Hidup ini sangatlah luas, demikian kata seorang yang bijak.

Keluasan hidup tak mampu diukur oleh manusia sepandai apapun. Misteri hidup tak mampu dikuak oleh manusia sesoleh apapun. Apalagi hanya bermodalkan pengetahuan linier referensi buku-buku. Apalagi hanya “diprotagonisi” oleh upaya-upaya mereka yang mentang-mentang bergelar lulusan akademisi. Dan apalagi bila yang memandang hidup adalah orang yang baru diputus pacar yang paling disayang-sayang. Maka hidup akan menertawakan manusia yang menyangka ia sudah mengenalnya, justru saat si manusia berada di ujung “genggaman jari kelingking” asing kehidupan.

Kecuali bagi manusia-manusia yang memang diberi otoritas kemampuan oleh Tuhan dalam “mengintip” misteri hidup. Apapun latar belakang pendidikannya. Model wataknya. Cassing tongkrongannya. Genekologi etnisnya. Dan seterusnya.

Keluasan hidup, mengajarkan kita tentang keniscayaan dialektika, bahwa hidup itu walaupun mempersembahkan hamparan kamar-kamar, namun kehidupan masing-masing dari kamar-kamar tersebut masihlah saling bertautan.

Menyimak puisi-puisi HE Benyamine dalam buku kumpulan puisinya berjudul “Hutan Segala Rindu,” yang baru diluncurkan beberapa waktu lalu di Kampung Buku, Banjarmasin, sangatlah arif bila tetap dicara-pandangi dengan kerangka: kehidupan dari masing-masing kamar tersebut masihlah saling bertautan.

Diperlukan “sugesti”: masing-masing kamar masihlah saling bertautan. Tentu, karena mencuat gugatan bahwa kumpulan sajak-sajak penyair yang tinggal di Kota “Jogjanya” Kalsel : Kota Banjarbaru, yang cepat populer dan cukup berpengaruh terutama di kalangan sastrawan muda itu, dalam sidang bedah buku, divonis selaku “terdakwa” pelaku penulisan sajak atau puisi yang menyimpang. Cara penulisan tak sesuai mainstream. “Nganeh-nganehi”. Babisa-bisa. Dan seterusnya.

Itu vonis. Klaim. Dan sah-sah saja. Boleh-boleh saja. Sebagaimana “syeikh Jangkung” HE Benyamine berkilah, “Puisi itu napas”. Saat diinterogasi “sang Jaksa” Hudan Noor, “Menurut Anda, apa sih puisi itu?”.

Sang jaksa berharap, persis audien pun berharap, si jangkung tak mampu menjawab. Namun seperti dugaan audien jua jaksa, seperti yang sudah sudah, si jangkung pun manpu menjawab dengan mudah. “Semudah kita menulis puisi,” demikian klaim salah satu novelis Banua yang kalem, dan tak ketinggalan salatnya.

“Dari sekian karya sastra, baik itu novel, cerpen, skenario, syair, maupun puisi, yang relatif gampang dibikin ya puisi,” tutur sang novelis lebih lanjut. “Dan puisi adalah karya sastra yang relatif sukar untuk diparameterkan,” saya menimpali.

Jadi, apakah kelahiran sajak harus dipersyarati musti punya watak selaku “juhriyat” sajak mainstream? Apakah sajak mainstream itu memang dijatuhkan Tuhan dari langit, tiba di bumi sudah berbentuk sajak mainstream? Ataukah sajak mainstream adalah sajak yang berevolusi terus menerus tanpa pernah berhenti? Ataukah mainstream itu ternyata hanyalah halte, berhenti sejenak, untuk kemudian lanjut berjalan, akan lanjut berubah ke mainstream baru?

Menyimak puisi-puisi Benyamine, memang memberikan pilihan baru. Warna baru. Gaya baru.

Diksi yang terhampar adalah diksi keseharian. Ben, demikian ia dipanggil, tak butuh susah-susah cari diksi yang unik-unik, syukur-syukur “spesies purba” di “hutan” kamus. Ia hamparkan begitu saja diksi-diksi keseharian itu. Begitu saja. Kadang sampai berulang-ulang.

Keberulang-ulangannya diksi pada sajak-sajak Ben, membuat “beat” atau kita kenal: rima, selaksa musik jazz. Tak beratur sepertinya, tapi nyaman dinikmati kuping.

Ben juga tak perlu susah-susah cari beberapa diksi spesies purba untuk terciptanya majas. Ia gandeng beberapa diksi keseharian itu, dan holla: metafor tercipta.

Selebihnya, puisi, adalah produk sastra yang relatif sukar untuk diparameterkan. Seperti dalih Ben, “Puisi adalah napas”.

Namun demikian, kita masih berharap, sebersayap-bersayapnya sajak, masihlah saling bertautan. Karena keluasan hidup, mengajarkan kita tentang keniscayaan dialektika, bahwa hidup itu walaupun mempersembahkan hamparan kamar-kamar, namun kehidupan masing-masing dari kamar-kamar tersebut masihlah saling bertautan.

Karena puisi adalah napas. Puisi adalah kehidupan. Puisi adalah dialektika.

Dialektika itu kosmos kemajemukan yang sepertinya centang perenang, akan tetapi sejatinya saling bertautan, untuk menuju muara yang sama.

Maka, dialektika bisa saja duka kita karena sang sahabat walikota yang rendah hati yang meninggal dunia di tengah pandemi. Para jelata yang bertahan hidup sendiri di tengah situasi grand design “nggegirisi”. Negeri yang makin kacau. Tolok ukur kepemimpinan yang makin balau. APBN dan APBD yang sukar dirasakan rasa gurihnya. Klaim suksesnya pembangunan selalu bertumpu pada jalan-jalan yang tetap rusak dari kabisat ke kabisat. Pengaku-ngaku pancasilais dengan merusak pancasila. Para aktivis dan pejabat negara yang merasa paling berbuat mulia untuk negeri.

Perampok-perampok yang merasa berderma. Orang-orang soleh yang sombong. Orang-orang kaya yang miskin. Orang-orang pintar yang bodoh. Monster-monster.@