– Catatan ini disampaikan pada acara Diskusi “Membaca Karya-Karya Y.S. Agus Suseno di Kampung Buku Banjarmasin, Selasa (5 November 2024) malam.

KALIMANTAN Selatan (Kalsel) tak punya banyak penulis lakon (playwright), dan di antara yang sedikit itu, hampir tak ada yang secara konsisten menulis lakon monolog. Dalam kategori hampir itulah Y.S. Agus Suseno berada. Dari waktu ke waktu, untuk jeda yang mungkin terlalu lama, namun ada juga yang berdekatan, Agus Suseno menulis sejumlah naskah lakon. Hasil karyanya dapat dibaca dengan khidmat di buku kumpulan naskah monolog berjudul Sekelam Malam, Sehitam Batu Bara yang diambil dari judul salah satu naskah lakonnya. Buku ini berisi 5 naskah monolog dan diterbitkan oleh penerbit Scripta Cendikia pada Juli 2024, 2 bulan sebelum Agus Suseno wafat. Beruntung sebelum wafatnya, kumpulan naskah monolog yang merupakan warisan berharga itu sempat terkumpul dalam satu buku, tiada terserak, tiada berpotensi hilang kelak.

Lima naskah monolog dalam kumpulan ini berjudul 2000+25=S.O.S!, ditulis tahun 2000; “X” (Ibnu Hadjar) Dll, ditulis tahun 2007; Tukang Obat, ditulis tahun 2007; Sekelam Malam, Sehitam Batu Bara; dan Senja Kala di Sungai Martapura, ditulis tahun 2017. Ada kurun 17 tahun masa penulisan kelima naskah monolog ini, dan menurut Bayu Bastari, salah seorang penggiat teater di Banjarmasin, semua naskah sudah pernah dipentaskan yang berarti semua naskah telah ‘khatam’ sebagai lakon.

Membaca kumpulan ini, tak bisa saya melepaskan diri dari sang penulis. Ada alasan mengapa Agus Suseno lebih memilih menulis naskah monolog ketimbang naskah dengan dialog lebih dari satu pemain. Boleh jadi karena bermonolog, berbicara sendiri, mengomel sendiri, merutuk sendiri, merenung sendiri, atau berkontemplasi sendiri adalah juga karakter utama Agus Suseno. Ciri khas nya dengan narasi panjang lebar dengan gaya kritik yang satir seperti menemukan muara pada naskah-naskah monolognya. Dengan naskah-naskah itu, ia leluasa menjadi diri sendiri.

Semua naskah monolog pada kumpulan ini berisi kritik dengan penuh sindiran: satir. Sasaran sindirannya tak lain pada semua yang memiliki kuasa. Dua naskah monolog 2000+25=S.O.S! dan Sekelam Malam, Sehitam Batu Bara memusatkan perhatiannya untuk menyindir penghisap sumber daya alam, sementara Tukang Obat menyindir penuh tenaga para politisi serta birokrat, dan “X” (Ibnu Hadjar) dan Senja Kala di Sungai Martapura mengkritisi sudut pandang arusutama sejarah. Bahasa kritik yang digunakan di semua naskah tergolong lugas tanpa banyak basa basi, dan sindirian diberikan langsung menuju sasarannya. Semua kritik diungkapkan dengan terus terang.

Dewi Alfianti dan Irwan Aprialdy saat diskusi di Kampung Buku Banjarmasin, Selasa (5/11/2024) malam.

Agus Suseno menjadikan naskah-naskah monolognya sebagai corong untuk bersuara. Semua naskah menggunakan persepktif tokoh sebagai korban. Perspektif yang mampu memaksimalkan suara keluhan dna penderitaan, memaksimalkan perlawanan. Sebuah cara berekspresi yang substantif, terlepas dari apakah itu cukup artistik atau tidak. Seni dalam hal ini menjadi media untuk membahas realititas sosial tertentu. Berbeda dengan sejumlah karya sastra lain yang mengungkapkan kritik dengan halus, kontemplatif, dan samar, naskah-naskah ini begitu terang benderang dan ditulis dengan peruntukan yang jelas. Semacam senjata yang sudah memiliki target khusus.

Tapi orang-orang itu telah terlaknat! Mereka terkena sumpah dan kutukan nining datu kami… (hal.7); Tetapi pemerintah pusat berkhianat! Menggunting dalam lipatan, telunjuk lurus kelingking berkait! (hal.16); Sekjen, dirjen, menteri yang ingin selamat dan disayangi presiden, tidak dicopot walau bagaimanapun sengsaranya kondisi rakyat, bangsa dan negara, gunakan minyak timpakul. (hal.33); Kami mau melawan ketidakadilan, arogansi penguasa, dan ketidakpedulian pemimpin daerah kita terhadap rusaknya alam akibat penambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit! (hal. 39); Kecuali untuk komoditas politik, etika dan nilai-nilai agama rupanya sudah tidak laku. (hal. 50).

Meski lantang dan terkesan melawan, ada kontradiksi menarik yang dapat ditemukan beberapa naskah di kumpulan ini.

Dalam naskah 2000+25=S.O.S!, klimaks terjadi saat tokoh berseru tentang pembalasaan atas perbuatan pihak yang merusak hutan mereka. Tokoh tidak menyerukan dirinya sebagai pihak yang membalas, tapi Ning Diwata, Nining Datung, Tuhan dan kekuatan supranatural yang mengendalikan semesta.

Tapi orang-orang itu telah terlaknat! Mereka terkena sumpah dan kutukan nining datung kami. Jadi… Ya, jadi… Siapapun yang menindas kami, siapa pun yang secara langsung atau tidak langsung menyetujui, atau mendapat keuntungan atas kehancuran dan kesengsaraan kami, terkutuk sampai mati! (hal. 7).

Pun juga pada lakon Sekelam Malam, Sehitam batu Bara, Ka Amat yang diceritakan tokoh merupakan aktivis lingkungan yang berusaha melawan usaha penambangan batu bara menyebut mengenai peringatan Allah di dalam Al Quran mengenai kerusakan yang disebabkan oleh manusia.

…Kamu kira banjir dan kebakaran lahan dan hutan yang terjadi hampir setiap tahun itu terjadi dengan sendirinya, akibat musim hujan belaka? Bukan! Itu ulah manusia. Alquran sudah mengingatkan: kerusakan di muka bumi terjadi akibat ulah tangan manusia. Karena letaknya yang rendah, setiap tahun, hampir setiap musim hujan di beberapa daerah seperti di Barabi memang terjadi banjir sejak dahulu, tapi tidak selalu!… (hal. 39-40).

Keterhubungan manusia dengan penciptanya juga tergambar dalam lakon “X” (Ibnu Hadjar) saat tokoh menceritakan X yang selalu rajin beribadah, seakan-akan ingin mengaitkan kualitas karakter X sebagai seorang pejuang dengan religiusitasnya.

Kudengar, X dan kawan-kawan gerombolannya berpindah-pindah tempat persembunyian di sepanjang hunjuran Pegunungan Meratus, menghindari kejaran tentara Republik. Dia sangat taat beribadah dan mewajibkan semua anak buahnya salat. Bagi yang melanggar, hukumannya amat berat. (hal. 15-16).

Agus Suseno menyadari bahwa perlawanan yang dilakukannya melalui lakon-lakon yang ditulisnya akan membentur tembok. Ia tahu bahwa ia hanya bisa mengkritik dan menyindir seraya mengetahui bahwa tak akan ada hal yang benar-benar berubah. Ia sadar bahwa ia menggoyang sesuatu yang tak bergeser sedikit pun dari tempatnya berada. Oleh sebab ituah barangkali dalam tiap tuturan tokoh-tokohnya, ada terselip pemasrahan diri pada kekuatan yang lebih besar, kekuatan ilahiah. Demikianlah, Agus Suseno, dalam naskah-naskahnya selalu menyertakan Tuhan sebagai pihak yang akan mampu mengatasi kemustahilan-kemustahilan dari perjuangan. Ia melawan tapi ia juga menyertakan Tuhan untuk bisa menuntaskan perlawanan. Bahwa yang akan bisa membalikkan keadaan dan membalaskan rasa sakit orang-orang karena ketidakadilan yang mereka rasakan tak lain adalah Tuhan semata.@