TIBA-TIBA pengumuman Lomba Fotografi dalam rangka Perayaan Dies Natalis ke-67 Universitas Lambung Mangkurat (ULM) terbaca di beranda Facebook saya. Hadiahnya lumayan, hampir setara dengan tukin kelas saya. Masih tersisa sekitar sepuluh hari untuk ikut mendaftar. Langsung saya kontak persewaan kamera DSLR dekat bandara. Dengan modal tak sampai Rp 200 ribu, saya langsung hunting lokasi. Objeknya bangunan kampus di Banjarbaru. Karena terdesak serdos dan tukin yang lambat mengalir, saya coba mengikutinya. Kalau menang, hadiahnya lumayan buat membungkam suara 12 kucing saya plus kucing-kucing liar yang kadang numpang makan siang gratis. Meski terkesan tergesa-gesa, lomba ini layak untuk diikuti karena syarat dan ketentuannya terbaca sangat canggih.
Mumpung hari Minggu (14/9), pagi-pagi saya pacu sepeda menuju kampus ULM Banjarbaru. Ada tiga titik yang yang saya bayangkan mudah untuk mendapatkan gambar yang menarik, yaitu Fakultas Teknik, Fakultas Kehutanan, dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Namun, bayangan tak selalu selaras dengan kenyataan, seperti bualan yang sering meleset dari harapan. Di depan tiga titik harapan ini kamera yang bagus tidak menjamin menghasilkan foto yang mantap.
Sungguh tak mudah mendapatkan gedung ULM dengan kamera Fujifilm seri X. Kamera ini cukup andal untuk lomba dengan kriteria yang cukup sederhana. Namun, saya pakai lensa tele 50-230mm yang sulit buat ambil wajah lebar bangunan dari jarak dekat. Saya harus ambil jarak yang cukup jauh, sampai dekat dengan sarang nyamuk.
Selain lensa, kesemrawutan kabel di lingkungan kampus jadi tantangan berikutnya. Dalam lomba foto pada umumnya, kita dilarang memodifikasi foto. Menghilangkan kabel yang mengganggu foto tak boleh dilakukan. Fotografer harus memilih sudut pandang dan menimbang komposisi agar hal-hal yang mengganggu pemotretan bisa diatasi secara alamiah. Fotografer seperti halnya para akademisi. Mereka punya etika profesi yang harus dijunjung tinggi: kejujuran. Foto yang tidak jujur itu seperti artikel ilmiah bagus yang diklaim sebagai tulisan sendiri meski sebenarnya itu karya orang lain atau hasil perselingkuhan sempurna dengan mesin akal imitasi atau AI.
Selain kabel, wajah ketiga gedung itu sama-sama tidak photogenic. Seperti memancarkan banyak gulana di antara banyak retorika penuh gula. Gedung yang photogenic tentu hemat baterai dan kartu memori karena sekali jepret langsung kena di hati. Langsung jadi dan siap dikirim ke medan laga kompetisi. Gedung photogenic bukan karena arsitekturnya yang unik tapi juga karena dindingnya yang rutin dicat.
Meski mengharapkan menang, saya tak terlalu berlebihan mengharapkannya. Meskipun pasti juri bekerja dengan kaidah penilaian objektif, mereka adalah manusia yang juga punya selera yang tak mekanistis. Meski saya kalah, saya merasa ini pengalaman yang menyenangkan, berhasil menaklukkan ULM yang seperti itu-itu saja.
Jika ada lomba semacam ini lagi, saya mau pakai lensa yang memungkinkan dapat wajah gedung secara lengkap dari jarak dekat. Semoga saat itu gedung-gedung dicat baru menjelang perayaan dies-nya. Jika mungkin, kabel-kabel yang melintas di depan gedung, bisa dibelokkan ke belakang gedung-gedung. Semoga pula ada bangunan-bangunan baru yang ikonik yang bisa dijadikan titik kumpul civitas mengabarkan keunggulan kampus ini versi warga, bukan versi statistik yang abstrak.

Meski telat dua hari dari janjinya, pengumuman juara nongol di Facebook pada 23 September 2025. Dua foto yang saya kirim kalah tetapi saya kok bahagia? Ya, karena foto pemenangnya tak mampu menghindari kabel yang berusaha saya hindari dengan sekuat tenaga. Semua foto yang jadi juara adalah kampus di Banjarmasin.
Saya mengirim dua foto. Foto pertama tentang dua lelaki yang sedang lari dengan latar Gedung Pusat Olahraga milik FKIP ULM Banjarbaru. Foto ini diambil saat senja untuk mendapatkan cahaya yang lembut dan hangat dengan bingkai pohon dan daun yang gelap. Inilah bagian menyenangkan dari fotografi: seni menangkap momen yang tak mungkin diulang.
Foto kedua tentang seorang mahasiswi yang duduk di depan gedung Fakultas Kehutanan. Sengaja foto ini diambil dengan menonjolkan warna biru dan mengabu-abukan warna yang lain. Ini dilakukan karena betapa sulitnya menaklukkan wajah tuha kampus ini.
Catatan ini bukan untuk menggugat keputusan juri tapi cuma ingin berbagi pengalaman kepada publik soal betapa sulitnya mengabadikan kampus ini karena faktor-faktor internal dan eksternal yang telah disebutkan. Menggugat keputusan juri tentu tak ada gunanya karena nama juri lomba ini tak disebutkan secara transparan dalam leaflet lomba. Mungkin karena tergesa-gesa, nama juri itu lupa dicantumkan. Dalam pengumuman itu publik juga tak tahu lomba ini diikuti berapa peserta sehingga publik tahu seberapa ketat seleksinya. Dalam konteks seperti itulah kekalahan dua foto ini terasa membahagiakan.
Selamat dies natalis ke-67 kampusku. Semoga tahun depan Ente lebih fotogenik.
Banjarbaru, 23 September 2025