Jika tidak melihat judul Leksikon Penyair Kalimantan Selatan pada buku yang disuntingi oleh Micky Hidayat (MH), kita mungkin menduga buku itu adalah jenis karya sastra umumnya. Dengan sampul sepuitis itu, barangkali kita mengira ia sebuah antologi puisi, cerpen, atau novel, bukan leksikon, atau ensiklopedi, atau kamus atau apalah namanya yang sejenis.

Saya pribadi selalu mendapati kamus atau ensiklopedi sebagai yang paling kaku dari seluruh jenis buku. Bahkan seringkali sampulnya tidak menerbitkan keceriaan apapun. Tapi sampul buku Leksikon Penyair Kalimantan Selatan membujuk kita untuk menyukai buku ini. Dan setelah melihat tebal halamannya, kita lantas curiga, mungkinkah di Kalimantan Selatan ada begitu banyak penyair? Siapa yang sudah kita lewatkan?

Hal pertama yang saya lakukan saat membuka halaman demi halaman buku ini adalah mencari tahu apakah nama saya ada di dalamnya. Itu semacam kegenitan egosentris. Hal yang juga barangkali dilakukan sesiapa yang tertarik memiliki buku ini. Saya menemukan nama itu tentu saja di dereten huruf D, dengan deskripsi yang lumayan untuk ukuran seseorang yang tak pernah menerbitkan antologi puisinya sendiri. Ada sedikit kebanggaan yang tak diperlukan menyusup masuk. Mengipas-ngipasi kepercayaan diri yang tidak pada tempatnya, well, menurut leksikon ini, saya adalah seorang penyair. Namun kebanggaan itu dengan cepat terkikis, karena setelah melanjutkan membaca, ada l042 entri yang semuanya juga dinisbatkan oleh buku ini sebagai penyair. Menjadi satu dari seribu orang tentu mengecilkan nilai signifikansi daripada misalnya satu di antara seratus.

Setelah menelusuri lebih lanjut, saya juga menemukan banyak nama yang selama ini berada di jalur konsentrasi yang berbeda, namun ternyata dimasukkan ke dalam leksikon ini. Mulai dari pemain teater, musisi, akademisi, jurnalis bahkan pegawai bank.

Jika kita melihatnya dengan pertimbangan ego eksistensial kepenyairan, barangkali rasanya sungguh menyakitkan. Syukurlah saya bukan penyair sehingga ego tersebut tidak dengan bengis menggerogoti. Tapi saya bisa membayangkan bagaimana rasanya ketika konstruksi penyairan yang sudah dirintis bertahun-tahun tenggelam di antara seribu lebih entri yang sebagian diantaranya mungkin bahkan tak pernah berusaha membuat konstruksi kepenyairan atas dirinya, dan tetiba leksikon ini menobatkannya sebagai penyair.

Dengan demikian, apakah MH sebagai penyunting telah melakukan kekeliruan?

Dalam pengantarnya, MH menyebutkan tentang sebuah kriteria, atau sebutlah parameter entri. Artinya seseorang bisa dimasukkan ke dalam leksikon ini apabila telah memenuhi parameter atau kriteria tertentu. Sesaat membaca, saya menduga kriterianya adalah bahwa puisi yang ditulis paling tidak pernah terbit di satu antologi puisi, entah antologi puisi bersama atau tunggal. Setelah saya konfirmasi, memang benar adanya. Itu yang menyebabkan munculnya ribuan nama, karena dalam sebuah antologi bersama, tanpa proses kurasi yang ketat menggunakan kriteria kesubliman tertentu, maka siapa saja bisa menulis puisi dan memasukkan puisinya ke dalam antologi puisi.

Pada akhirnya persoalan leksikon ini bukan hanya masalah entri, siapa yang masuk dengan kriteria apa, karena persoalan penentuan entri ini bukan persoalan MH memilih siapa? Tapi pangkalnya ada pada sumber yang dijadikan MH sebagai acuan untuk memilih entri tersebut yaitu antologi-antologi puisi itu, yang tunggal atau bersama. Persoalan tentang bagaimana pihak yang menerbitkan antologi-antologi tersebut menentukan puisi-puisi yang membuat penciptanya berhak dianugerahi gelar penyair.

Jika Pembaca adalah penganut teori kesubliman, di mana untuk bisa disebut penyair, karya yang dihasilkan harus lah benar-benar puitis, diksi dipilih dengan cermat, gaya bahasa diperhatikan dengan seksama, maka pembaca akan menolak antologi puisi dengan kurasi asal-asalan. Asal puisi dikirimkan lalu dimuatlah puisinya ke dalam antologi bersama. Anda juga akan skeptis pada antologi puisi tunggal yang dibuat seseorang tanpa konstruksi kepenyairan yang terbangun dengan baik. Semacam orang-orang yang tetiba menerbitkan antologi puisi lalu ditasbihkan sebagai penyair hanya karena ia menulis antologi puisi.

Namun persoalannya, apakah hal tersebut cukup ‘manusiawi’? Jika parameter kesubliman menjadi acuan, dengan demikian dunia kepenyairan akan mengalami masa-masa pacekliknya. Eksklusivitasnya akan jadi gila-gilaan. Hal itu tentunya menimbulkan kekhawatiran-kekhawatiran baru. Barangkali akan muncul penyair-penyair narsis yang merasa hanya dia saja yang berhak menjadi penyair, barangkali kesubliman menjadi berhala baru, barangkali orang-orang yang hanya ingin membuat puisi akan merasa sedih berkepanjangan karena sekuat apapun usaha mereka, toh, puisi-puisinya takkan mengantarkan mereka pada pengakuan yang memadai.

Krisis kepenyairan ini akan semakin parah ketika generasi muda kita yang adalah penduduk asli dunia digital juga mulai tak terlalu tertarik dengan perihal membuat atau membaca puisi. Khazanah mereka adalah khazanah visual, teks yang mereka baca adalah narasi-narasi pendek, dan makna yang mereka bisa tangkap adalah makna-makna lugas. Mereka takkan tahan dengan narasi panjang, tanpa visualisasi dengan makna berlapis. Maka puisi dan penyair akan dengan cepat menjadi sesuatu yang asing.