Sebagai sebuah film (pendek), Tilik tak memerlukan plot dengan twist gila-gilaan, tak perlu adegan berdarah-darah dengan serakan kepala di sana sini, juga tak perlu romansa mendayu yang mengalirkan airmata dengan dada dipenuhi sesenggukan, tak juga memerlukan parade berbagai hantu untuk membuat penonton menjadi paranoid.

Untuk mencuri hati penonton Indonesia, Tilik hanya perlu menceritakan tingkah polah sekelompok emak-emak dari suatu desa rural urban, dan yup, semua penonton menyukainya. Terlepas dari latar genre film favorit para penonton sebelumnya, film Hollywood, Bollywood, drama Korea, film Indonesia, sinetron Indonesia, kita semua menyukai film ini. Titik.

Apa yang membuat kita menyukainya? Barangkali akting para pemain yang sangat natural, mereka berbicara (baca: menggosip) seolah-olah tak ada kamera yang menangkap aktivitas mereka. Mereka berbicara persis seperti acil-acil di lingkungan rumah kita membincangkan satu topik gosip tertentu: tensi yang turun naik, ketegangan yang semakin intensif, dan imajinasi yang makin ke sini makin liar.

Kita terpukau mengetahui bahwa emak-emak itu adalah kekuatan tersembunyi dari kerumunan (the power of specific crowd). Saat bersama berbicara, mereka bisa mengembangkan suatu skenario cerita yang dramatis, mereka bahkan bisa menghentikan sebuah proses hukum. Adegan emak-emak mengalahkan tilang polisi itu cukup epik. Sesuatu yang bisa kita duga mampu dilakukan para ibu itu.

Konstruk tentang ibu-ibu yang berkumpul lalu menguasai dunia, berbuat semua yang mereka inginkan tanpa memedulikan konsekuensinya telah menguasai pikiran kita. Secara sadar atau tidak, kita  mengamini itu, bahkan menyukai representasinya di musim pemilu dulu atau dalam meme kocak yang menggambarkan ketidakberdayaan kita menghadapi tingkah polah ibu-ibu itu. Lampu sen kanan belok ke kiri, menjemur kasur di jalan raya, mengendarai motor tanpa helm. Mereka berada di luar hukum, tak tersentuh. Setara terdakwa kasus korupsi ratusan trilyun yang bisa lari keluar negeri dengan santainya.

Maka, berhadapan dengan emak-emak di film Tilik ini kita seperti merayakan pengakuan kita atas kejayaan ibu-ibu tersebut. Kita secara besar hati mengakuinya, entah kita suka atau tidak, kekalahan kita atas superoritas mereka. Lebih mengenaskan lagi, kita menyukainya.

Film ini mengajak kita mempertimbangkan kumpulan ibu-ibu sebagai kekuatan sosial. Sesuatu yang kita tahu namun enggan kita akui. Karena dengan mengakui hal tersebut, kita merasa ada sesuatu yang keliru dalam logika berpikir kita yang konvensional. Kerumunan ibu-ibu semestinya bukanlah kekuatan yang bisa menggerakkan, mereka bukan kelompok yang lazim memiliki kekuatan untuk menguasai. Mereka bukan kelompok intelektual, bukan kelompok bersenjata, bukan kelompok politisi, bukan kelompok konglomerat. Fakta ini sekaligus menggelisahkan, apa yang mungkin bisa terjadi jika kelompok ibu-ibu ini benar-benar bisa mengambil alih tampuk kekuasaan. Hal yang sebaiknya tak dipikirkan.

Hal menarik lain yang mungkin membuat kita menyukai film ini adalah ending yang tidak menasihati. Sepanjang film kita mungkin berharap Bu Tejo akan mendapatkan ganjaran karena telah begitu jahat memburuk-burukkan Dian yang malang. Namun kita dikejutkan bahwa Bu Tejo justru menjadi penghibur bagi hati Yu Ning dan ibu-ibu lain yang kecewa karena tidak bisa membesuk Bu Lurah. Ia bahkan berinisiatif mengajak mereka jalan-jalan ke pasar. Quote-nya, “Sing dadi wong kudu solutip” itu bahkan menjadi quote of the year. Bu Tejo yang awalnya antagonis mendadak sebijak Master Shifu. Gosip-gosipnya bahkan mendapat pembenaran saat penonton berasumsi ketika melihat Dian memasuki mobil yang di dalamnya ada seorang pria tua, bahwa Dian memang perempuan ‘tidak baik-baik’ karena menjadi istri (muda?) dari (mantan?) suami Bu Lurah.

Mengapa ending-nya justru agak antimainstream? Barangkali itu sebuah refleksi, bahwa jarang sekali sebuah kejahatan benar-benar mendapatkan balasan setimpal. Itu sebabnya Allah menyatakan bahwa pembalasan sempurna hanya ada di Hari Pembalasan. Penonton agak kecewa, alih-alih terbukti hoaks, prasangka-prasangka itu justru seperti mendapat pembenaran. Menurut saya, di situ menariknya film ini. Penonton hanya disuguhkan sedikit adegan, Dian masuk ke dalam mobil, di dalam ada seorang lelaki berumur, percakapan terjadi. Penonton lantas menyimpulkan bahwa Dian memang bukan perempuan baik-baik.

Lantas, apa bedanya kita sebagai penonton dengan Bu Tejo? Dengan sedikit fakta dan lebih banyak asumsi, kita lalu membangun simpulan. Apakah kita benar-benar tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada Dian? Kita hanya melihat sepotong kecil adegan dan kita sudah menyimpulkan sendiri. Ending cerita film ini telah menjelmakan Bu Tejo dalam diri kita.

Begitulah, film ini menghadirkan sesuatu yang terasa akrab dengan kita. Tilik merefleksikan karakter orang-orang di sekitar kita, bahkan boleh jadi tokoh di dalam film itu sebenarnya adalah diri kita sendiri, dan saat menonton film tersebut kita sebenarnya sedang menertawakan diri kita sendiri. Barangkali jika ingin jujur, inilah hal utama yang membuat kita menyukai film ini.

Bu Tejo misalnya, seberapa mirip ia dengan seseorang yang ada dalam keseharian kita? Atau seberapa mirip sebenarnya ia dengan diri kita sendiri? Jika jujur mengakui, seberapa sering kita mendengar suatu informasi lalu mengembangkan informasi itu secara imajinatif menuruti keinginan hati untuk berburuk sangka (barangkali karena kita tidak berkenan terhadap tokoh yang berada dalam informasi tersebut)? Kita membuat skenario terburuk atas diri seseorang atau atas satu kejadian, dan celakanya kita lantas mempercayai itu sebagai sebuah kebenaran. Dan tak berhenti sampai di situ, kita menginformasikan kebenaran yang sudah kita rekayasa itu kepada orang lain, kepada khalayak ramai. Di situlah awal mula kita menjadi produsen hoaks.

Kita akan menolak tegas telah menjadi orang semacam itu. Orang lain mungkin melakukannya, tapi kita tidak. Tapi kemudian, kita bisa saja menjadi Yu Sam atau Yu Yu yang lain di film itu. Kita tidak pernah menggunakan imajinasi kita untuk menjadikan berita sederhana menjadi kompleks atau menjadikan berita samar-samar menjadi kebenaran yang seolah-olah sahih, namun persis sama dengan tingkah polah sebagian ibu-ibu itu, ketika ada berita-berita tidak jelas, belum terverifikasi, dan cenderung keliru, kita justru turut membantu menyebarkannya.

Lalu kita berkelit, masa iya sih kita begitu? Tidak percaya? Evaluasi saja kebiasaan bermedia sosial kita. Jika kita tipe yang membaca informasi lalu menambahkan asumsi atas berita itu, di mana semakin hari asumsi kita semakin tak terkendali, dan kita membagikan kembali berita itu disertai asumsi liar kita itu, maka ya kita adalah Bu Tejo and friend.

Itu sebabnya kita merasa Bu Tejo lucu. Karena ia menampilkan perilaku yang familiar dalam kehidupan kita sehari-hari, mungkin itu kita, atau orang-orang yang kita kenal. Ketika Bu Tejo tidak suka dengan suatu subyek, Dian yang malang, dalam hal ini, maka Bu Tejo akan mengerahkan seluruh daya upayanya untuk membunuh karakter subyek tersebut. Tidak ada lagi yang namanya obyektivitas atau upaya bersikap adil. Terdengar familiar, bukan begitu?

Pada akhirnya, apapun jenis film yang kita sukai, film yang paling bisa menyentuh hati kita tak lain adalah film-film yang merefleksikan diri kita sendiri. Film-film yang membuat kita bercermin kembali, memaknai diri sendiri melalui karakter dan cerita di dalamnya. Tentunya kita akan menolak jargon ‘Bu Tejo adalah kita’ karena dengan demikian kita mengakui bahwa lisan dan pikiran kita seburuk itu, namun yang jelas sedikit banyak, ada bagian-bagian dari diri Bu Tejo dkk yang ‘sangat kita’. Well, mari kita mengakuinya, dan memperbaikinya tentu saja. Biar bagaimanapun, atas permasalahan karakter ini, kita harus bersikap solutif, ya tak?

Wallahua’lam.@