Syafi’i… lemparkan bolanya,” teriak Ali. Ia yang malam lalu bermalam di rumah Syafi’i hampir saja menggegerkan orang sekampung. Untunglah dia sudah kembali bermain bersama kami berdua di waktu pagi setelah malamnya aku berdebat dengan Ustadz Zakir.
Bola yang ditendang Syafi’i berada di hadapanku. Seperti yang kau ketahui, aku tidak suka dengan sepakbola. Tapi bukan berarti membencinya sepenuh hati. Aku berusaha menggiring bola itu di hadapan, kaku dengan rasa canggung. Tapi ketika menendangnya sekuat tenaga, kakiku terpeleset dan jatuh dengan tangan kanan lebih dulu ke tanah menopang badan.
“Arrrgghhhhh!!!”
Aku mengerang kesakitan. Sakit bukan main. Pergelanganku bengkak. Aku belum yakin apakah tulang pergelangan tangan kananku patah. Ali dan Syafi’i yang melihatku tergeletak, buru-buru mendatangi. Berusaha menolongku dan menanyakan keadaanku.
“Tidak. Tidak apa-apa!” sembari menahan sakit aku memegangi pergelangan tangan kananku dengan tangan kiri.
“Tapi tanganmu terlihat bengkak!” kata Ali.
“Lebih baik dibawa ke puskesmas!” timpal Syafi’i
“Jangan, aku tak ingin Ustadz Zakir tahu kejadian ini.”
“Cepat atau lambat Ustadz Zakir pasti tahu, Val.”
Aku terdiam sejenak. Memikirkan perkataan Ustadz Zakir sebelumnya. Apa ini yang dia maksudkan tadi malam. Aku bingung apa yang harus kulakukan. Apakah membiarkan mereka membawaku ke Puskesmas? Atau menutup-nutupi sakit yang tak terkira ini. Sampai kapan?
Sampai di rumah, aku langsung masuk kamar. Membalut tanganku dengan selembar kain basah. Ustadz Zakir tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan mengejutkanku. Dia tak banyak bertanya.
“Pergi ke tempat Guru Ramlan. Dia ahli pengobatan, juga pakarnya mengembalikan tulang yang patah. Aku sudah menghubungi Bu Rafkah untuk membawamu kesana!”
“Tapi Guru…”
“Sudah. Yang terjadi biarlah terjadi. Itu sudah aturan dari-Nya.”
Aku merasa malu dengan Ustadz Zakir. Rasa-rasanya aku sudah durhaka karena berprasangka buruk dengannya. Aku tak habis pikir mengapa Ustadz Zakir bisa berfirasat seperti itu. Benarkah sebagian firasat muslim yang taat itu mendekati kebenaran, Ful? Seperti hadits Rasulullah yang pernah disampaikan guru di sekolah? Mataku terasa panas saat air mata menetes pelan. Bukan air mata sakit yang kutahan, melainkan air mata perasaan malu dan penyesalan.
“Maafkan aku Guru… aku tak bermaksud…”
“Nouval. tangan kamu?” tiba-tiba Bu Rafkah masuk lalu mengangkat pergelangan tangan kananku yang sudah terasa berat.
“Ayo… ikut ibu. Di luar ada mobil dinas kepala desa yang akan mengantarkanmu. Aku meminjamnya setelah Ustadz Zakir mengabarkan.”
Aku hanya bisa mengangguk. Dari mana Ustadz Zakir mengetahui kejadian itu? Aku memandang wajah Ustadz Zakir. Dia seperti memberiku tanda perpisahan.
“Bawalah yang memang kau perlukan. Aku kira kau akan lama tinggal di sana!”
“Di sana? Maksudnya? Bukankah rumah Guru Ramlan tak jauh dari sini? Setelah berobat aku langsung di antar pulang, kan, guru?”
Ustadz Zakir hanya menggeleng. Kemudian mendatangiku.
“Ini adalah libur panjang. Masa berobatmu kupastikan memakan waktu yang lama. Kau akan tinggal di Pelaihari. Di rumah Guru Ramlan.
“Aku tak ingin pergi!”
Sungguh aku tak ingin meninggalkan kampungku dengan cara seperti ini. Aku ingin berpamitan dengan cara baik-baik. Menuntut ilmu ke negri orang, menetap beberapa waktu. Dan kembali untuk mengajarkan ilmu agama kepada orang-orang di kampung.
“Nouval. Kau sedang terluka parah. Tulang pergelangan kananmu itu patah. Kalau tidak segera ditangkir sulit untuk kembali seperti semula.” Bu Rafkah mengusap kepalaku.
Aku tak punya pilihan. Mobil dinas kepala desa menunggu di halaman depan rumah. Aku berdiri perlahan sembari dibantu Ustadz Zakir dan Bu Rafkah. Kemudian masuk ke dalamnya bersama tas ransel coklat berbahan kanvas tampak lusuh yang ternyata sudah disiapkan Ustadz Zakir dari awal.
Tanpa peluk cium kutinggalkan Ustadz Zakir yang berdiri di depan pintu. Bahkan aku tak sempat mengucapkan sekadar ungkapan sampai bertemu kembali. Atau selamat tinggal untuk terakhir kali. Mobil dinas melaju keluar dari desa Kuala Tambangan. Pohon-pohon di pinggir jalan seakan melambai-lambai mengantar kepergian. Seolah pertanda aku tak mungkin kembali ke kampung ini, kampung kelahiranku.
Berhenti di satu wilayah yang membuatmu merasa nyaman. Namun jangan berlama-lama. Tuhan akan memberikan tanda jika perjalananmu harus dilanjutkan. Kalimat-kalimat itu terniang-niang dalam pendengarannku. Sepertinya aku memang tak akan kembali lagi ke rumah Ustadz Zakir. Dan tak akan melihatnya lagi.