SAMPAI di RS Bhayangkara Banjarmasin sudah terlihat kawan-kawan seniman berkumpul, saya langsung masuk ke ruang IGD. Ada beberapa teman dekat di sana, kondisi jasad almarhum dibungkus selimut dan wajahnya yang pucat terbuka diikat tali perban agar mulutnya tak terbuka. Sampai di sini saya masih bisa menahan tangis dan melanjutkan membaca Yasin, tahlil dan berdoa yang diaminkan beberapa kawan yang ada di sana.

Semua orang kemudian menuju Masjid Al-Jihad di Cempaka Besar. Setelah shalat Ashar jenazah kemudian difardhu-kifayahi, bersama satu jenazah lainnya. Dari masjid saya pulang ke rumah, bersama isteri, kami langsung menuju tempat pemakaman. Seorang kawan yang berangkat bersama ambulans Al-Jihad yang mewah memberikan link peta online. Istri memberi tahu, kemungkinan besar itu satu kompleks pemakaman dengan ayah saya di Guntung Damar, Landasan Ulin, Banjarbaru, (dan kenyataannya memang demikian, kuburnya berada dekat sekali dengan kubur ayah). Pada momen inilah saya tak sanggup lagi menahan airmata. Sekian kenangan datang seperti bah dalam kepala. Ayah… Ka Sukur….

Saya mengenal Abdussukur (penulisan ini mengikuti penulisan namanya di antologi-antologi puisi terakhir yang saya editori, mengingat ada bentuk penulisan nama lainnya: Abdus Syukur, Abdussyukur, dst.) bukan saat awal berkegiatan di Taman Budaya. Jauh sebelum itu, ia adalah tetangga sekampung di Pasir Mas atau Kompleks Wartawan. Saya masih anak seumuran SD yang selalu mengikuti ayah shalat berjamaah di Masjid Al-Ashri, ia adalah remaja masjid kawan dari kakak saya. Ia cukup menonjol, karena periang, lucu, dan sering menjadi MC di acara-acara terkait masjid dan kegiatan keagamaannya, atau pada kegiatan-kegiatan kampung lainnya semisal kegiatan tujuh-belasan (Hari Kemerdekaan).

Saya baru ingat kemudian, dia adalah wakil ayah saya yang menjadi bendahara masjid. Ada banyak kenangan lain tentang ayah yang kemudian Ka Sukur ceritakan ulang, berkali-kali. Menurutnya, Ayah (beliau menyebut demikian pula ke ayah saya, H. Hamzah) adalah figur yang sangat baik, terutama sejauh yang ia kenal sebagai wakil bendahara Masjid Al-Ashri. Ia memuji ayah dengan tulus, saya tahu itu dari sikapnya yang serius dan ucapannya yang bersahaja tidak berlebih-lebihan. Ada satu cerita yang, entah ia ingat atau tidak, selalu diceritakannya ulang ke saya (biarlah saya simpan sendiri, untuk mengenang mereka berdua). Ia juga kadang menceritakan satu dua teman sekampung kami, selain kadang menanyakan kabar kakak saya, Bang Iyan. Cukuplah cerita-cerita itu menjadi ikatan “kekeluargaan” yang tulus di antara kami: Ayah, Ka Sukur, Bang Iyan, dan saya.

Abdussukur atau Ka Sukur (saya memanggilnya) adalah orang baik dan periang. Ia magnet dalam setiap obrolan kelompok. Sebuah foto yang diunggah Musa Bastara di dinding fesbuknya hari ini, adalah puncak “kelucuan” dari banyolan-banyolannya di sepanjang perjalanan pulang dari Aruh Sastra Kalsel Balangan beberapa bulan yang lalu. Banyolan-banyolan itu terus diulang berhari-hari di Kampung Buku, saat Abai, Nafi dan lainnya mengisahkan ulang cerita-cerita lucu Ka Sukur, yang menurut teman-teman bisa dinomori.

Ya, cerita-cerita lucu itu sebenarnya sudah sering diulang-ulangnya, baik di atas panggung pertunjukan maupun saat berkumpul sesama seniman dan pegiat budaya. Bahkan saking hapalnya, menurut teman-teman yang hapal betul, kisah-kisah itu bisa dinomori dan begitu nomor sekian dari kisah Ka Sukur (tanpa menyebut kisahnya) pasti langsung akan disambut tawa berderai.

Demikianlah, mesti sudah sering diulang dan mungkin tak lucu lagi jika diceritakan teman lainnya, kisah itu akan tetap sangat lucu bila Ka Sukur yang menceritakannya.

KENANGAN: Bersama Abdussukur (baju merah) singgah di warung saat pulang dari acara Aruh Sastra Kalsel 2021 di Balangan. (foto: Ipul/Musa)

Abdussukur memang kemudian lebih dikenal sebagai seniman tradisi Mamanda, posisi tetapnya sebagai Khadam—pembantu Raja yang sering melontarkan kelucuan-kelucuan di tengah sidang kerajaan. Lebih lanjut ia juga dikenal sebagai pewaris seni Bapandung, sebuah lakon tunggal di mana pemerannya bisa berganti-ganti peran (juga pakaian) dalam satu pementasan. Sederhananya seperti dalam monolog teater, atau jika dilihat sisi materi (kelucuannya) seperti stand-up comedy hari ini.

Yang sering dilupakan adalah, ia juga seorang sastrawan Kalimantan Selatan. Bang Micky Hidayat pernah bilang, Sukur digadang-gadang meregenerasi penyair atau sastrawan Kalsel sesudah era HPMB tahun ‘80-an Bang Micky dan kawan-kawan seangkatan. Ya, sastrawan Kalsel generasi ’90-an. Tapi kemudian beliau kecewa, karena Sukur membelok ke ranah seni pertunjukan dan tak lagi produktif menulis puisi dan esai, hingga kemudian datanglah generasi saya, Nahdiansyah Abdi, Nailiya Nikmah, Dewi Alfianti, Ratih Ayuningrum, dll.

Nama-nama yang saya sebut ini adalah kawan-kawan pengurus Komunitas Sastra Indonesia Banjarmasin, di mana Ka Sukur sebagai yang paling tua termasuk menjadi pengurusnya. Bang Micky dan Ka Agus (Y.S. Agus Suseno) lebih sebagai penasehat saja. Sepanjang tahun 2008-2011 itu saya bersama kawan-kawan KSI-Banjarmasin (termasuk Ka Sukur) sering mendiskusikan karya-karya kami, juga membuat kegiatan kesusasteraan lainnya yang berpusat di Taman Budaya Kalsel. Keakraban itu terus terbawa, antara Ka Sukur dan Ratih, misalnya, jika bertemu kemudian di Kotabaru, atau Ka Sukur dengan Dewi dan Nai jika sesekali kami bertemu di kegiatan-kegiatan kebudayaan lainnya di Banjarmasin maupun di daerah. Ka Sukur adalah kawan, senior, sahabat, yang selalu menemani dengan kejenakaannya.

Beberapa hari yang lalu ia mengirim pesan WA, mengabarkan ia sedang sakit. Saya sangat ingin mengunjunginya, ini saya sampaikan pula ke Ka Agus, namun hingga datang hari ini tak kunjung sempat saya mendatanginya. Di samping memang, dalam percakapan terakhir kami ia bilang tak usah datang karena ia sendirian di rumah (isterinya masih kerja saat itu) dan tak mungkin pula melayani saya. Ahh, inilah sesal yang tak mungkin lagi dihapus dalam benak saya hingga menambah satu lagi kenangan yang membuat airmata turun berderai dan tak ingin saya hapus.

Selamat jalan, Ka Sukur, damailah di sisi (makam) Ayah di sana. Jasa dan peranmu terlalu banyak untuk disebutkan, di sini, bagi dunia kesenian Kalimantan Selatan. Cukuplah penggalan-penggalan ini mengantarmu pulang dalam keabadian.@