UNTUK PEREMPUAN BERBAJU UNGU
Perempuan berbaju ungu itu datang padaku, saat hujan baru
saja berhenti dan dengan segera berubah menjadi gerimis
Perempuan yang berpita ungu it uterus menyeret tubuhku
yang telah terikat belukar
“kau harus pulang. Ibu, bapak, dan adik-adikmu telah
menantimu,” katanya
Setelah itu, tak lama ia tuntun aku dalam gerimis
ke sebuah jalan yang ujungnya berlempeng cahaya
berbentuk sebuah rumah
Kedaton, 2001
STANZA
– tujuh tahun pernikahan
masih pipimu yang dulu
yang sembul merah ketika kukecup
dan ada wangi bunga yang ruap
di rambutmu
dan aku selalu tak selesai
bercakap denganmu
mungkin tentang sedikit hujan
yang jatuh membayang
di pekarangan
tetap tubuhmu yang dulu
yang pernah kusibak
bersama getar malam
semacam aku yang mengeja
saat bibirmu tersingkap
dan aku mendadak gagap
dan aku selalu hinggap
di pundakmu
sampai tahun makin rambat
dan tubuhku memucat
kau adalah lembaran usiaku
yang terus menulis
di atas tubuhku
2012
JENAZAH AYAH
– halasan nainggolan
semestinya aku terus mengangkat kerandamu, ayah. sepanjang waktu. tapi maut selalu menunggu dan tak pernah bisa ditipu. hari rabu 10 juli 2013, di tubir bulan puasa. melewati simpangan kenangan. membasuh lukamu yang acapkali tumbuh. dengan ayat-ayat pesakitan yang lama kautampung. betapa selalu kubangunkan kesadaranmu, setiap kali napasmu sesak atau rasa nyeri yang lama berkawah di badan.
tapi tak kulihat airmatamu. hanya sesak nyali yang membekas di antara jeritan hari terus meranggas. sebab tuhan selalu berkaca, memandangmu di cermin. tanpa mesti ada tanda masjid atau gereja. di sana, doa-doa serupa lagu– yang kerap menidurkanku di terowongan insommnia. acap aku ingin terjaga, seperti detak nadimu.
“aku tidak pernah sakit. nyeri ini belum seberapa,” ucapmu menolak amputasi. pun saat angka tensi darah atau kadar glukosa yang terus meninggi. bertahun kaulalui demammu, hingga hangat itu tak lagi rambat di tubuhmu.
dan ajal merupakan hal yang janggal. ada banyak tanda hari yang tak mesti dilepas, semacam subuh yang beku. seperti saat kaulintasi malam-malammu yang terus memberat.
magrib sudah terbuka. lelahmu tiba juga, mata yang mencatat ingatan masa kanakku. dan tangis pecah. langkah tergesa, bayangan ruang icu yang selalu kautakutkan.
“tapi aku tak pernah sakit, anakku.” hanya ada bayangan kupu-kupu beku, tak bisa terbang di kepalamu.
*
selang infus merambat lagi. obat yang tersumbat di nadi. rintangan ingatan yang sekejap membatu. gerimis di luar kamar perawatan, cahaya matahari begitu rendah. terasa tubuhmu terbelah. dan dokter cuma bekas tangan yang tak tergapai.
jenazahmu ayah, dipenuhi suara ramai orang mengaji. menyimpan tawarmu, telah kauberikan kegelapanmu dan menjauhi hutan yang dipenuhi para pecundang. berharap sua pada cahaya rindang yang merentang.
setelah ini, aku akan selalu mengusung kerandamu. mencari pemakaman bagi tubuh bekumu. tanpa mesti ada batas yang memberi tanda bagi nisanmu. sebab nisan cuma sebatas nama yang tak pernah selesai dieja. bukan soal muslim atau nasrani. bagi tubuh yang bertahun aku akrabi, di lipatan sunyi. dan tumbuh sebagai bunga yang lain.
Edelweis, 2013