Suatu sore yang cerah, saya duduk dengan seorang teman di kedai kopi yang tidak terkenal sama sekali. Setelah nyoblos siang 17 April itu, ia pun bertanya dengan pertanyaan yang klise sekali. Hari ini, kamu pilih siapa? Saya bilang, memilih untuk tidak memilih itu juga pilihan. Dia mangut saja. Sembari membeberkan betapa di belakang calon presiden A adalah orang-orang yang hebat. Sudah semestinyalah dia menang. Karena si A tidak punya masalah, bru! Berbeda dengan si yang masih punya dosa masa lalu yang tak terlupakan. Saya iya-iya dan menghirup kopi yang baru ia suguhkan.
Suatu malam yang terang, saya duduk lagi dengan seorang teman di kedai kopi yang agak terkenal sedikit di kota ini. Selain membicarakan jumlah penghitungan suara caleg pilihannya, ia juga sangat meyakinkan calon presiden B pasti menang di daerah. Tersebab, religiusitas di daerah ini kental sekali, sudah sepatutnyalah dia menang. Saya manggut lagi, menghirup kopi susu yang baru disuguhkan.
Ketika malam tiba, saya memejamkan mata dan berharap, semoga setelah kabar resmi dari KPU semua pertikaian dan prediksi ala-ala warung kopi itu berakhir.
Suatu pagi yang dingin, kemarin. Saya membuka timeline media sosial, betapa sumpah serapah, klaim, judgement netizen, ayat demi ayat, screenshot-screenshot headline berita online bertebaran lagi, membasahi pipi media kita di Indonesia. Ternyata saya salah, perselisihan ini tak pernah berakhir, dan tampaknya tak akan pernah berakhir. Malahan, ini seperti baru permulaan.
Kami mencintai teman-teman kami. Saya menyayangi mereka tanpa ada maksud menyayangkan. Saya berada dalam kooridor A yang didominasi rekan-rekan kerja. Kawan-kawan perintis usaha dan seniman-seniman yang bekerja. Saya berada pada kooridor B yang didominasi teman-teman di pesantren, rekan satu angkatan saat kuliah, dan kawan-kawan tongkrongan di beberapa komunitas hobi.
Ketika saya berniat untuk menjelaskan bahwa, mungkin, hak suara yang saya pakai dan terhitung di KPU hanya DPRD di Kota saya tinggal faktor proximity, seperti sia-sia. Karena tentu saja, sisanya masuk di sekian persen yang tidak sah karena saya coblos banyak sekali sebagai bentuk pengamalan prasangka baik terhadap mereka-mereja yang mencalonkan diri. Mereka orang-orang terbaik dan orang-orang terpilih. Meski penjelasan di atas tidak akan berguna bagi para netizen yang cerdas-cerdas itu.
We love him, we love her! mereka-mereka yang bergelut dalam payung hukum KPU. Teman-teman masa kecil saya yang sekarang jadi komisioner di daerah mau pun di provinsi. Teman-teman saya yang menjadi anggota di pusat. Rekan bahkan keluarga yang ada di bagian Bawaslunya. Kawan-kawan yang meluangkan waktu dengan nilai yang tak seberapa sebagai anggota KPPS. Ini kerja yang luar biasa. Akhirnya, saya cuma bisa menulis status di fesbuk: Apa pun yang terjadi hari ini, terima saja. Mari kita sama-sama mencontoh TKN dan BPN pasca ditetapkan hasil resmi. Berpelukaaaaan!@