Belakangan ini ramai perbincangan mengenai lagu Banjar hingga musik Banjar itu sendiri. Pembahasan kemudian juga meruncing pada pemahaman bahwa Musik dan lagu itu berbeda atau terpisahkan. Seakan-akan bahwa jika musik maka bukan lagu, jika lagu maka bukan musik.

Anggapan-anggapan tersebut sayangnya tidak dimunculkan dengan data-data otentik yang ilmiah atau barangkali sedikit ilmiah dengan bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Pendapat-pendapat yang muncul hanya berdasarkan pada subjektivitas tanpa melihat pada perspektif keilmuan dari musik itu sendiri.

Pada perdebatan-perdebatan yang muncul di laman media sosial akhirnya melahirkan kebiasan-kebiasan tentang musik dan lagu. Padahal, ada banyak pandangan para ahli musik yang kredibel perihal musik dan lagu itu sendiri.

Pada tulisan kali ini saya mencoba untuk menalarkan dan menjabarkan kutipan-kutipan ilmiah yang membahas tentang musik dan lagu. Tujuannya tentu saja agar pendapat-pendapat yang lanjur tersebar tersebut bisa dilihat keabsahannya. Pada sisi lain tentu saja bahwa saya sebagai ilmuwan musik punya tanggung jawab memberikan jawaban yang bernas terhadap sebuah pandangan yang masih bias ini.

Saya akan menggunakan perspektif para ahli musik yang banyak memberikan penjelasan-penjelasan perihal musik dan lagu. Para ahli musik ini merupakan orang-orang yang berangkat dari perspektif musik klasik. Musik klasik telah lebih dulu menjadi etik, menginisiasi peristilahan-peristilahan yang muncul dalam keilmuan musik dunia (musik klasik). Kita harus menyadari bahwa kemapanan musik klasik itu adalah karena adanya kesepakatan yang digunakan bersama dalam ruang musik tersebut, baik secara teknik bermain, peristilahan yang meliputi permainan, hingga pada instrumen-instrumen yang digunakan.

Menurut Jamalus dalam buku Pengajaran Musik Melalui Pengalaman Musik (1988:1), musik adalah suatu hasil karya seni bunyi dalam bentuk lagu atau komposisi musik, yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya melalui unsur-unsur musik, yaitu irama, melodi, harmoni, bentuk dan struktur lagu serta ekspresi sebagai satu kesatuan.

Senada dengan Jamalus, Soeharto. M dalam buku “Kamus Musik”(1992:86) menjelaskan, bahwa; “Pengertian musik adalah pengungkapan melalui gagasan melalui bunyi, yang unsur dasarnya berupa melodi, irama, dan harmoni dengan unsur pendukung berupa gagasan, sifat dan warna bunyi.”

Kemudian Banoe dalam Kamus Musik (2003) menjelaskan; musik adalah cabang seni yang membahas dan menetapkan berbagai suara ke dalam pola-pola yang dapat dimengerti dan dipahami manusia (Banoe, 2003:288).

Al Farabi dalam Kitabu al-Musiqa to al-Kabir menjelaskan tentang kekuatan musik menunjukkan kedalaman pemahamannya tentang musik. Ia menyatakan bahwa suara binatang mengekspresikan emosi mereka, baik dalam kegembiraan maupun kesedihan. Sedangkan suara manusia mengungkapkan perasaan yang lebih beragam. Dengan suara yang mengekspresikan keberagaman itulah membuat orang lain merasa kasihan maupun simpati.

Tak heran jika kemudian Al Farabi mampu membuat orang tertawa, menangis, atau tertidur ketika ia memainkan musik. Ia pun ditengarai sebagai penemu alat musik rebab dan qanun. Salah satu karya fenomenal tentang teori musik dalam Islam  ini, ia memperkenalkan berbagai sistem pitch. Pengaruh karya Al Farabi berlangsung hingga abad keenam belas. Terjemahan kitab ini dalam bahasa Latin diberi judul “De Scientiis dan De Ortu Scientiarum”.

Dari kutipan-kutipan di atas, kita bisa melihat bahwa musik merupakan sebuah bentuk cabang seni yang menjelaskan atau mempertunjukan berbagai macam suara dalam pola-pola tertentu yang dapat dipahami oleh manusia. Musik selalu memiliki bentuk bunyi yang terkomposisi dengan unsur pokoknya, yaitu irama, melodi, harmoni serta bentuk atau susunan lagu sebagai satu kesatuan dengan perasaan tertentu.

Dalam pandangan Al Farabi juga kita bisa membaca bahwa instrumen musik pada hakikatnya adalah alat bantu untuk mengiringi suara hingga kemudian berkembang, mampu berdiri sendiri menjadi satu kesatuan musik. Instrumen-instrumen itu kenyataannya merupakan hasil dari tinggi rendahnya suara manusia. Suara manusia inilah kemudian yang melahirkan nada-nada dengan teks yang kemudian sering disebut dengan lagu.

Jika kita melihat dari pandangan-pandangan tersebut, maka posisi lagu adalah bagian dari musik itu sendiri.

Lagu adalah salah satu unsur pembentuk dari sebuah bentuk komposisi musik. lagu cenderung lebih pada pembentukan teks menjadi berirama, bernada, dan dengan capaian ekspresi tertentu. Mengapa saya katakana ekspresi tertentu, karena pada banyak musik dunia, lagu menjadi salah satu bentuk yang menggambarkan ekspresi budaya tertentu.

Menurut Kathleen Kuiper (Senior Editor, Arts & Culture, Encyclopædia Britannica); “Lagu, karya musik yang dibawakan dengan satu suara, dengan atau tanpa alat musik pengiring. Bekerja untuk beberapa suara disebut duet, trio, dan sebagainya; ansambel yang lebih besar menyanyikan musik paduan suara. Pidato dan musik telah digabungkan sejak zaman dahulu; musik mempertinggi efek dari kata-kata, memungkinkannya ditampilkan dengan proyeksi dan hasrat yang sulit dicapai hanya dalam ucapan. Gaya bernyanyi berbeda baik di dalam maupun di antara budaya, sering kali mencerminkan variabel seperti cita-cita interaksi sosial, persepsi dunia roh, dan sejauh mana masyarakat menggunakan tulisan sebagai alat komunikasi utama. Beberapa budaya menghargai kualitas vokal yang santai dan alami, dengan lirik yang diartikulasikan secara longgar, sementara budaya lainnya mengolah suara yang sangat terlatih dan tegang, dengan kata-kata yang diucapkan dengan tepat.” (Diterjemahkan dan dikutip dari Song; vocal Music. www.britannica.com/art/song).

Lagu pada kenyataanya akan lebih berorientasi pada ekspresi budaya tertentu karena dapat dilihat dari teks-nya, baik bahasa yang digunakan, cerita yang dibangun, hingga pembentukan prasa-prasanya.

Sumasno Hadi dalam buku Sejarah Musik (2015) memaparkan bahwa “Manusia sejak zaman purba telah menggunakan suaranya untuk mengungkapkan perasaan atau ekspresi-ekspresi yang sifatnya spontan.  Ungkapan itu bisa berisi kemarahan, gembira, takut, dan sebagainya. Ekspresi spritual berupa ketakjuban pada hal-hal gaib juga diekspresikan melalui lagu-lagu. Dengan demikian, diketahui bahwa musik zaman purba memiliki karateristik sebagai sarana pendukung kehidupan mereka.” (Hadi, 2015:17).

Pada penjelasan tersebut kita bisa melihat bahwa nyanyian-nyanyian purba yang menggunakan media suara dalam menyampaikan berbagai ekspresi merupakan musik. Lalu bagaimana bisa kemudian musik dan lagu itu terpisah atau ingin dipisahkan seperti dua hal yang berbeda?

Lagu merupakan salah satu unsur pembentuk dari musik. Sedangkan lagu memerlukan unsur-unsur musik lainnya seperti nada, irama, harmoni. Kedangkalan dalam memaknai perbadaan antara musik dan lagu hanya sebatas pada bahwa musik itu adalah iringan dan lagu adalah gubahan seni suara, karena tidak menyadari bahwa mulut manusia yang mengeluarkan suara itu juga merupakan instrumen musik, bahkan yang paling tua di muka bumi ini.

Keragaman bentuk suara, bentuk penyajian suara dan penyampaian teks yang berirama telah ada sejak dulu yang dikenal dengan musik itu sendiri. Kemudian para ahli tersebut menyebutnya dengan bentuk atau struktur lagu yang memiliki teks.

Kathleen Kuiper  juga menjelaskan bahwa “dalam musik Barat, lagu daerah biasanya dibedakan dengan lagu kesenian. Lagu-lagu rakyat biasanya dinyanyikan tanpa pengiring atau dengan iringan yang disediakan oleh satu instrumen — misalnya, gitar atau dulcimer. Mereka biasanya dipelajari dengan telinga dan jarang ditulis; karenanya, mereka rentan terhadap perubahan nada dan kata-kata dari generasi ke generasi melalui transmisi lisan. Penggubah sebagian besar lagu daerah tidak diketahui.” (Diterjemahkan dan dikutip dari Song; vocal Music. www.britannica.com/art/song).

Pemahaman bahwa musik tidak memiliki teks (lirik) juga adalah bentuk ambiguitas, sekali lagi karena lagu merupakan salah satu unsur musik. Artinya, bahwa musik itu sebenarnya ada yang menggunakan teks sebagai lirik dan ada yang tidak menggunakan teks. Kerancuan dalam memahami posisi musik dan posisi lagu dalam musik menyebabkan adanya upaya membedakan tersebut.

Berdasarkan dari pendapat para ahli musik tersebut bisa disimpulkan, bahwa musik dan lagu merupakan satu kesatuan. Pada tataran teknis musik maka lagu merupakan bagian dari unsur musik itu sendiri. Jika musik bisa kita analogikan sebagai sebuah rumah, maka lagu adalah salah satu ruangan (kamar) yang ada dalam rumah tersebut. Musik bisa saja tanpa teks lirik dan tentu saja juga bisa menggunakan lirik.

Penggunaan instilah lagu pada masyarakat umum lebih merujuk pada nyanyian-nyanyian atau musik yang memiliki teks (lirik) dengan memiliki iringan dari instrumen-instrumen bernada dan instrument perkusi.

Jika kita menyadari bahwa musik adalah ilmu pengetahuan, maka acuan-acuan pendapat dalam konteks musik dan lagu harus mengacu pada teori-teori musik yang sudah mapan atau pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dasar pandangannya. Pendapat subjektif yang belum mendapatkan pengakuan ilmiah hanya menjadi sebuah hipotesa yang tidak memiliki bobot keilmuan (musik), yang pada akhirnya bisa saja menjadi anggapan yang tidak benar.@

Banjarbaru, 9 Agustus 2020