HARI sudah jatuh malam ketika aku tiba di Sanggar Seni Rupa Sholihin, Taman Budaya Banjarmasin, Selasa (4/12). Memasuki ruangan yang tak seberapa besar ini, mataku langsung disambut warna-warna cerah puluhan lukisan yang memenuhi seluruh ruangan kuning pastel.

Rizali Noor, satu nama pelukis—yang karyanya saat ini dipamerkan secara tunggal sebulan penuh (28 November – 28 Desember 2018), sudah cukup lama kukenal. Aku pernah mewawancarainya sebagai sosok pelukis Kalsel untuk koran tempatku bekerja saat itu, kalau tidak salah tahun 1999. Dan entah kenapa, aku ingat betul, tulisan wawancara itu kesannya justru lebih menonjolkan tentang dirinya yang masih membujang, sementara usianya sudah terlalu matang. Dia kelahiran Banjarmasin 1957.

Mengamati lukisan-lukisannya yang dipamerkan dan diberi title “Retrospeksi”, kita bisa melihat sebagian besar bergaya dekoratif (naïf). Media yang digunakan untuk menampung goresan kuas dan idenya tak terbatas hanya pada kanvas, tetapi juga kertas gambar, keramik, pengayuh, dan kulit kayu.

Jika diteliti titimasa lukisan-lukisan itu, maka akan kita temukan proses peralihan gaya dalam lukisan Rizal. Semula, di awal-awal kepelukisannya, Rizal banyak membuat gambar bergaya realis; seperti pada lukisan “Potret Diri” (1985), “Kawanku Putri Keraton” (1980)—yang dalam pameran ini memang tidak banyak ditampilkan.

Sejalan waktu, terlihat proses peralihannya ke bentuk dekoratif. Memang tidak secara drastis. Pada lukisan berjudul “Liza” (1988) masih terlihat bentuk realis, meskipun sudah mengarah ke dekoratif. Sayangnya memang, lukisan yang dipamerkan (sekitar 50 lukisan) hanyalah sedikit dari koleksi dari ratusan karya lukisan yang telah dibuat Rizal– sehingga, tidak terlalu terbaca proses perubahan gaya dalam lukisannya.

“Retrospeksi” yang bermakna kenangan kembali atau meninjau balik ke belakang, sudah selayaknya membuat para pengunjung atau penikmat seni bisa menengok atau melongok lebih jauh tentang Rizal, baik dirinya sebagai seorang seniman, maupun ke dalam karya-karyanya.

Tetapi sayangnya, dia tidak tak kutemukan di antara lukisan-lukisannya. Hanya ada Hajriansyah, Ahmad Noor, Ali Seven (Raudhatul Ali)—yang ketiganya juga adalah pelukis, dan kebetulan memang sedang berjaga di pameran. Jadilah aku (hanya) menggali sedikit tentang pelukis (Rizal) dan karyanya melalui ketiga pelukis itu.

Tak terlalu mengecewakan, karena Hajriansyah (bersama Aswin Noor) ternyata kurator pameran ini. Hajriansyah dan Aswin yang menentukan lukisan-lukisan yang dipamerkan. Menurut Hajri, lukisan yang dipilih untuk dipamerkan sudah mewakili proses perjalanan Rizal sebagai seorang pelukis kuat Kalimantan Selatan.

“Kami berupaya menghadirkan lukisan-lukisan Rizal dari awal kepelukisan seperti tahun 80-an saat masih kuliah di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ASRI di Yogyakarta, hingga tahun 2000an,” jelas Hajri.

Konsep display atau susunan lukisan yang dipamerkan pun diupayakan menggambarkan jejak perjalanan Rizal. Di dekat pintu masuk—dinding kanan, misalnya, dipajang lukisan-lukisan awal Rizal yang masih bergaya realis. Selain jenjang tahun, juga ada pengelompokan kesamaan bentuk (dan gaya), baik medianya maupun lukisannya.

Hajriansyah menilai, perubahan gaya lukisan Rizal kemungkinan dipengaruhi aktivitasnya sebagai pelatih lukis kepada anak-anak di Banjarmasin. “Karena itu pula, bentuk dekoratifnya terkesan naïf. Dan itu boleh jadi karena selama ini beliau banyak mengajari anak-anak melukis dan bergaul dengan dunia mereka (anak-anak),” ujarnya.

Sebagai seorang pelukis, lanjut Hajri, Rizal merupakan seniman seni rupa yang penting di Kalimantan Selatan. Beberapa karyanya dikoleksi pecinta seni luar Kalsel. “Rizal juga merupakan guru sejumlah pelukis di Banjarmasin. Dia banyak memberikan inspirasi dan dorongan bagi pelukis muda. Dedikasinya sangat luar biasa, lebih dari empat dekade dia berkarya dan tetap konsisten hingga saat ini,” cetus Hajri, yang pernah kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Untuk objek lukisannya, Rizal banyak menggarap kehidupan sosial budaya Banjar dan Dayak, bunga, dan kaligrafi—yang terakhir lebih dominan di fase kepelukisannya saat ini.

Malam mulai beranjak ke tengah— tulisann ini mesti kututup, dan bersiap pulang (ke Banjarbaru). Beberapa pengunjung datang. “Pameran ini bisa dikunjungi mulai pukul 10.00 – 22.00 Wita,” kata Fathurrahmi, Ketua Sanggar Seni Rupa Sholihin, yang baru saja tiba. Dan aku tetap harus pulang.@