SATU ketika, seorang perempuan customer (penumpang) mendapati saya sebagai driver onlinenya dengan tujuan satu hotel ternama di Gotham City karena menghadiri seminar apa gitu, sebagai kaum terdidik, tentu dong harus perfect, berbahasa Indonesia yang baik dan benar, berpenampilan khas kaum urban, menenteng tas berisi berkas dan laptop khas wanita karier. Saya selalu senang dengan penumpang kelas seperti demikian, tapi endingnya selalu bikin nyesek entah mengapa.
“Persis jemputnya di mana ya, Bu?”
Saya selalu memulai kalimat seperti itu. Kadang dijawab “iya” saja. Kalau memang tidak pas, doi akan mengarahkan beberapa tanda semisal seberang bangunan apa, di bawah baliho ini, atau pagar berwarna anu. Hal yang paling menyakitkan adalah, ketika customer ngotot titiknya sudah pas, dan ternyata dia tidak di situ. Kan nyesek, ya. Kenapa tidak bilang aja seberang titiknya dari awal atau dikasih klu dari permulaan chat, terus terang di awal kok susah banget.
Dear Customer, yakinkanlah sebagian kami, para driver sudah terlalu akrab dengan mapnya. Tak sekadar akrab, kami juga mengerti kalau sejumlah map aplikasi tidak seakurat kenyataan yang ada. Pernah kok, kita mentok dengan pohon besar yang mengharuskan putar balik padahal terlihat jalan bisa tembus. Eh, ternyata aplikasi ngebaca alternatif terpendek meski jalannya segede tikus. Ada emang kayak gitu, ya adalah!
Seyogiannya lah, customer memberi arahan yang tepat. Kali ini, saya mesti memutar dua kali lantaran titik jemput itu patokan saja, dan dia, ada di seberangnya. No problem, saya bukan tipe driver yang mudah jengkel. Jalanlah kami menyusuri arus lalu lintas.
Di pertengahan jalan, dia meminta untuk menjemput seorang temannya di per-Batas-an Pulau. Nah, pada bagian ini kami sempat bersitegang. Tegang dikit tapi masih asyik, menurut saya.
“Batas Pulaunya di mana ya, Bu? Ada Apotek, Dealer Hohon, Distro Baju, Mall, Heroin Laundry, atau Soto Umanya?”
“Gak jauh, Mas. Di pinggir Jalan Jendral saja!”
Hellooow… ibu cantik yang baik hatinya. Kami juga tahu jalan jendral itu gak jauh dan guuede puanjang buanget. Dari 0 Km sampai Kilometer dua ratus, itu semua Jalan Jendral, Bu!
“Masnya bukan orang sini, ya? Kok gak tau, Batas Pulau di mana?”
“Saya tinggal di sini, maka dari itu saya bertanya persisnya di mana. Tandanya apa? itu yang tadi saya sebutkan, kan, ada di Batas Pulau. Misal, samping baliho, atau di bawah pintu gerbangnya gitu?”
Saya tanyakan itu sebagai antisipasi ancang-ancang dari jauh. Berhentinya mobil itu gak seperti berhentinya motor, salah-salah bisa bikin macet dan diklaksonin panjang dan dicaci-maki pengguna lantas lain di belakang. Ia kalau cuma diklaksonin. Lah, untuk menaikkan penumpang di pinggir jalan daerah terlarang, jalur kita bisa diblokir langsung sama kompolotan angkot hijau. Kayak polisi nangkap penjahat, gak semudah si customer bayangkan lah soal jemput-menjemput.
“Yaaaa, Di sekitar Batas Pulau, Lah!”
Okelah. Mobil melaju, sambil bersiap-siap lampu sen kiri antisipasi dia bakal minta saya berhenti di tempat yang tidak semestinya. Perjalanan tidak terlalu panjang dan mobil masih melaju. Batas Pulau sudah dihadapan, Dia mulai menelpon. Dan… berbahasa lokal yang kental sangat dengan lawan bicaranya. Eh, gue kire orang Jakarte lu!
“Di Depan Apotik, Mas!”
Nah, kan. Apa gue kate! Saya bergumam dalam hati, kan sudah ditawarkan dari permulaan malah, ada Apotek, Dealer Hohon, Distro Baju, Mall, Heroin Laundry, atau Soto Umanya. Ternyata Apotek adalah pilihan yang tepat dan tepatnya lagi, persis di titik padatnya lalu lintas. Saya menepi ke trotoar lampu sen kiri dan diklaksonin mobil-mobil di belakang saya. Ditawarkan kebaikan tapi ngotot bikin perlawanan. Ini jadinya.
Si temannya sudah masuk dalam kabin. Dan seperti biasa, saya bukan driver yang banyak bicara. Bukan driver yang sok kewartawan-wartawanan sampai banyak tanya. Wartawan yang sok kedriver-driveran mungkin iya, karena saya sering menawarkan menjadi supir kepada narasumber dan rekan jurnalis ketika mereka perlu transportasi. He.
Menjalani dua profesi ini sama seperti urusan manajemen komunikasi seni. Memisahkan urusah artistik dan non-artistik. Bagi saya, apa dan ke mana tidak terlalu penting, yang penting driver antar, penumpang bayar. Jika bayarnya lebih, itu bonus.
Membiarkan penumpang saya mengobrol santai dah hepi merupakan kepuasan tersendiri tanpa ikut campur di dalam obrolannya. Yang penting, para customer saya merasa nyaman di perjalanan. Itu saja.
Di waktu lain, saya pernah mendapatkan orderan di suatu jalan Gotham City yang terkenal dengan kepadatannya. Saya tahu wilayahnya, tapi gak pernah tau gang seperti apa di dalamnya. Pertanyaan saya di permulaan pun berubah.
“Mobil muat masuk, lah!”
“Muat!” Dan saya tahu, itu adalah komplek Mahasiswi, dengan hormat saya katakan kaum yang terdidik. Iya, sih muat masuk. Muat untuk satu mobil saja yang ketika sudah masuk, driver mesti mikir lagi, harus keluar mundur atau ada halaman sedikit saja untuk bisa memutar di dalam sana. Faktanya adalah, gak ada halaman sama sekali, gaes! Saya meminta dengan ketakdziman agar dia bisa keluar kost/rumah/atau apalah yang sedang dia diami untuk bisa dijemput di depan gang saja. Sembari saya keluar mundur. Jalannya seperti ujung pencil. Bahalus-bahalus!
“Gak bisa, Masnya aja ke depan pagar!”
Yaaa… Tuhan! pada bagian ini, sejuta alasan pernah saya dapatkan. Dari jarak ke depan kejauhan, sampai rambutnya yang baru habis dari salon gak bisa kena angin. Dear customer driver online yang baik budi pekertinya, kalau memang gak mau kena angin ya gak usah keluar rumah, kali. Atau gak perlu ada di dunia ini. Kalau memang malas jalan keluar gang dan faktanya mobil gak bisa masuk gang ya pesan ojek motorlah. Gimana, sih!
Lebih realistis dalam berlogika dan beretorika! Saya yakin, para driver di Gotham City, yang angka ordernya tinggi itu, bisa mendapatkan puluhan dolar setiap hari. Tapi belasan dolar untuk ke bengkel dan ketok deco lantaran goresan-goresan yang ada di mobil mereka tersebab customer-customer manja yang malas jalan kena angin cuma untuk ke depan gang semata. Ditambah ada cover lampu pecah, kasihan sekali teman sedriver yang pernah mengalami itu.
Sebagai seorang driver, kami (atau saya, lebih tepatnya) memang tidak bisa memilih siapa yang akan dijemput-antar, bagaimana orangnya, apa jenis kelamin, dan bagaimana latar belakang sosialnya. Semua berjalan serba auto searching beserta algoritma yang telah dirakit apik oleh sistem.
Ini bit tulisan saya memang sedang memihak kepada driver-driver lain di luar sana yang bernasib sama tapi gak tau bagaimana cara menyampaikannya. Etapi, di catatan lain, nanti saya juga berusaha memberikan edukasi kepada para customer biar mereka tidak ditindas oknum driver yang suka ngakal-ngakalin penumpangnya.
Dear customer, strata kita itu sebenarnya sama, hanya berbeda profesi saja. Dan bedanya lagi, menjadi driver membuat saya bisa mendapatkan banyak sudut pandang dari berbagai latar-belakang. Dan itu menyenangkan. Plang Hotel kenamaan dari Gotham City sudah terlihat. Dan saya sudah ancang-ancang dengan lampu sen ke kiri.
“Mas, itu di depan kan ada tulisan Ini Hotel, masuk belok kiri di jalur masuknya, jangan jalur keluar ntar dimarahin satpam.”
“Mmmm….” Saya mengiyakan. Perlahan mobil tiba di lobi. Mata saya menangkap spanduk yang mengucapkan selamat datang “Para Peserta Seminar Workshop Media dan Komunikasi Menjelang Pilpres 2019”.
Gubrak! Jika saja saya tahu seminar demikian yang Anda hadiri, saya bisa berikan materi dari pertama Anda duduk dalam kabin apa-apa yang akan disampaikan narasumber di dalam sana sebagai pembuka. Bonusnya, Anda bisa menginap di hotel, bertemu dengan anggota Public Relationship yang lain, dan berenang.
“Terima kasih telah menggunakan IniCar. Pastikan tidak ada yang ketinggalan, ya, Bu.” Pintu ditutup, saya memutar keluar dari lobi hotel. Di sana, saya melihat beberapa rekan jurnalis dan staf magang diskom yang saya juga tahu pada media mana saja mereka bekerja. Kenapa judulnya malah jadi terbalik? Selamat Berseminar!@