SUATU hari di tahun 2012, saya bersama seorang teman merokok di ruang tamu salah seorang teman lain. Sayup-sayup suara yang datang dari televisi di ruang tengah mengabarkan tentang perhitungan suara di Pilkada DKI.

“Jokowi menang putaran pertama gubernur DKI,” ucap teman saya cuek. “Kalau diliat popularitasnya, mungkin dia akan maju menjadi Presiden.”

“Masih sangat jauh kalo presiden,” bantah saya yang memperhitungkan waktu Pilkada. “Mungkin akan menang putaran kedua, tapi dia gak akan ke presiden.”

“Mungkin saja,” kata teman saya yang lain, “jangan lupa, dia populer banget sekarang.”

“Saya tidak percaya berbekal popularitas saja, seseorang bisa menang presiden,” jawab saya.

Dan, sisa dari percakapan itu, telah diolok-olok sejarah. Kita tahu, Pak Jokowi akhirnya memenangkan putaran kedua Pilkada DKI, mencalonkan diri sebagai presiden di tahun pertama jabatannya, terpilih sebagai kepala negara dengan mengalahkan pengusungnya di Pilkada DKI, melewati empat tahun pertamanya dengan bising, dan kini kembali dicalonkan diri lagi sebagai Presiden.

Tapi pertanyaan yang ditimbulkan di ruangan itu tetap menggema bagi saya: Mengapa apa yang disebut popularitas bisa mengangkat Pak Jokowi sehebat itu?”

Anda bisa punya pendapat lain tetapi saya kira, Jokowi telah meletakkan standar baru bagi kata “popularitas” di dunia politik. Dia memberi dimensi baru yang lebih rumit: cinta. Gabungan antara pesona idola dan cinta para fans dalam dunia politik memberi sesuatu yang saya kira tidak pernah terjadi sejak era Soekarno: pemujaan pemimpin.

Jokowi adalah prototype bagi pendekatan baru ini. Saya akan menunjukkan sedikit kontrasnya. Di era SBY dulu, siapa yang ingat pernah berdebat di media sosial? Siapa yang pernah mendukung Pak SBY misalnya dalam kasus BLT atau hambalang atau century, dll?

Jika Anda main facebook sudah selama saya (2009), silakan Anda buka-buka kembali kronologi, sejauh mana perdebatan membelah masyarakat kita menjadi dua kubu, dengan sayatan setajam dengan apa yang terjadi di era Jokowi?