SERIBU GAMBAR
bahkan seribu gambar
dalam lembar album itu
telah kulupa tajuknya
karena selalu wajahmu
yang dulu mampir
lalu diempas badai
: serpihan
AKULAH AIR
jika hutanhutan dihilangkan
tanah digali jadi kubangan
ke mana aku istirahat kalau tidak
ke kampung dan kota. masuki rumahrumah
ingin berdiam di sana sebab lelah oleh perjalanan
jauh – dari bukit tinggi, dari sungai
menyusuri ke paling rendah: rumah atau jalan
kota yang pikuk
“akulah air, takdir untukku adalah
mengalir. dan kau membuka jalanku
itu bukan ke pantai, namun
ke kampungkampung. kurendam
rumah di situ.”
jika hutanhutan kauhabisi, tambang kaugali
lalu dibiarkan lubang menganga, aku cari tempat lain
untuk istirahat. untuk jalanku penghabisan:
rumahrumah kurendamkan, jalanjalan kujadikan
laut. kalian kedinginan! “tapi, siapa yang merusak hutan
dan menggerusi tambang: di mana mereka kini
saat orangorang menangis gigil dan kehilangan
yang dipunyai?”
aku ingin menenggelamkan mereka juga,
sebab aku mengalir jauh kerena tangannya
AIR MENGUNJUNGI RUMAH
lalu air berbaris mengunjungi
rumahrumah. ingin pula istirahat
setelah jauh berjalan. ingin juga
bercinta dan dicintai. merindukan
sujud lebih panjang. bukan sebagai
petapa di gunung, di sungai, di akar
pepohonan. bukan menjadi uap,
sebagai awan; bahu yang sarat
beban
ingin lebih lama lelap. di rumahrumah
karena selama ini hanya jadi piatu
tanpa belaian, tak pula disapa
hutanhutan disingkirkan, tanah digali
jadi lubanglubang dalam. barisan air
dilupakan hidupnya,
kalau kini aku pamit istirahat di rumahrumah
itu maka izinkan, ucapnya
orangorang pun bergegas mengungsi
mengeluarkan perahuperahu yang dulu parkir
di pohon pinggir sungai