apa yang ada di depan mereka.
Ada yang mengejar kereta bawah tanah (metro; di Perancis begitu menyebutnya), atau janjian yang tidak bisa ditunda, juga harus cepat-cepat pulang sampai ke rumah menghilangkan penat karena bosan dengan kerjaan di luar rumah, ditambah stress tentunya. Dan waktu adalah uang, siapa cepat dia dapat (seperti kata pepatah).
Pemikiran jauh ke depan anak-anak negeri awal abad ke-19 (kereta bawah tanah), yang sangat bermanfaat untuk kemudahan kehidupan kota di era sekarang. Kereta bawah tanah lewat setiap 5-6 menit untuk satu jurusan yang berhenti di setiap stasiun sepanjang jurusan terakhir. Dan kebanggaan penduduknya untuk menikmati transport umum. Dari semua kalangan sosial, tidak ada rasa gengsi dan rendah diri. Sehingga kemacetan seperti semut di dalam kota bisa dihindari atau dikurangi.
Semua jalur kereta api bawah tanah dan organisasinya (stasiun setiap pemberhentian, jam pemberangkatan, informasi ini-itu dan sebagainya ), telah dirancang jauh-jauh sebelum kota Paris menjadi padat seperti sekarang. Tentu saja selalu ada perubahan dan modernisasi mengikuti perubahan dunia.
Satu tiket kereta bawah tanah berlaku untuk satu jalan, walaupun harus berpindah kereta dan tujuan, yang penting tetap dan tidak keluar dari stasiun bawah tanah. Bisa dibilang transit. Begitu gampang dan simple alat tranportasi ini yang mempermudah untuk bergerak (beraktivitas) di tengah keramaian kota.
Semua itu telah diantisipasi sehingga tata ruang ruang kota tidak berubah dengan drastis, juga biaya pemeliharaan. Itu semua untuk meningkatkan pelayanan dan kenyamanan warga.
Di Paris khususnya (seperti kota-kota lainnya di Eropa), pemerintah tidak bisa membongkar bangunan segampang di negeri kelahiranku.
Banyak bangunan dan monumen yang dilindungi apalagi yang mempunyai nilai sejarah. Rakyat bisa memprotes untuk melindungi musnahnya monumen atau bangunan bersejarah. Di sini negeri liberal dan demokrasi. Yang aku harap negeri kelahiranku bisa menerapkan demokrasi dengan sesungguhnya.
Di tengah lalu lalang penumpang kereta bawah itu, sesekali terdengar pengamen dengan musik jazz, soul juga pop. Ada solo saxophone, atau hanya sebuah gitar, ada juga groupe. Apalagi groupe jazz, walaupun banyak di antara orang-orang yang lalu lalang tidak peduli, di kepala mereka hanya tertuju metro dan waktu (jangan sampek ketinggalan supaya tidak menunggu). Memang kebanyakan manusia telah menjadi budak kehidupan hanya untuk setitik “materi”.
Jika ibukota negeri kelahiranku dan kota-kota besar lainnya, penduduknya dengan ikhlas/ rela memakai transportasi umum, tentu polusi dan kemacetan kota bisa dihindari (dikurangi). Memanfaatkan fasilitas umum (alat transportasi umum), sudah menjadi tradisi di Paris. Karena itu kesadaran penduduk yang bijaksana dalam berpikir.
Mungkin ibukota Indonesia yang baru nanti bisa menjadi contoh. Dengan tata ruang kota dan segalanya, pembuangan dan pengolahan air limbah rumah tangga, pengolahan sampah dan juga penjagaan dan penyelamatan alam untuk keseimbangan kehidupan. Semoga… (BERSAMBUNG)