Alkisah, di atas Suralaya, Kayangan, ada dua dewa bersaudara. Sangiang Batara Wedi dan Pande Rudiah. Meski hidup penuh kemegahan dan tanpa penderitaan, ternyata Sangiang Batara Wedi merasa kesepian dan ingin tahu bagaimana kehidupan di dunia.

Suatu ketika Sangiang Batara Wedi pun berbicara kepada kakaknya, Dewa Pande Rudiah.

“Kakak, setiap malam hatiku bertanya-tanya, dan pertanyaan ini ingin aku sampaikan kepada Kakak.”

“Ada apa, Adikku? Ceritakanlah,” sahut Dewa Pande Rudiah.

“Aku sebenarnya ingin ke dunia. Aku selalu bertanya-tanya, seperti apa dunia? Benarkah dunia itu tempat yang ramai? Tinggal di Suralaya ini selamanya terasa sunyi,” ucap Sangiang Batara Wedi.

“Oh, jangan! Jangan!” tukas Dewa Pande Rudiah. “Jangan pergi ke dunia. Tidak boleh. Sebab kita keturunan Dewa Wisnu. Kita sudah enak di sini. Tidak perlu makan, minum, tidak perlu tidur, dan badan kita tidak pernah bau seperti manusia. Dunia itu penuh dengan tipu daya, najis, dan masalah,” nasihat Dewa Pande Rudiah.

Namun Sangiang Batara Wedi rupanya tetap berkeras ingin pergi melihat dunia. Apa boleh buat, sang kakak, Dewa Pande Rudiah,tidak mampu menahan keinginan sang adik. Meskipun akhirnya mengizinkan Sangiang Batara Wedi pergi, Dewa Pande Rudiah harus mengubah wujud sang adik dari sosok dewa menjadi layaknya wujud manusia.

Dewa Pande Rudiah mengambil anak panah berbentuk paruh burung bernama Arda Dandali sebanyak tiga buah. Anak panah itu ditancapkan di atas kepala Sangiang Batara Wedi dengan sangat keras, hingga sang adik berteriak kesakitan. Karena hentakan yang begitu keras, tubuh Sangiang Batara Wedi menjadi pendek, dengan bentuk perut gendut.

“Berkacalah,” ucap Dewa Pande Rudiah.

Sangiang Batara Wedi melihat bentuk tubunya yang telah berubah.

“Oh, siapa aku?” Sangiang Batara Wedi bertanya-tanya.

“Orang di dunia seperti itu bentuk rupanya,” sahut Dewa Pande Rudiah. “Jika kau tidak berubah, kau tidak akan bisa diterima orang di dunia.”

“Baiklah,” ucap Sangiang Batara Wedi. “Lalu, siapa namaku?” tanyanya.

“Aku beri kau nama Lamut.”

“Lamut?”

“Ya, Lamut.”

“Apa artinya Lamut?”

La artinya tidak ada, Maut artinya mati. Jadi, Lamut artinya tidak mati. Sekarang pergilah.”

Begitulah Sangiang Batara Wedi berubah bentuk dan memiliki nama Lamut. Kemudian Lamut terbang pergi ke alam dunia. Terbang dengan sangat cepat, dan turun di kaki Gunung Mariangin.

Benar saja, Lamut terkagum-kagum melihat dunia. Hutan yang rimbun, dan bermacam gunung-gunung. “Oh, beginikah dunia?” katanya.

Lamut berjalan tanpa tujuan, hingga tersesat ke Banua Palinggam Cahaya yang dipimpin Maharaja Bungsu. Lamut kelelahan dan kelaparan. Ia datang kepada Raja Bungsu untuk meminta makan dan pekerjaan. Oleh pihak kerajaan, Lamut diberi pekerjaan memelihara ayam dan bebek. Tidak ada pilihan, Lamut menerima pekerjaan itu.

Maharaja Bungsu dan istrinya, Raden Galuh Kusuma Nilam, sudah 30 tahun kawin namun tidak juga dikarunia anak sebagai pewaris kerajaan. Sudah banyak tabib didatangkan untuk memberikan pengobatan agar mereka memperoleh keturunan, tetapi tetap tak menunjukkan hasil.

Sampai kemudian datanglah seorang tabib tua bernama Sumanggi Dewa.

Tabib Sumanggi Dewa membakar dupa putih dan beras kuning, dan kemudian melihat sosok Lamut. Lalu ia pun menyampaikan kepada Raja Bungsu. “Cucuku, di Banua Palinggam ini ada tabib ampuh, sakti mandraguna, tabib dewata keturunan Wisnu. Namanya Lamut.”

Karena tidak ada seorang pun bernama Lamut, kecuali Lamut yang telah dipekerjakan memelihara ayam dan bebek, maka Raja Bungsu pun sempat kaget dan meremehkannya. “Itu bukan tabib, bukan dewa yang kerjanya kotor-kotoran itu,” ucap Raja Bungsu.

Namun sang istri, Galuh Kusuma Nilam, tetap membujuk. “Coba saja, mungkin benar,” katanya.

Dengan setengah terpaksana Raja Bungsu memerintahkan Panglima Labay, Anglung, dan Anggasinga untuk memanggil Lamut.

Lamut pun datang menghadap Raja Bungsu. Lalu diceritakanlah kepada Lamut keinginan sang raja dan permaisuri untuk memperoleh keturunan.

“Menjadi tabib atau dukun aku tidak bisa,” ucap Lamut. “Tapi aku bisa badewa, dan menyamar,” ucap Lamut.

“Terserah saja apa pendapat kau, Lamut,” ujar Raja Bungsu.

“Baiklah, tapi aku ada permintaan,” kata Lamut.

“Katakan, apa itu, Lamut?” Raja Bungsu tak sabar.

“Aku minta disediakan dupa, tapung tawar, dan beras kuning.”

Setelah permintaan dipenuhi, lalu Lamut duduk sambil mulutnya komat-kamit dengan mata terpejam. Setelah semuanya selesai, Lamut pun berucap, “Begini Raja Bungsu dan Galuh Kusuma Nilam. Kalian akan mendapatkan keturunan, namun dengan syarat melaksanakan hajat, yakni pergi ke Pulau Madu Menyan Pulau Madu Dupa.”

Facebook Comments