Meski bukan sebagai pecandu, saya wajib mensyukuri adanya kopi di dunia ini. Terlebih dengan adanya kopi di nusantara ini. Mungkin akan lain ceritanya jika kopi hanya dapat ditemukan di daerah dan belahan negeri khusus saja. Tapi toh, kopi bisa ditemukan di tempat mana pun bahkan menjamur seperti di warung-warung tempat perhentian truk-truk pengangkut material. Bahkan dengan harga yang mahal seperti harga di kedai starbucks dan uniknya tanpa uang kembalian kadang-kadang.
Kopi dengan segala kekurangan dan kelebihannya telah banyak mengonstruksi peradaban sejarah, pemikiran dan strata sosial. Bagaimana tidak, dengan kopi sebuah rezim pemerintahan mampu melanggengkan eksistensi kekuasaannya. Di awal-awal kopi belum terkenal, masih menjadi sesuatu minuman belum masyhur di abad ke-14. Sebuah riwayat, dahulu Gubernur Makkah pernah melarang dengan alasan-alasan politik pada perkumpulan jamaah haji yang sedang berkumpul menyesap kopi dan mengira perkumpulan tersebut sebagai rencana subversif.
Di kalangan akademisi islam, para cendikiawannya sempat menjadikan kopi sebagai titik perdebatan alot. Ada yang melabeli halal, pun juga ada fatwa yang menyebut haram. Bahkan sampai kepada fatwa hukum mati kepada peminum kopi, hal itu sempat dilakukan oleh Sultan Murad IV melalui fatwa ulamanya. Hal ini disebabkan kritik-kritik yang ditujukan kepadanya dinilai sebagai penguasa tiran.
Pada starata sosial, kopi mampu mendikotomi setiap kalangan dalam masing-masing tongkrongannya. Ada para sufi, sastrawan, politikus, bangsawan, musisi dan terakhir ada perkumpulan anak muda yang mengaku pecandu kopi sambil nyasastra.
Di masyarakat Banjar, kopi dan warung kopi sangat melekat sekali dengan kebiasaan keseharian dan dinamika pemikiran yang tumbuh di masyarakat Banjar. Betapa tidak, topik obrolan ngopi bareng itu ngeri-ngeri sedap, bisa seputar teologi tentang sifat Allah yang 20, Nur Muhammad dan bisa juga hal-hal yg bersifat “Sufistik Wahdatul Wujud” atau yang lebih mencengangkan adalah seputar pembicaraan tentang salat yang tamat.
“Ba’apa sumbahyang, meluasi lubang burit haja, ikam tesambah kotak sagi ampat haja.”
Biasanya yang membicarakan hal semacam itu adalah mereka yang sudah tua usianya. Tidak seperti anak-anak muda, berkumpul minum kopi karena merawat rindu.
“Jika aku rindu maka aku ngopi.” Kata salah seorang pemuda yang sering terlibat dalam pagelaran pembacaan puisi dalam komunitasnya.
Terlepas dari segala perdebatannya oleh para ulama, konon meminum kopi sama halnya dengan membaca Surah Al-fatihah yang diniatkan untuk apa saja bila membacanya. Dalam sebuah kitab yang berjudul “Fawaidul Mukhtaroh” meminum kopi tergantung tujuan apa untuk diseduh, jika niat sebagai media penyembuh maka akan menjadi obat, jika untuk merawat rindu maka rindunya terselamatkan atau sebagai alat kejahatan, ingat kopi sianida?
“Alqahwa’ limaa thubikhot lahu…”