14 Februari 2021 buku iLaLang Perempuan telah diluncurkan secara daring lewat media zoom. Lima puluh tujuh puisi yang ditulis oleh Septi AS. Abdullah (SASA) adalah spektrum rindu dengan keberbagaiannya; rindu masa lalu, rindu kepada sang pemilik hidup, rindu sebagai bagian dari mekanisme biologis raga, rindu hakiki dari entitas turun-temurun yang karunia oleh Tuhan sebagai takdir rasa, dan cawan yang akhirnya digamit oleh SASA sebagai kemukus hidup yang tak pelak.
Pada peluncuran yang menghadirkan dua pembicara yaitu Abdul Mukhid (Malang) dan Hajriansyah (Banjarmasin) lebih memantikkan diskusi santai tersebut kepada proses bagaimana buku kumpulan puisi iLaLang Perempuan tersebut lahir.
Pertanyaan menarik dari peserta diskusi Suhari (Banjarbaru) yang meriuhkan suasana zoom adalah Mengapa harus ada embel-embel ‘perempuan’, sementara ilalang seperti yang dimafhumkaprahkan tidak berjenis kelamin.
Pertanyaan tersebut langsung dijawab oleh Yose S. Beal (Malang) selaku promotor buku iLaLang Perempuan dengan menjelaskan taksonomi tumbuhan. Ada ilmu yang mengelompokkan, mempelajari tanaman yang dikenal sebagai taksonomi. Berdasarkan ordo, spesies dan seterusnya maka tumbuhan memang bisa dibedakan apakah tumbuhan itu perempuan atau laki-laki. Hal ini berkaitan dengan reproduksi tanaman, untuk tanaman ilalang sendiri termasuk golongan hermaprodit karena ilalang itu perempuan sekaligus laki-laki. Lalu dalam kepenulisan dalam hal ini puisi yang termasuk fiksi “iLaLang Perempuan” adalah bagian dari imajinasi, sesuatu yang langka jika ditemukan di dunia kasat mata. Maka dengan asas kehendak yang memerdekakan kata untuk menyatupadankan dalam konteks puisi akhirnya hal ini menjadi boleh, tidak ada hukum larangan. Pertanyaan yang senada tersebut juga dikemukakan Sam Mukhtar Chaniago (Jakarta) yang memulangkan segala tanya kepada peserta dan anggukan sepihak dari narasumber diskusi.
Nailiya Nikmah (Banjarmasin) menyebut buku iLaLang Perempuan adalah terapi hati, pada beberapa bagian ia begitu lugu, lugas, sekaligus jujur. Pembaca diajak SASA serupa berdialog dengan diri sendiri dalam suasana privat. Ada ruang yang dibangunnya dengan kesahajaan bahwa kita tidak harus berpayah-payah menyenangkan semua orang, tidak harus berpura-pura menjadi orang lain.
Promotor buku ILALANG PEREMPUAN yang terus mendorong SASA untuk melahirkan karya perdana selalu membisikkan ke telinga penulisnya bahwa puisi itu bukan soal benar atau salah.
Puisi bisa saja tunduk terhadap pendoman-pedoman yang berlaku dan berterima secara umum tetapi puisi juga bebas tak mau diikat oleh apapun. Keindahan dari puisi akan diresepsi secara subjektif dari penafsiran masing-masing pembaca. Dengan demikan kaidah rasa, juga akan ditangkap dari kesepakatan keindahan yang juga akan berbeda-beda, tak terbatas.
Di lain hal, Abdul Mukhid selaku kurator buku iLaLang Perempuan terkejut ketika melihat fisik buku dengan tata letak yang tak lazim, di mana testimoni dari tujuh belas orang mengisi setiap 3-5 halaman puisi. Masing-masing testimoni tersebut berada di halaman kanan. Sungguh sangat berani.
Mengutip Karnaval Rasa Hati di Jalan Puisi yang disematkan oleh Prof. Djoko Saryono kepada SASA dengan menyebut buku iLaLang Perempuan adalah sebenar-benarnya pengejawantahan pengertian puisi paling klasik yaitu ungkapan perasaan hati dan isi hati manusia. Sebagaimana karnaval maka SASA menyuguhkan keterhanyutan rasa sebagai parade terhadap momen-momen puitis yang tentu jauh dari suasana menghentak-hentak pembaca, jauh dari suasana pamflet.
Pertanyaan lanjut yang bergelantungan di kepala saat puisi disuguhkan adalah bagaimana jika puisi terbaca sangat terang. Pembaca tak perlu repot menerka ada tidaknya sesuatu yang disembunyikan. Apakah puisi demikian termasuk bagian dari kekunoan, makna puisi yang diterjemahkan oleh manusia-manusia sebelumnya?
Menggamit judul yang tentu telah melalui prosesi matang dari sebuah kelahiran ada sebuah pertanyaan lain yang muncul. Mengapa judulnya bukan iLaLang Rindu? Sebab rindulah yang menjadi sentral puisi dan rindu juga sangat klop dengan ilalang, di mana rindu tidak berjenis kelamin, bukan?
Bagi moderator acara diskusi Dewi Alfianti (Banjarmasin) rindu adalah keluh kesah segala puisi. Rindu yang kadang hinggap tak teramat, menambat kata pada puisi. Mengharap puisi sudi menanggung derita yang dihujamkan puisi pada rongga jiwanya, dan puisi-puisi di buku SASA adalah rindu. Peserta diskusi ruang temu di sesi zoom tersebut tidak hanya dari pencinta puisi, penyair dari Indonesia saja tetapi hadir pula Tuan Harlym Yeo dari negeri jiran Malaysia yang menyempatkan diri membaca sebuah puisinya sebagai kado untuk kehidupan lebih baik di tahun kerbau logam (kalender cina).
Di penghujung diskusi, Hajriansyah mengalungkan harapan agar SASA yang telah menjejakkan langkah awal di dunia kepenyairan agar terus melangkah dengan terus menciptakan karya-karya yang bernas dan mumpuni. Semoga awal baik ini menjadi pembuka SASA untuk terus meneroka!