Belakang sampul buku SIHIR BARU SEBUAH KOTA (SBSK) berhasil menggerayangi pikiran saya. Buku yang diterbitkan G-Pustaka ini menukil sebuah kalimat dari cerita pendek berjudul Enam Kisah yang Menyesatkan; “Malaikat mengajariku membaca alkitab-alkitab, tapi aku belum memutuskan beragama.” Buku SBSK digagas oleh sebuah mazhab baru dengan menyebut “SEKTE PENULIS MUDA KALIMANTAN SELATAN” ini sangat menjentik telinga. Mengapa ada marka penulis muda muncul? Dari mana mereka datangnya? Siapa-siapa mereka? Apa yang mereka inginkan?Ada 6 penulis cerpen dan 25 penulis puisi. Kategori muda yang menjadi acuan nampaknya adalah penulis berusia remaja yang tengah berkemas memasuki gerbang usia dewasa muda.

 Tentu dengan hadirnya SBSK adalah tanda tersendiri yang tidak bisa dilihat dari kacamata gelap. Inilah amsal untuk generasi penulis banua yang tak bisa ditampik.

***

ENAM CERPENIS

MUSA BASTARA adalah penulis cerpen yang karyanya dikutip pada sampul belakang SBSK. Cerpennya menceritakan tentang enam kisah yang ditujukan kepada Hajriansyah, Sandi Firly, Julio Cortazar, Takara Belati, Abdul Karim, dan Edi Sutardi. Cerita ganjil menuai paradoks ini berakhir di klimaks pada Tahun Baru, Tuhan Baru yang katanya si aku diajarkan malaikat untuk membaca alkitab-alkitab. Spontan saya membuka lagi Perjanjian Baru Mazmur dan Amsal yang menerangkan bahwa alkitab berisi pikiran Tuhan, keadaan manusia, jalan keselamatan, penghukuman bagi para pendosa, dan kebahagiaan bagi yang beriman.

Ajaran-ajaran dalam Alkitab bersifat kudus, ketetapannya mengikat. Alkitab bagi pemegang teguh iman adalah peta bagi pelancong, tongkat bagi musafir, kompas bagi pilot, pedang bagi prajurit, tentu saja piagam bagi orang Kristen. Di situlah firdaus dipulihkan, surga dibuka, lalu gerbang-gerbang neraka ditutup. Kristus dalam alkitab adalah pokok utama, kebaikan pengikutnya adalah rancanganNya, dan kemuliaan bagi Tuhan pada akhirnya.
Pilihan kata alkitab yang ditulis Musa dalam ceritanya perlu diklarifikasi relevansinya karena lima subcerita sebelumnya masih koheren tetapi pada penutup seperti ada sihir yang membelokkan ending sehingga mengerutkan kening. Rasanya persis seperti berpacaran tapi status hubungannya tak jelas karena menggantung.

ABDUL KARIM menyeret saya untuk terlibat dalam suasana hati Uttar yang memberangkatkan halusinasi kehancuran. Saya membayangkan Uttar itu plontos, tinggi, dan tentu saja maskulin yang menjengkelkan. Alangkah tidak? Suspensi cerpennya berkutat pada kisah (narator) yang diakhiri tanpa ada pesan moral yang termaktub di dalamnya. Tak ada cerita yang lahir tanpa tujuan, sepertinya konklusi itu menandai Karim untuk meneruskan eksperimen untuk karya selanjutnya.

TAKARA BELATI menjebak saya dalam suasana pamflet lewat tokoh Majuro. Bila Anda ingin mendamik kisahnya, pastikan bacaan-bacaan filsafat pernah disantap sebelumnya. Cerpen dengan nada sumbang yang ditulis Takara, semoga bukan berasal dari kesinisan dirinya melihat kenyataan hidup. Ya, keterbatasan dan kebebasan adalah ruang ‘nir’ yang batasnya hanya dirasakan oleh sang pemilik hidup sendiri.

MUHAMMAD RIFKI menyadarkan saya dengan istilah ding an sich yang dipopulerkan oleh filsuf Prusia Immanuel Kant. Informasi lanjut sila membaca buku atau melacaknya lewat mesin pintar istilah ‘an sich’ yang memberi imbauan kepada manusia bahwa sesuatu yang muncul ada dengan sendiri lewat wujudnya.

Pernah mendengar kata déjà vu, fenomena pengalaman yang sepertinya sudah pernah dilalui (terjadi) di masa lalu? Rasanya setiap manusia pernah merasakan sensasi déjà vu dan konon begitu juga dengan perjalanan penutup setiap manusia. Cerpen “Tak Kusangka, Malam Larut Begitu Panjang” berhasil memberangkatkan pengalaman manusia yang tahu tentang singgasana kematian, yaitu kehidupan abadi yang liyan. Ngilu sekali!

RAFII SYIHAB ceritamu menyakitkan!

***

DUA PULUH LIMA PENYAIR

ABDILLAH MUBARAK NURIN bulan depan genap berusia 31 tahun. Dua puisinya sangat tertata rapi dan imaji yang dibangunnya lahir untuk senantiasa merawat rindu. Puisi “Memandangmu” menggerus cara aku–dia agar menelaah kebisingan. Tiga dekade usianya adalah gerbang kemapanan untuk menengarai suasana-suasana harian yang konkret. Puisinya sudah membuktikan itu!

ACHMAD FAHMI BAAQIL membuat saya terkekeh. Puisinya “Suka Duka Penyair” mendamik pipi saya sendiri. Saya tertampar ketika sang kekasih diminta untuk mengingat-ingat apa yang bisa diharap dari puisi, dari seorang penyair! Satir sekali.

ACHMAD ZULKIFLI ALTINUS membuat suasana taktil, hidup yang bayang menjadi siraman kenyataan yang luput untuk dibaca seorang penyair. Apa itu? bisikan kenyataan dari metafora–rotasi, perputaran waktu yang nisbi. Inikah nocturne bagi F. Chopin itu?

AHMAD RASYID menulis sajak kehidupan dengan umpama sepihak, jalan pilih penyair masa depan. Artinya ketika penyair membayangkan perjalanan hidup lalu menerawangkannya adalah sejurus langkah yang meletakkan kata-kata sebagai juru kehidupan bagi penulisnya. Penyair kerap menitip sebagian jiwanya ke lautan kata. Puisi “Menunggu Tua” telah membacakan penyairnya untuk senantiasa mengurai makna dari apa yang dilakoninya sejauh ini.

AKBAR RIZKY SHOLEH “Mencari Tuhan di Stasiun” dengan dua lema yang bertautan; mengebiri alamat sebagai manusia, insan khauf yang serba ingin. Apakah puisi lahir begitu saja tanpa pengalaman empiris penulisnya? Tidak! Tuhan ada di cangkir kopi, Tuhan juga ada di jalanan. Tuhan tak ke mana-mana.

ANUGRAH GIO PRATAMA mempermainkan kata, biar kata menemu bunyi, biar kata berkendara memberai makna!

ARIF RAHMAN HERIANSYAH mengapungkan sajak dalam perahu hidup, apakah keterasingan begitu vulgar untuk disesap sebagai jalan hidup manusia? Kenapa kata perahu sering sekali disebutsandingkan dengan kehidupan?

FAHMI IDRIS jalanmu masih panjang!