Wahai Anakku, Muhammad Nouval.

Setelah kau baca surat ini, mungkin kau telah meninggalkan jauh dari kampung kelahiran. Aku berharap kau bisa menetap di akhir perjalananmu nantinya. Menemukan sendiri siapa kau sebenarnya. Dari rahim ibumu, Siti Rahmah, cucu dari keturunan sultan.

Maafkan jika begitu lama aku menutupi silsilah ini darimu. Aku hanya menjaga amanah dari kakekmu, Ayah dari ibu kandungmu, seorang keturunan terakhir dari Pangeran Nata Dilaga, penembahan Patih Jaya Negara. Yang masih berkaitan darah dengan Gusti Dayang Julak, ibu dari Haji Abdul Hamid Abulung. Dan pula keturunan terakhir dari sultan.

Dan inilah amanah yang diberikan guru syekh murobbi mursyidku, Kiai Haji Muhammad Noor yang bermakam di Takisung, yang menunjukkan tempat makam Haji Abdul Hamid Abulung setelah kematiannya.

Dulu di masa waringmu dari waringmu hidup, segala keturunan dari kakekmu ditutupi demi kepentingan kesultanan. Sebagai murid aku tak pernah berprasangka buruk kepada guruku Muhammad Noor. Hingga sampai titik ini, aku seolah-olah melihat tatanan kerajaan surga dengan mata kepalaku sendiri. Dengan lantai lembut yang tak pernah bisa dibayangkan. Dengan atap yang tiada berkesudahan. Saat gambaran tersebut ditampakkan, begitu berat aku menerimanya.

Aku juga mendengar apa yang kau dengar sejak kecil. Mendengar suara para tumbuhan hidup memberitahukan segala khasiat dan kegunaannya. Jika saja aku berhenti dan melakukan segala suara itu, mungkin sekarang aku sudah menjadi ahli mujarobat.

Ahmad Basir, yang merawatmu sejak kecil adalah temanku sekamar. Dia adalah seorang sahabat yang mampu menyaksikan hal gaib. Melihat, mendengar, bahkan merasakannya. Dan sesungguhnya, semua itu di luar kemampuan dan jangkauan nalar, akal pikiran manusia normal.

Ayahmu memang seorang Kasyaf. Yang tak hanya terjadi pada diri seorang nabi dan rasul. Ingatlah, Val, seorang manusia bisa menciptakan maqam spiritualnya meski terbata, tidak seperti penyaksian para nabi dan rasul.

Namun aku berpesan kepadamu agar tidak mencari Kasyaf itu sendiri. Belajar tanpa guru lebih berbahaya daripada mengamalkan sesuatu tanpa ilmu yang cukup. Semenjak kau menceritakan penyaksianmu terhadap hal-hal gaib, aku mulai memutuskan untuk meninggalkanmu, lebih tepatnya melepasmu untuk mencari jati dirimu sendiri. Menemukan kebenaran hakiki. Sebab melihat aib diri sendiri lebih baik daripada keburukan orang lain.

Tuhan memperlihatkan kepadamu hal gaib namun bisa saja menutup kemampuanmu akan menyadari rahasia dalam dirimu sendiri. Penglihatanmu bisa menjadi fitnah yang menjerumuskanmu dalam kesesatan. Tanpa pembimbing yang mursyid, kemampuamu bisa menjadi hijab tebal. Maka dari itu, aku tak bosan mencekokimu pelajaran akhlak agar kau tak sombong. Karena kutahu kau tumbuh menjadi seorang pemuda yang keras kepala.

Aku tidak ingin kau menjadi seorang kasyaf yang justru mengangungkannya lantas menceritakan ke seantero alam atas pengalaman batinmu itu. Jangan sampai kau merasa bangga saat menermia pujian. Sebab banyak pendosa besar tenggelam atas kesalahan, lalu mendadak naik derajatnya karena taubat menyadari kesalahan. Sebaliknya, jika kau mulai bergaul dengan gemerlap dunia, takabur dalam menerima kasyaf, maka hanya Ia sang penguasa yang lebih tahu perihal hambanya. Sesungguhnya, Tuhan itu berada di sisi prasangka hamba, Val. Janganlah pernah berprasangka buruk kepada Tuhan. Dan janganlah kau lazimi memikirkan zat Tuhan, melainkan pikirkan dan syukuri nikmat-nikmat yang telah diberikan Tuhan kepadamu.

Sampaikan salamku pada Guru Ramlan, dan pergilah ke Martapura mencari kakekmu. Dia masih hidup.

***

Surat itu kulipat lalu kusimpan ke dalam tas ransel pemberian Ustadz Zakir. Apakah ini berarti kepergianku telah direncanakan? Jauh di palung hati yang paling dalam. Aku bersyukur jika benar dilahirkan dari rahim seorang darah bangsawan bahkan sultan, dan pula keturunan seorang faqih, seorang waliullah. Tapi bukankah ini menjadi pembeda dari yang lain. Yang kubingungkan adalah, mengapa kakekku yang dikatakan Ustadz Zakir dalam suratnya harus memberikan amanah demikian. Aneh sekali.

***

BERSAMBUNG