Mooncake Festival atau Perayaan Kue Bulan ini terlaksana dengan meriah oleh Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Kalimantan Selatan. Puluhan lampion mengudara ketika menghiasi acara tradisi perayaan panen pasca musim gugur pada malam kemarin.
Kegiatan yang berkolaborasi dengan Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin ini berjalan sukses yang menampilkan banyak atraksi budaya, yaitu Batampungas dan Bapupur. Tradisi itu merupakan akulturasi dari masyarakat peranakan Tionghoa Banjar.
“Acara Mooncake Festival atau perayaan kue bulan ini biasanya dirayakan saat pertengahan musim gugur. Yaitu tanggal 15 bulan 8 penanggalan Lunar Tionghoa (Kalender Imlek),” ucap Ketua Harian PSMTI Kalimantan Selatan, Arifin Suritiono kepada Asyikasyik.com, Sabtu (10/9/2022) malam.
Arifin memaknai acara saban tahunnya ini ketika berkumpulnya para keluarga Tionghoa, sembari menikmati kue bulan. Termasuk dalam Religi Expo, kata dia, nilai kebersamaan itulah menjadi warna dalam acara Mooncake Festival tersebut. “Semua masyarakat Banjar turut merasakan adanya acara perayaan ini. Ada nilai keberagamaan di sini,” ujarnya.
Menariknya, Arifin menjelaskan banyak ragam yang dibuat oleh masyarakat Tionghoa di Banjarmasin. Biasanya, kata dia, menjelang hari pelaksanaan maka semua warga Tionghoa membuat serentak dengan ragam jenisnya.
Direktur LK3 Banjarmasin, Abdani Solihin menginginkan adanya acara Mooncake Festival ini menjadi kalender pariwisata di Kalimantan Selatan. Karena, menurutnya memiliki nilai budaya yang tinggi serta keberagamaan dan nilai kerukunan dalam masyarakat Banjarnya.
“Ini sejak lama hadir, terbukti dari tradisi-tradisi yang ditampilkan di panggung Religi Expo. Terutama dengan mantra yang dilafalkannya berbahasa Banjar,” jelasnya.
Kata Abdani, ini menandakan bahwa kedewasaan orang dahulu menjadi tolak ukur dengan kondisi saat ini. Baginya menjadi sandaran kuat, sehingga terciptalah dalam kebersamaan di masyarakat Banjar.
“Orang dahulu memaknai bahwa menerima keberagamaan itu sesuatu yang nyata. Hadir dalam kehidupan, mari menjalin bersama dan menjaga,” katanya.
Pemerhati budaya Tionghoa, Maria Roeslie menjelaskan bahwa perayaan kue bulan (Mooncake Festival) ini disebut Sembahyang Pia (Tiong Ciu Pia) yang diperingati saban tahunnya dalam penanggalan Lunar Tionghoa.
“Pada tahun 2022 ini jatuh pada tanggal 10 September (Tahun Imlek 2573). Sudah diperingati ke-403,” tambahnya. Maria bilang, Pia adalah sejenis kue berbentuk bulat yang terbuat dari tepung terigu. Adonan itu, kata dia, kemudian dioven dengan isi berbagai varian, yaitu daging babi, daging ayam, kacang hijau/kacang merah, isi tausa dan lainnya. “Kulitnya juga ada 2 macam, yaitu renyah dan lembek,” beber Maria.
Di Banjarmasin, Maria menyebut ada beberapa pembuat kue pia yang enak, namun terkenal dan legendaris yakni Tante Ujit. Tempatnya, dia mengatakan di wilayah Pekauman, Jalan RK Ilir, Kota Banjarmasin. Selain itu, dia menyampaikan budaya berkeliling kota melewati 7 jembatan.
“Proses budaya ini dilakukan pada sore hari menjelang malam bersama keluarga-keluarga Tionghoa, beserta anak dan cucunya. Ada yang jalan kaki, ada pula ramai-ramai pake becak,” cerita Maria.
Maria menambahkan prosesi tradisi bamandi-mandi (Ritual Pembersihan Badan). Jelang sore, menurutnya warga Tionghoa kerap melaksanakan ritual tersebut dengan siraman air kembang, serta mantra dengan menggunakan bahasa Banjar.
Mantra-mantra Banjar yang digunakan dalam ritual itu memiliki persembahannya, yaitu mantra mandi, mantra memakai bedak, mantra meminyaki rambut, dengan ragam lirik yang disampaikannya. Maria mengaku, tradisi itu mulai ditinggalkan saat ini.
“Tradisi ini berangsur punah, mungkin karena perkembangan perilaku dan perubahan zaman. Entah dianggap mitos yang bertentangan dengan agama dianut. Sehingga saat ini tidak dilakukan lagi ritual selengkap itu,” ungkap Maria.
Maria menyebut perayaan Mooncake Festival ala peranakan Tionghoa Banjar ini sebenarnya kaya akan nilai pembauran budayanya. Dia bercerita, nenek moyang masyarakat Banjar dengan orang Tionghoa telah lama hidup berdampingan, sehingga tercipta rasa damai dalam keberagamaan, serta terjadi akulturasi budaya yang harmonis.
“Mari kita bersatu memajukan bangsa, khususnya banua kita. Saya harapkan generasi penerus bangsa dapat merefleksikan dalam kehidupan sehari-hari,” ungkap dia.
Dengan begitu, menurut Maria, acara budaya peranakan Tionghoa Banjar ini dapat memberi warna dalam agenda budaya Banjar. Sehingga, kata dia, rangkaian dalam pembauran itu menjadi magnet atau daya tarik para wisatawan untuk datang berkunjung ke Banua tercinta.@