MENGINGAT JEE
kumasuki doa-doa, ketika tahun menemukan bagian lain dari diriku
mengupasnya satu demi satu. musim masih hijau, seperti minggu
ketika kau pergi melenggang dengan puisi-puisi penuh hujan
kupanggul malam yang sendiri, kubaca kembali kesunyian kini
antara tahun mengupasku hingga tersisa ilusi
kepulangan hanya alamat tak pasti
dengan kalimat-kalimat berduri
menikam bagian lain dari diriku, menyisa ingatan palsu
ketika cinta melenggang dengan menggenggam puisi-puisi
penuh hujan, dan tak ada lagi seseorang genapkan tanya
“mengapa kembali jika diri masih senyap
dikekang fantasi dan igauan malam hari?”
gubeng, desember 2022
KUNTI DALAM PUISI INI
kau bilang aku puisi, tapi lihatlah bayanganku malam ini
masih setia gentayangan bersama kata-kata, ngembara ke luar jendela
enggan berkaca bermuka-muka dengan apa yang disebut asmara
kau bilang aku Kunti, padahal hanya arwah gabut yang sesat jalan
dan tak kunjung bertemu juru kunci ke alam surgawi, enggan pulang
ke rumah sendiri, sebab bakal ditanya kapan ngelonte lagi
senyumku masih senakal dulu, ketika kau bilang aku puisi paling seksi
yang kebahenolannya mengalahkan pedangdut dengan marga Daratista
(kudengar ia juga mengendors produk Mie Burung Dara,
ah, apa hubungannya dengan cinta, antara bayang kita acap mendua
bermuka-muka dengan dunia yang dihujani metafora tak ada jeda)
gubeng, desember 2022
BUNGA-BUNGA TRAUMA
di batas kesedihannya, ibu menulis bunga-bunga trauma
cerita yang lama dikuburnya jauh di pemakaman dada
berhimpun pula bayang lelaki dari masa silamnya
yang dijemput pergi ke jalan-jalan tak bernama
di ambang perkabungannya, ibu tetap hidup
dalam aroma bunga-bunga trauma menghuni jiwa
tak bisa ia lari dari peluk ingatan masa silamnya
membelukar dengan cerita-cerita penuh tragika
kerapkali juga digumamkannya tanya
“oi, lelakiku, kemana gerangan dibawa
kemana duka-citaku bakal bermuara
jika bayang-bayangmu tak lagi mengada
genap menjelma lautan dukacita?”
gubeng, desember 2022