“Rentangkan tanganmu!” dengan tegas Guru Ramlan menyuruhku. Bu Rafkah memegangi dari belakang. Tanganku yang tertelungkup ke bawah ditarik oleh Guru Ramlan dengan keras sampai terdengar bunyi tulang yang terantuk. Darahku seakan berhenti. Keringat dingin bercucuran di pelipis kening.
“Mukamu pucat kuning, Val. Bertahanlah!” begitu ucapan Bu Rafkah. Tiba-tiba mataku berkunang-kunang. Pening di kepalaku lamat-lamat semakin kuat. Kemudian penglihatanku gelap. Dan hilang.
**
Beberapa jam setelahnya, aku membuka mata perlahan. Mencoba duduk meski terasa berat. Kepalaku seperti menahan batu gunung yang dililit di atas kepala layaknya sorban ulama yang kulihat di poster-poster dinding kamar. Di atas kasur aku memandangi tangan kananku yang sudah dililit perban. Terasa kayu papan menopang tangaku agar pergelangannya tidak bergerak.
“Minumlah dulu. Di atas meja ada beberapa obat yang harus kau minum sehabis makan!” Pinta Bu Rafkah.
“Syukran Katsir, Um.” Jawabku serak.
Bu Rafkah pergi meninggalkanku sendirian di kamar. Aku berbaring dan membayangkan, kini tak bisa berbuat seenak hati. Keinginan yang kuat terasa tak ada upaya tanpa pertolongan.
Aku serba ketergantungan setelah tulang di dalam pergelanganku patah. Terkadang aku merasa beruntung hanya tangan kananku saja yang celaka. Bagaimana jika keduanya? Atau bagaimana justru kedua kakiku yang terluka dan lumpuh tidak bisa berjalan dengan biasanya. Syukurlah untuk sekadar pergi ke kamar kecil aku tak perlu meminta bantuan kepada Guru Ramlan atau Bu Rafkah ketika itu.
Tiba-tiba ada rasa rindu kepada Ustadz Zakir yang menghinggapi perasaan. Bahkan terakhir kali aku meninggalkan kampung Kuala Tambangan, aku tak sempat mengucapkan salam perpisahan.
**