Jangan bicarakan politik di meja makan, karena itu bisa membuat makanan menjadi basi.

Selain di kantor, saya tidak tahu di mana tempat favorit para politisi membicarakan soal politik—karena aku tidak pernah berenang di dunia yang selalu riuh ini. Namun yakin saja, setiap usai membicarakan politik, maka akan diakhiri dengan acara makan-makan—dan itu tetap saja bisa membuat makanan menjadi basi. Mereka yang “tidak diuntungkan” saat pembicaraan politik itu, seakan menelan makanan lama yang baru saja dihangatkan.

Tetapi, pada Jumat (14/9) sore masyarakat Banjarbaru khususnya (Kalsel secara umum, lihat dari foto dan video) telah dipertontonkan sebuah “komunikasi politik” yang asyik. Tidak di meja makan. Melainkan di lapangan, lapangan bola. Dan aktor utamanya adalah Paman Birin (H Sahbirin Noor, Gubernur Kalsel), dan Nadjmi Adhani, Walikota Banjarbaru.

Pertandingan eksebisi antara Gubernur FC dan Walikota FC di Lapangan Sepakbola Murjani, Banjarbaru, itu memang murni permainan sepakbola—lantaran digelar untuk Pembukaan Turnamen Sepakbola Antar Kelurahan Se-Kota Banjarbaru dengan titel Paman Birin Trophy II. Tetapi, di dalam permainan bola itu, kita bisa melihat dan membaca bahwa telah terjadi “komunikasi politik” di antara keduanya. Baik dalam gesture, jalannya pertandingan, hingga skor akhir pertandingan.

Jangan lupa, pembicaraan politik itu tidak selalu berlangsung secara verbal. Politik memiliki banyak cara, ungkapan, dan bahasa kiasan. Seseorang tidak perlu mengatakan bahwa dia mendukung si “anu” dengan mengatakannya langsung, bisa saja dengan isyarat yang itu menunjukkan ke mana arah pilihan politiknya.

Begitu pula dalam pertandingan eksebisi sore itu. Yang terlihat hanyalah Paman Birin dan Pak Nadjmi—yang lainnya hanya figuran saja, kalau tidak ingin dibilang tidak ada. Semua mata dan perhatian hanya menyorot dan terpusat kepada mereka berdua, ke mana pun mereka bergerak, ke mana pun bola mereka giring, dan bagaimana ketika mereka saling berhadap-hadapan.

Ketika Paman Birin mengenakan topi terbalik, dan Pak Nadjmi juga mengenakan topi terbalik, itu sebuah isyarat yang dalam bahasa kekiniannya, “guwe suka gaya lo.” Terjadilah peniruan, dan upaya untuk menyamakan gaya.

Begitu pula, saat Pak Nadjmi memegang (atau memeluk?) perut Paman, barangkali saat itu sambil berucap, “Ulun umpat pian, Paman.” Nah, tahu kan ke mana arahnya? Atau mungkin juga saat itu Pak Wali berucap, “Parut kita sama, Paman.”—itu juga kan upaya untuk menyamakan, seakan berarti “Kita berdua sama”, “Kita berdua cocok.”

Dan ketika skor akhir sama, bahkan saat adu penalti juga tetap imbang 2-2, tahu apa artinya itu? Bisa saja itu memang sudah “diatur”, agar terjadi suatu ibarat, “Tuan rumah kada supan, tamu tetap terhormat.”

Yang terpenting lagi, masyarakat yang menonton telah diperlihatkan sebentuk kekompakan, dan keharmonisan keduanya. Dan itu akan memberikan kesan dan terus membekas.